Farah adalah seorang psikolog muda yang energik dan penuh dedikasi. Setiap pagi dimulai dengan keceriaan, berinteraksi dengan penjaga gedung sebelum menuju tempat kerjanya di lantai enam. Sebagai seorang psikolog yang sudah berpraktik selama empat tahun, Farah menemukan kebahagiaan dalam mendengarkan dan berbagi tawa bersama pasien-pasiennya.
Pada suatu hari, saat makan siang, Farah mendengar kabar bahwa ada seorang psikiater baru yang bergabung di rumah sakit tempatnya bekerja. Jantungnya berdebar-debar, berharap bahwa psikiater baru tersebut adalah kakaknya yang telah lama tak ia temui. Di tengah-tengah rasa penasaran dan kekecewaannya karena belum mendapat kepastian, Farah bertemu dengan seorang pria misterius di kantin. Pria itu, seorang dokter psikiater dengan penampilan rapi dan ramah, membuat Farah penasaran setelah pertemuan singkat mereka.
Apakah pria itu akan berperan penting dalam kehidupannya? Dan apakah akhirnya Farah akan menemukan kakaknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ariadna Vespera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 1
Pagi itu, mentari mulai menembus lembut sela-sela dedaunan, membawa kehangatan pada lingkungan sepi perumahan. Farah, mengenakan blus putih bersih dan rok krem yang rapi, melangkah keluar dari rumahnya dengan semangat. Sepatunya yang mengkilap beradu lembut dengan trotoar, mengeluarkan bunyi yang nyaris tak terdengar.
"Selamat pagi, Paman," sapa Farah dengan senyum ceria kepada penjaga yang sedang berdiri di posnya.
"Pagi, Neng! Mau berangkat kerja?" sahut Paman dengan nada ramah, mengangkat topinya sedikit sebagai salam.
Farah mengangguk ringan, melambaikan tangan sebelum memasuki mobil putihnya. Suara mesin yang lembut terdengar saat Farah menyalakannya, dan dalam sekejap, mobilnya melaju meninggalkan perumahan yang masih tenang.
Di sepanjang perjalanan, Farah menikmati suasana pagi yang cerah, sinar matahari menari-nari di kaca depan mobilnya. Setibanya di gedung kantornya, sebuah bangunan modern dengan dinding kaca besar yang memantulkan langit biru, Farah segera turun dan memasuki lobi yang elegan. Lantai dasar gedung itu selalu sibuk, terutama di kantin yang berada di sudut dekat pintu masuk.
Mengingat di rumah dia belum sempat sarapan, Farah memutuskan untuk mampir sebentar. Di kantin yang harum dengan aroma kopi dan roti panggang, ia membeli roti lapis segar dan segelas susu hangat. Dengan senyuman kecil puas di bibir, dia melangkah menuju lift yang akan membawanya ke lantai 6, tempat ruang kerjanya berada.
Begitu pintu lift terbuka, Farah keluar dan menuju ruangannya yang nyaman, siap menyambut hari dengan penuh semangat.
"Tok, tok..." suara ketukan pintu menggema lembut di ruangan Farah, mengisi keheningan yang nyaman.
"Masuk!" ucap Farah lantang, suaranya tenang namun penuh antusiasme. Pintu terbuka, dan seorang pasien—atau seperti yang biasa Farah sebut dengan ramah, tamu—memasuki ruangan dengan raut wajah penuh keraguan namun berharap. Farah menyambutnya dengan senyuman hangat, mengisyaratkan agar ia duduk di kursi empuk yang berada di seberang meja.
Sudah empat tahun berlalu sejak Farah resmi meraih gelar magister psikologi. Selama itu pula, ia menjadikan ruang ini sebagai tempat aman bagi mereka yang datang mencari jawaban, tempat untuk berbagi cerita, tawa, dan terkadang air mata. Baginya, pekerjaan ini bukan sekadar profesi—ini adalah panggilan hati, yang memberikan kepuasan tersendiri saat bisa membantu orang lain mengurai perasaan mereka.
Kali ini, tamu pertamanya tampak gugup, seperti beban berat sedang dipikulnya. Farah menatap dengan penuh perhatian, mendengarkan setiap kata dengan seksama, menawarkan kehangatan yang membuat lawan bicaranya perlahan merasa nyaman.
