Betapa hancurnya perasaanku, saat aku tau suamiku menikah diam diam di belakangku dengan temanku..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
"Mas, kamu mau berangkat lagi?" Tanyaku dengan nada sedih, mataku berkaca-kaca menyadari suamiku baru saja pulang dari luar kota beberapa hari yang lalu.
"Iya sayang, maaf ya," ucap suamiku lembut, mencoba menenangkan hatiku yang resah.Aku duduk lemas di tepi kasur, menatap dengan pandangan kosong ke arah suamiku yang tengah sibuk memasukkan bajunya ke dalam koper.
Hati ini semakin terasa berat, kecewa dengan kondisi yang terus terulang satu tahun terakhir ini.Mas Hans sering bolak-balik keluar kota tanpa alasan yang jelas.
"Mas, bisakah kamu jangan pergi malam ini saja? Aku kangen kamu, sudah lama kita tidak menghabiskan waktu bersama," ucapku dengan suara yang bergetar, berharap suamiku mau mempertimbangkan permintaanku.
Mas Hans menghentikan kegiatannya mengemas barang-barangnya ke dalam koper. Dia menatapku dengan wajah yang tampak terguncang, namun masih bersikeras untuk berangkat.
"Sayang, aku tahu kamu merasa kesepian, tapi aku harus pergi. Pekerjaan memanggil, dan aku harus melakukannya demi masa depan kita," jawabnya dengan nada yang penuh penyesalan.
Aku merasa semakin terpuruk, menangis dalam hati, merasa ditinggalkan dan tidak dipahami. Suasana hati ini semakin diperparah oleh kenyataan bahwa Mas Hans juga sudah lama tidak menyentuhku sebagai seorang istri.
Rasa kangen itu semakin menjadi, dan aku tak tau harus berbuat apa untuk mengatasi rasa sakit ini.Mas Hans menutup koper, menghela napas panjang, dan mencoba mendekatiku.
"Maafkan aku, sayang. Aku janji, begitu tugas ini selesai, aku akan pulang dan kita akan menghabiskan waktu lebih banyak bersama," ucapnya sambil mengusap air mataku yang mulai jatuh.
Namun, janji itu tak lagi cukup untuk menenangkan hatiku. Aku merasa terluka, dan tak tahu apakah aku masih mampu mempercayai suamiku seperti dulu lagi.
Mas Hans berjalan keluar dari kamar kami dengan cepat, seakan tak peduli dengan perasaanku yang terluka.
Aku segera berdiri dari dudukku dan berjalan mengejar Mas Hans yang sudah sampai di ruang tengah. Begitu berhasil mengejarnya, aku meraih tangannya erat, menatap matanya dengan harapan agar dia tidak pergi.
"Mas, aku mohon, jangan pergi," isakku semakin terdengar parau.
"Lepaskan, Rea! Jangan bertingkah seperti anak kecil. Aku melakukan ini demi memenuhi kebutuhan kita," ujar suamiku dengan nada yang semakin meninggi,
membuat hatiku semakin remuk.Aku mengusap air mata yang mengalir di pipiku, berusaha keras untuk tetap tegar.
"Kalau begitu, biarkan aku ikut," kekehku, berharap dia akan mengizinkanku.
"Rea!" sentak Mas Hans dengan keras, membuatku terkejut.Aku terjingkat kaget, tak pernah sebelumnya suamiku menyentakku dengan begitu keras. Hatiku semakin pilu, merasakan jarak yang tercipta di antara kami.
Mas Hans berjalan cepat meninggalkan rumah, langkah kakinya yang tegap dan wajahnya yang dingin mencerminkan perubahan yang sangat drastis dalam dirinya.
Aku memanggil namanya beberapa kali, berharap dia akan berhenti dan menjelaskan alasannya, tetapi Mas Hans tetap melanjutkan langkahnya.
Aku berlari sekuat tenaga, mengejar Mas Hans yang kini telah sampai di mobilnya. Namun, sebelum aku berhasil mendekat, dia langsung menghidupkan mesin mobilnya dan melaju keluar dari halaman rumah dengan kecepatan tinggi.
Aku tidak sempat mengejarnya karena mobilnya sangat kencang, membuatku hanya bisa menatap punggung mobil itu menjauh.Hati ini rasanya sangat sakit, apakah memang bekerja begitu penting sampai tidak ada waktu untuk keluarga? Padahal selama ini Mas Hans tidak pernah seperti ini.
Aku duduk lemas di halaman rumah, menangis tersedu-sedu, mencoba mencari jawaban atas perubahan yang terjadi pada Mas Hans.