Percakapan mengalir, jam-jam berlalu tanpa terasa. Farah terkadang tertawa kecil bersama tamunya, terkadang serius merenung, berusaha membantu mereka memahami perasaan yang kompleks.
Ketika Farah melirik jam di tangannya, waktu telah menunjukkan pukul 12:00 siang. Saatnya istirahat makan siang. Dia tersenyum lembut, menutup sesi dengan kalimat-kalimat penuh harapan, mengantar tamunya keluar dari ruangannya dengan perasaan yang lebih ringan.
Sekarang, dengan perut yang mulai keroncongan, Farah tahu bahwa ia pun perlu rehat sejenak sebelum kembali menyelami kisah-kisah lainnya di siang itu.
Farah yang merasa kelaparan segera bergegas turun ke lantai dasar menuju kantin. Suara sepatunya bergema di sepanjang koridor, mempercepat langkah demi langkah, berharap bisa segera menikmati makan siang yang sudah dibayangkannya. Namun, begitu ia tiba di kantin, langkahnya mendadak melambat saat mendengar percakapan dari salah satu tamu yang duduk di sana.
“Ada dokter psikiater baru yang datang hari ini,” kata seseorang dengan nada antusias.
Kata-kata itu menyentak perhatian Farah. Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang, seperti ada sesuatu yang menusuk hatinya. “Apakah itu Kakak?” batinnya berbicara, kenangan lama tentang seseorang yang pernah dekat dengannya seketika berputar di benaknya.
Tanpa sadar, pikirannya mulai melayang, fokusnya kabur. Di saat yang bersamaan, Farah hampir saja menabrak seseorang di depannya. Kedua mereka berhenti mendadak, dan Farah terkejut, menarik napas cepat.
“Maaf!” Farah buru-buru berkata, mengangkat kepalanya. Saat matanya bertemu dengan pria di depannya, sekejap jantungnya berdegup semakin kencang. Pria itu tinggi, dengan mata yang tajam namun ramah, dan ada senyum tipis yang tampak familier.
Mungkinkah ini orang yang selama ini tak pernah ia lupakan?
“Maafkan saya!” ucap Farah terburu-buru, menatap pria yang hampir ditabraknya. Pria itu berdiri tegap, dengan rambut rapi dan mengenakan jubah dokter berwarna putih bersih. Ada kesan profesional namun ramah terpancar dari wajahnya.
“Kamu tidak apa-apa, apakah kamu terluka?” tanyanya dengan nada tenang, matanya mengamati Farah dengan penuh perhatian.
Farah tersenyum malu, sambil menggelengkan kepala. “Tidak, saya baik-baik saja,” jawabnya lembut.
Pria itu tersenyum kembali, senyumnya meneduhkan, membuat suasana yang sempat canggung berubah lebih hangat. “Apakah kamu bekerja di sini?” tanya pria itu, rasa penasaran tergambar jelas di raut wajahnya.
Farah mengangguk, menyadari betapa mudahnya ia merasa nyaman berbicara dengan pria ini. “Iya, saya seorang psikolog di sini,” balasnya dengan nada yang lebih santai.
Pria itu mengangguk-angguk, tampak terkesan. “Oh, begitu. Saya dokter psikiater baru di sini,” katanya sambil mengulurkan tangan, memperkenalkan dirinya, seakan ini adalah awal dari sebuah pertemuan yang akan membawa sesuatu yang lebih dalam.
Suasana yang semula hangat mendadak terpecah saat ponsel pria itu berbunyi keras dengan nada dering darurat. “DARURAT, DARURAT…” suara itu menggema, membuat pria tersebut mengangkat alis dan segera melihat layarnya.
Wajahnya berubah serius. “Kita pasti akan bertemu lagi,” ucapnya cepat, sambil berbalik meninggalkan Farah tanpa menoleh lagi. Langkahnya cepat, seakan ada sesuatu yang mendesak menunggunya.
Farah hanya bisa berdiri terpaku, menatap punggung pria itu yang semakin menjauh. “Padahal aku maunya bertemu Kakak, kenapa malah bertemu pria aneh itu…” gumamnya dalam hati, perasaan kecewa bercampur bingung. Ada harapan besar di hatinya untuk mengetahui apakah kakaknya yang lama tak ditemui adalah psikiater baru di rumah sakit ini. Namun, pertemuan dengan pria asing tadi justru membuat segalanya semakin rumit.
Setelah beberapa saat terdiam, Farah menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Ia akhirnya melanjutkan langkahnya menuju kantin. Meskipun hatinya sedikit kecewa, ia berusaha fokus untuk menghabiskan roti lapis dan susu yang telah dibelinya.
Begitu selesai makan, Farah segera kembali ke ruangannya. Waktu untuk merenung tak banyak, karena tamu berikutnya yang membutuhkan bantuannya akan segera datang. Dengan perasaan campur aduk, ia bersiap menghadapi hari yang terus berjalan, meski kepastian tentang kakaknya masih menyisakan tanda tanya di hatinya.
Hari itu benar-benar melelahkan bagi Farah. Jumlah tamu yang datang untuk konseling jauh lebih banyak dari biasanya. Bahkan, dia harus menerima beberapa tamu tambahan dari temannya yang sedang sakit. Meski begitu, Farah selalu menemukan kepuasan dalam setiap sesi, menikmati setiap percakapan, cerita, dan proses membantu orang lain menemukan jalan keluar dari masalah mereka.
Saat jam kerjanya berakhir, tubuhnya terasa lelah, namun hatinya tetap penuh semangat. Setelah merapikan meja dan memastikan ruangannya rapi, Farah melangkah keluar dari gedung, menyambut angin sore yang sejuk. Dalam perjalanan pulang, pikirannya melayang pada satu tempat yang selalu memberinya kedamaian—panti asuhan yang dibangun oleh neneknya, tempat yang ia kunjungi setiap kali ada kesempatan.
Farah memutuskan untuk mampir sebentar. Jalan menuju panti dihiasi pepohonan rindang, memberikan suasana tenang. Ketika sampai, ia disambut dengan senyum ceria anak-anak yang selalu membuatnya merasa diterima. Panti itu adalah warisan berharga dari neneknya, tempat di mana Farah bisa merasakan kedekatan emosional dengan neneknya, meski beliau sudah tiada.
Di sana, Farah menghabiskan waktu berbicara dengan para pengurus dan bermain dengan anak-anak, rasa lelahnya perlahan sirna seiring tawa dan keceriaan yang mengisi sore itu. Meski hari ini melelahkan, setiap kunjungan ke panti asuhan selalu mengisi hatinya dengan kebahagiaan dan ketenangan yang tak tergantikan.
Farah selalu menjadi sosok yang ditunggu-tunggu oleh anak-anak di panti asuhan. Setiap kali datang, dia tak pernah lupa membawa hadiah-hadiah yang unik dan menyenangkan. Mulai dari makanan berhias manis seperti permen payung hingga baju yang dipenuhi makanan di kantong-kantong kecilnya, Farah benar-benar wanita yang sangat mencintai anak-anak. Ia selalu memastikan kehadirannya membawa keceriaan, terutama bagi mereka yang kurang beruntung.
Namun, sore itu, begitu Farah tiba di panti asuhan, suasana terasa sepi. Tidak ada tawa riang atau suara kecil yang menyambutnya seperti biasanya. Salah satu pengurus panti kemudian memberitahu bahwa anak-anak sedang pergi berjalan-jalan ke taman hiburan bersama beberapa staf panti.
Farah tersenyum kecil, meski sedikit kecewa karena tak bisa bertemu dengan anak-anak yang biasanya begitu antusias menyambutnya. Ia meletakkan tas berisi hadiah yang sudah dipersiapkannya di meja depan, memastikan hadiah-hadiah itu nanti akan diterima oleh mereka. Meskipun tidak bisa bertemu kali ini, Farah tahu bahwa saat anak-anak kembali dan melihat hadiah yang ia bawa, mereka akan merasa senang.
Sebelum pergi, Farah berbicara sebentar dengan para pengurus, memastikan semuanya baik-baik saja di panti, lalu perlahan meninggalkan tempat itu. Meski tak bertemu dengan anak-anak hari ini, kunjungannya tetap memberikan kehangatan di hatinya, mengetahui bahwa mereka sedang bersenang-senang di luar.
Setelah menitipkan hadiah kepada pengasuh di panti, Farah melangkah ke mobil dengan langkah pelan. Saat duduk di kursi pengemudi, pikirannya mulai dipenuhi dengan renungan. Hari yang panjang dan melelahkan di rumah sakit benar-benar menguras energinya. “Bagaimana caranya mengembalikan semangatku ya?” batinnya bergumam, menimbang berbagai cara untuk menghilangkan rasa penat yang menggantung di tubuh dan pikirannya.