Bibik mendekatiku dengan raut wajah yang prihatin. "Sudah, Non. Masuk, sudah malam. Biarkan Tuan pergi," ucap Bibik dengan lembut.
Titin, asistenku, juga tampak geram dengan sikap Mas Hans yang meninggalkanku begitu saja."Halah, gak usah tangisi laki-laki seperti Tuan Ibu Bos. Biarkan saja dia pergi," seru Titin dengan nada kesal.
Aku hanya bisa menatap keduanya dengan pandangan yang kosong.
"Tapi, Tin..." ucapku dengan suara yang lirih."Bu Bos harus tidur. Besok kita ada meeting," tegas Titin sambil membantu Bibik mengangkatku dari posisi duduk.
Titin mengusap lembut air mata yang mengalir di pipiku, sementara aku berjalan gontai diiringi oleh mereka berdua.
Hatiku sangat tidak karuan saat ini. Setiap langkah yang kutapaki menuju kamarku terasa berat dan penuh beban.
Sesampainya di kamar, aku langsung rebahkan tubuhku di atas ranjang, mencoba melupakan semua kejadian yang baru saja terjadi.
aku merasa begitu gelisah di atas kasur. Tidur pun jadi tak enak, pikiranku terus-menerus terganggu oleh pertanyaan yang berkecamuk di benakku.
"Apakah Mas Hans memiliki perempuan lain?" Namun, segera ku usir pikiran itu, karena tak mungkin seorang Mas Hans berbuat begitu terhadapku.
Aku sangat yakin akan cintanya padaku dan betapa ia selalu mengutamakan kebahagiaanku.Namun, kenapa perubahan sikapnya begitu mencolok? Aku tak bisa memahami alasan di balik perubahan itu. Sebagai bos di perusahaan tempat ia bekerja, memang wajar jika ia harus pergi keluar kota untuk urusan bisnis.
Tapi, mengapa belakangan ini ia kerap kali pergi tanpa memberi tau aku? Bahkan, terkadang Titin yang memberi tau aku kalo mas Hans tidak pulang ke rumah, padahal titin itu sekretaris ku.
"Apa sebenarnya yang terjadi, Mas? Kenapa kamu berubah seperti ini?" gumamku pelan sambil mencoba untuk menutup kedua mataku.
Aku berharap bisa segera terlelap dan menenangkan pikiran yang kacau ini.Tetapi, semakin kuupayakan untuk tidur, semakin sulit pula rasanya untuk melupakan kegelisahanku.
Tak henti-henti rasa cemas dan curiga mendera hatiku. Aku hanya bisa berdoa agar semua ini hanyalah perasaan yang berlebihan dan semoga Mas Han bisa kembali menjadi sosok yang dulu kukenal,penuh perhatian dan cinta.
Malam itu, angin berhembus sepoi-sepoi, mengiringi kegelisahan yang menghantui pikiran dan hatiku, aku terus bergulat dengan pikiran dan perasaannya yang tak menentu.
Baru saja ia mencoba tidur, namun mata yang terjaga membuatnya gelisah. Ia lantas mengambil ponselnya dan mencoba menelpon suaminya, Mas Hans. Namun sayang, setelah beberapa kali mencoba, ponsel Mas Hans tak kunjung diangkat. Bahkan, ponselnya terlihat nonaktif.
Aku merasa bingung dan cemas, "Kenapa Mas Hans harus menonaktifkan ponselnya di saat seperti ini? Apa yang sebenarnya terjadi?" gumamku dalam hati.
Rasa penasaran semakin memuncak,aku pun mencoba menghubungi sahabatku, Imas. Imas adalah seorang pengacara handal yang kerap kali menangani kasus perceraian.
Aku ingin tau apa penyebab utama perceraian yang sering ditangani oleh Imas. Namun sayang, Imas pun tak mengangkat telepon dariku.Kegelisahan semakin menjadi-jadi. Aku menekan pelipisku, rasa sakit kepala mulai menyerang. Ia merasa sangat pusing memikirkan apa yang tengah terjadi. Hati kecilnya berbisik,
"Apakah ada sesuatu yang terjadi pada Mas Hans? Atau... apakah ini pertanda buruk bagi pernikahan kami?"Aku mencoba menenangkan diri, menghembuskan napas panjang, dan berusaha untuk kembali tidur. Namun, pertanyaan yang menghantui pikiranku tak juga memudar.
Aku berharap semoga esok hari, semua kekhawatiran ini akan terpecahkan..
***
dikit dikit nangis
dikit dikit nangis