Lalu tiba-tiba, sebuah ide melintas. “Baiklah, kalau begitu aku akan tanding saja,” gumamnya dengan tekad. Karate, yang sudah menjadi bagian dari hidupnya, selalu berhasil mengembalikan semangatnya. Tanpa ragu, Farah mengarahkan mobilnya menuju tempat latihan karate milik Ega, seorang kenalannya yang dulunya adalah tamu konselingnya di rumah sakit, namun kini menjadi teman yang baik.
Sesampainya di dojo, Farah disambut oleh suara langkah kaki yang beradu dengan matras serta suasana kompetitif yang selalu membuatnya bersemangat. "Hai! Ega, gimana kabarmu?" sapa Farah dengan senyuman sambil melangkah masuk.
"Baik, Farah! Kamu mau tanding ya?" Ega membalas dengan semangat yang tak kalah, sudah hafal dengan kebiasaan Farah yang datang untuk melepas stres dengan bertanding.
"Iya nih, butuh sedikit pelepas lelah," sahut Farah dengan senyuman antusias.
"Aku punya lawan yang cocok buat kamu," kata Ega sambil menunjuk ke arah salah satu sudut dojo.
"Anak baru?" tanya Farah penasaran.
"Anak baru di sini, tapi aku sudah kenal lama. Dia seimbang denganmu, kamu pasti suka."
Farah tertawa kecil, menanggapi tantangan itu dengan senang hati. "Oke, aku pemanasan dulu. Kalau sudah selesai, aku langsung ke ruang tanding."
Farah kemudian mengganti bajunya dengan gi putih bersih yang sudah akrab di tubuhnya. Setelah itu, ia mulai pemanasan, melemaskan otot-otot yang tegang setelah seharian bekerja. Setelah sekitar 15 menit, Farah merasa siap. Dengan tubuh yang sudah lebih rileks, dia melangkah ke ruang tanding, siap menghadapi lawan baru yang sudah disiapkan oleh Ega. Energinya kembali membara, dan rasa lelah yang semula mendera perlahan-lahan sirna, digantikan oleh adrenalin dan semangat bertanding.
Betapa terkejutnya Farah ketika melihat siapa lawan tandingnya. Di tengah ruangan, berdiri pria aneh yang ditemuinya saat jam makan siang di rumah sakit. Pria itu menatapnya dengan senyum penuh arti, seakan mengingatkan pada pertemuan mereka sebelumnya.
"Ternyata pertemuan kedua kita bukan di rumah sakit," ucap pria itu dengan nada santai. "Sungguh takdir yang indah."
Farah hanya bisa tersenyum heran, tak menyangka pria yang sempat hampir ditabraknya kini berdiri sebagai lawan tandingnya. “Dunia ini memang kecil,” pikirnya. Sebelum sempat mengatakan apapun, Ega yang berdiri di antara mereka tersenyum lebar, seakan menikmati situasi yang tiba-tiba berubah menarik.
"Wah! Kalian sudah saling kenal ya?" ucap Ega, menatap keduanya bergantian.
Farah mengangguk pelan, “Kami bertemu di rumah sakit saat makan siang tadi,” jawabnya dengan nada datar, masih belum sepenuhnya memercayai kebetulan ini.
Pria itu hanya tersenyum, tampak lebih santai dari sebelumnya, sementara Farah mulai fokus. Pertandingan ini bukan lagi tentang adu fisik saja, tapi juga tentang menebak siapa pria ini sebenarnya. Mereka berdua bersiap di posisi masing-masing, membungkukkan badan sebagai tanda hormat sebelum bertanding.
Ega berdiri di tengah, mengambil posisi sebagai wasit. Dengan suara tegas, dia mulai menghitung mundur. "Tiga... dua... satu..."
Pertandingan pun dimulai. Farah dengan cepat melangkah maju, matanya fokus pada setiap gerakan pria di depannya. Pria itu tampak tenang, mengamati gerakan Farah dengan tatapan yang tajam, seolah sudah tahu apa yang akan dia lakukan. Adrenalin Farah mulai mengalir deras, dan setiap tendangan serta pukulan yang ia lemparkan kini bukan hanya soal teknik, tetapi juga rasa ingin tahu yang terus tumbuh di dalam dirinya.
Pertandingan berlangsung selama kurang lebih 15 menit, dan meskipun Farah bertarung dengan sekuat tenaga, pada akhirnya dia harus mengakui kekalahan. Nafasnya masih terengah-engah saat pria di depannya tersenyum penuh kemenangan.
“Karena aku yang menang, aku akan mentraktirmu makan malam,” ucap pria itu dengan nada yang ringan, seakan itu sudah menjadi keputusan akhir.
Farah tersenyum keheranan, sedikit tak percaya dengan sikap santai pria itu. “Orang ini benar-benar aneh,” pikirnya, tetapi dia tidak berkata apa-apa, hanya menggeleng pelan sebelum pergi merenggangkan otot-ototnya yang tegang setelah pertandingan.
Setelah semuanya selesai, Farah menuju ruang ganti untuk berganti pakaian. Namun, betapa terkejutnya dia saat keluar dan melihat pria itu menunggunya tepat di depan pintu ruang ganti. Ekspresi Farah langsung berubah dingin. Dia tidak suka diperlakukan seperti ini—seolah-olah pria itu tidak bisa menghormati ruang pribadinya.
Farah menatapnya dengan tajam, tanpa sepatah kata pun. Dengan dingin, dia melewati pria itu dan terus berjalan menuju mobilnya. Namun, pria itu ternyata tidak menyerah begitu saja, ia terus mengikuti Farah hingga ke parkiran.
Merasa sudah tak bisa menahan diri lagi, Farah berhenti dan menatap pria itu dengan penuh ketegasan. Mata mereka bertemu, dan untuk beberapa saat, keduanya diam, terjebak dalam keheningan yang canggung. Farah menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya, lalu menghembuskannya perlahan.
“Ada keperluan apa sebenarnya?” tanya Farah dengan nada tenang namun tegas, mencoba mengatasi rasa kesal yang mulai muncul.
“Bukankah aku sudah mengatakan ingin mentraktirmu makan malam?” jawab pria itu, matanya tetap tenang namun penuh keyakinan.
Farah menghela napas lagi. Di satu sisi, dia merasa terganggu dengan cara pria ini bertindak, tapi di sisi lain, ada sesuatu yang membuatnya merasa bahwa dia harus memberinya kesempatan. Lagipula, Farah adalah tipe orang yang selalu memberikan kesempatan pada siapa pun, tanpa pandang bulu, tak peduli siapa orang itu.
Akhirnya, Farah tersenyum tipis dan menganggukkan kepalanya. “Baiklah, tapi kali ini aku yang memilih tempatnya,” ucap Farah, dengan sedikit kepercayaan kembali di hatinya.
Mereka berdua masuk ke dalam mobil. Suasana sedikit canggung, namun Farah memutuskan untuk memecah kebekuan. "Siapa namamu?" tanyanya sambil menyalakan mesin mobil.
Pria itu tersenyum tipis sebelum menjawab. "Farah, ya? Nama yang indah," ucapnya, seolah mengabaikan pertanyaan sementara. "Yang berarti 'ceria' dalam Bahasa Persia, sangat cocok denganmu."
Farah melirik ke arahnya, sedikit terkejut dengan pengetahuannya tentang makna namanya. "Terima kasih," jawabnya singkat, tapi dia segera kembali pada rasa ingin tahunya. "Dan kamu? Siapa namamu? Dokter di bidang apa tugasmu?" tanyanya dengan nada lebih serius, ingin tahu lebih banyak tentang pria yang tiba-tiba muncul dalam hidupnya hari ini.
Pria itu tersenyum lebih lebar, tampak menikmati setiap pertanyaan yang diajukan. "Namaku Adrian," jawabnya. "Aku seorang psikiater, baru saja bergabung di rumah sakit tempatmu bekerja. Mungkin itulah kenapa kita bertemu lagi... takdir, bukan?"
Farah hanya mengangguk pelan, mencerna informasi itu. "Jadi dia benar-benar psikiater baru di rumah sakit," pikirnya dalam hati, mengingat momen saat dia mendengar kabar tentang dokter baru. Meski ada sedikit ketegangan, Farah mulai merasa penasaran lebih jauh tentang Adrian, terutama tentang cara dan sikapnya yang terkesan misterius namun ramah.
Farah menatap Adrian, masih terkejut dengan informasi yang baru dia terima. "Namaku Iplan, dokter psikiater," kata Adrian, seakan menjelaskan kebingungannya yang sebelumnya.
Farah melanjutkan pertanyaannya, "Apakah benar ada dokter psikiater baru yang masuk?"
"Benar," jawab Adrian. "Namanya Ruel."
Hati Farah berdegup kencang mendengar nama itu. "Ruel," pikirnya dengan penuh harapan. "Itu adalah nama kakakku." Rasa bahagia menyelimuti dirinya, mengetahui bahwa mungkin, hanya mungkin, dia akhirnya akan bertemu dengan kakaknya lagi.
Setelah informasi itu, Farah melanjutkan perjalanan dengan hati yang lebih ringan, senyumnya tak bisa tersembunyi. Hujan tipis mulai turun, membasahi tubuhnya yang tampak tenang di bawah payung mobil. Dalam suasana senja yang damai, dia melanjutkan perjalanan dengan langkah perlahan.
Namun, tiba-tiba, dari ujung jalan yang gelap, terdengar teriakan kencang. "A… KU… PAS… TI… BI… SA…"
Suara itu menggema dengan jelas, membuat Farah tertegun dan merasa bingung. Dia berhenti sejenak, memeriksa sekeliling untuk mencari sumber suara tersebut. Suasana yang tadinya tenang mendadak terasa tegang. Farah berusaha mengumpulkan keberanian, dan perlahan, dia melangkah menuju arah suara, berusaha memahami apa yang sedang terjadi di ujung jalan yang misterius.
Farah melangkah dengan hati berdebar, mencampurkan rasa takut dan penasaran yang saling bertabrakan dalam dirinya. Langkahnya terasa berat, tetapi dorongan untuk mengetahui apa yang terjadi membuatnya terus maju.
Saat sampai di tempat asal suara, dia melihat seorang pria berdiri di tengah jalan, rambutnya berantakan, baju basah kuyup, dan sepatu kotor penuh lumpur. Pria itu tampak sangat tidak terawat, seolah baru saja mengalami sesuatu yang sangat melelahkan.
Ketika Farah muncul, pria itu segera menyadari kehadirannya. Mereka saling bertatap mata, dan pria itu memberikan senyuman yang ramah meski tampak kelelahan. Farah membalas senyuman tersebut dengan sedikit kebingungan, merasa aneh tetapi juga terhibur oleh sikap pria itu yang tidak tampak agresif.
Tanpa ragu, Farah duduk di jalan yang penuh lumpur, menunjukkan empati dan kepeduliannya. Ini adalah tindakan yang jarang dia lakukan, tetapi dalam situasi ini, rasa kemanusiaan dan keinginannya untuk membantu lebih kuat daripada rasa takutnya. Pria itu tampak semakin bingung melihat tindakan Farah, kepalanya sedikit miring seolah mencoba memahami alasan di balik tindakan tersebut.
Farah duduk di sana, merasa lumpur membasahi pakaiannya, tetapi tetap dengan sikap tenang. “Apa yang membuatmu berteriak seperti itu?” pikirnya dalam hati, sambil menunggu pria itu untuk menjelaskan situasinya.
Farah menatap pria itu dengan penuh rasa empati. “Apakah Anda ingin duduk juga? Saya lelah karena sudah berjalan jauh, jadi saya butuh istirahat,” ucap Farah dengan nada lembut.
Pria itu tertawa dengan lepas, seolah semua beban pikirannya lenyap begitu saja. Suara tawanya menciptakan suasana yang lebih santai, seiring dengan kedekatan yang semakin terasa.
Tanpa ragu, pria itu duduk di samping Farah, merasa sedikit lebih tenang. “Bolehkah aku bersandar di bahumu?” tanyanya dengan nada lembut dan penuh harapan. Farah, tanpa curiga sedikit pun, menganggukkan kepala.
Pria itu dengan senyum cerianya segera bersandar di bahu Farah, sementara Farah membalas dengan menyandarkan kepalanya ke arah pria itu. Mereka duduk di jalanan yang kotor dan basah, namun seolah-olah dunia di sekitar mereka berhenti berputar.
Di dalam keheningan malam, di tengah rintikan hujan, mereka hanya merasakan kehadiran masing-masing. Tidak ada kata-kata yang perlu diucapkan, hanya kehadiran yang saling memberi dukungan dan kenyamanan. Momen itu menjadi penghibur yang sederhana dan tulus, di mana Farah merasa tenang, melupakan seluruh kelelahan dan kecemasan yang melingkupinya.