Sebagai seorang wanita yang sudah kehilangan rahimnya, dia tetap tegar menjalani hidup walau terkadang hinaan menerpanya.
Diam-diam suaminya menikah lagi karena menginginkan seorang anak, membuat ia meminta cerai karena sudah merasa dikhianati bagaimanapun dia seorang wanjta yang tidak ingin berbagi cinta dan suami.
Pertemuannya dengan seorang anak kecil membuat harinya dipenuhi senyuman, tapi ia juga dilema karena anak itu meminta ia menjadi ibunya itu berarti dia harus menikah dengan Papa dari anak itu.
Akankah Yasna menerima permintaan anak kecil itu atau kembali kepada mantan suami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon husna_az, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
1. Ingatkan janji
"Selamat pagi, Sayang," sapa Zahran.
"Pagi juga," jawab Yasna tersenyum.
Yasna Ulfairah Ghaffar, dua puluh tujuh tahun, ia sudah menikah dengan Zahran Altair tujuh tahun yang lalu, tapi mereka belum dikaruniai seorang anak, lebih tepatnya tidak bisa memiliki anak.
"Cantik banget sih Istriku ini, wangi lagi," goda Zahran dengan memeluk Yasna dari belakang. “Kenapa melamun?”
Sebelumnya, Zahran melihat Yasna melamun, hingga tidak menyadari kedatangannya. Namun, saat ditanya Yasna berkilah.
"Nggak papa, ayo, sarapan dulu!”
“Ada apa sih, Sayang? Jangan bohong sama aku.”
“Emm ... Bang, rumah ini terasa sepi, ya? Bagaimana kalau kita mengadopsi anak?”
“Kamu kenapa selalu bahas hal ini lagi?”
“Aku merasa rumah ini terlalu sepi, Abang sudah janji dulu mau adopsi anak.”
“Itu dulu, sekarang tidak!”
“Kenapa?”
“Karena mereka bukan anakku, aku ingin anak kandung, bukan anak angkat!”
Keheningan tiba-tiba terjadi, Zahran salah tingkah karena menyadari ia telah salah berucap. Yasna menatap Zahran tidak percaya, apa maksud dari ucapan suaminya? Bukankah sudah jelas ia tidak bisa memberinya anak, atau ... pikiran buruk tiba-tiba terlintas di pikiran Yasna.
“Apa maksud ucapan Abang?”
“Tidak ada, sebaiknya kita segera makan, sudah semakin siang juga, nanti aku terlambat.”
Zahran berusaha mengalihkan pembicaraan, ia tidak ingin menyakiti hati Yasna, ia sangat mencintai istrinya itu dan tidak ingin kehilangannya.
“Kamu masak sendiri lagi?” tanya Zahran.
“Iya,” jawab Yasna dengan enggan.
Yasna masih kepikiran ucapan Zahran tadi, tentang keinginannya untuk memiliki anak kandung, sedangkan Yasna sudah pasti tidak bisa memberikannya.
"Abang berangkat dulu, ya?" ucap Zahran setelah menghabiskan makanannya.
Zahran mencium kening Yasna. Memang sudah menjadi kebiasaannya sebelum pergi. Yasna juga mencium punggung tangan suaminya.
“Bang ... Abang masih ingat ‘kan, janji yang Abang ucapkan padaku?” Yasna menahan Zahran sebentar.
Yasna ingin mengingatkan janji suaminya, sebelum semuanya terlambat.
“Janji apa? Memang kamu mau dibeli in sesuatu?”
“Di hari pertama kita menikah, Abang berjanji tidak akan mengkhianati atau menduakanku, Abang ingat, kan?”
“I-iya, aku ingat kok.”
“Syukurlah kalau Abang masih ingat, aku hanya takut kalau Abang lupa.”
"Aku berangkat, di rumah saja jangan ke mana-mana, jika ingin keluar hubungi Abang dulu, biar nanti sopir kantor yang mengantar kamu.”
"Iya, Bang.”
"Assalamualaikum.”
"Waalaikumsalam.”
Mobil yang dikendarai Zahran meninggalkan halaman rumah mereka, rumah yang cukup besar untuk ditempati empat orang, mereka berdua, satu ART dan satu satpam.
Tidak berapa lama setelah kepergian Zahran, bel rumah berbunyi berulang kali membuat Yasna kesal.
“Siapa sih? Nggak sabaran banget!”
“Siapa lagi kalau bukan Nenek sihir,” celetuk Bik Rahmi.
“Nenek sihir?” ulang Yasna sambil berpikir, ia pun tahu siapa yang dimaksud Bik Rahmi.
Yasna keluar untuk membukakan pintu, ternyata memang sang mertua yang datang, tepat seperti yang diperkirakan Bik Rahmi.
“Kamu ke mana saja? Buka pintu saja lama sekali, di rumah juga nggak ngapa-ngapain! Tidak punya anak juga, sok sibuk!" ucap mertua Yasna yang bernama Faida dengan nada ketus, ia berjalan ke arah sofa dan duduk di sana.
Faida selalu datang di saat Zahran sudah berangkat kerja dan kedatangannya selalu membuat Yasna sakit hati, Yasna tak pernah sekalipun mengatakan pada suaminya itu, bahkan ia juga melarang Bik Rahmi bicara pada Zahran.
“Tadi di belakang, Ma.”
“Di belakang ngapain? Lebih baik kamu itu mengerjakan pekerjaan rumah, nggak usah pakai pembantu. Rumah juga nggak terlalu besar, sebagai istri harusnya kamu tahu diri, jangan hidup cuma buat nyusahin suami saja.”
Yasna merasakan sesak di dadanya, ia sakit hati, bagaimanapun dia juga punya perasaan, mertuanya itu selalu memiliki seribu cara untuk menyakiti Yasna.
“Silakan, Nyonya.” Bik Rahmi menyuguhkan minuman untuk Faida.
“Lihatlah, bahkan untuk segelas minuman saja, Rahmi yang membuatnya, kamu itu benar-benar menantu tidak berguna. Sudah tidak bisa memberi anak, melakukan pekerjaan rumah pun tidak becus.”
Ingin sekali Yasna menyangkal kata-kata mertuanya, tapi ia tahu semua pasti percuma, mertuanya itu tidak akan mau mendengarnya, apapun yang dilakukan dan dikatakan Yasna selalu salah di mata Faida.
“Minggir.” Faida mendorong Yasna agar memberinya jalan, Yasna yang tidak siap hampir saja terjatuh, untung saja ada Bik Rahmi di belakangnya.
Yasna tersenyum pada Bik Rahmi, asistennya itu tahu bagaimana sikap mertua dari majikannya itu, ia juga tahu kalau Yasna sering menangis di kamar setelah kedatangan Faida, ingin sekali ia bicara pada Zahran, tentang apa saja yang sudah terjadi setelah ia pergi bekerja, tapi Yasna selalu melarang dengan berbagai alasan.
“Makanan apa ini? Anak saya memberimu uang yang begitu banyak dan kamu hanya memasak nasi goreng untuknya! Kamu kemanakan uang anak saya? Kamu buat foya-foya! Atau bersenang-senang dengan selingkuhan kamu?”
“Apa maksud ucapan Mama? Aku tidak punya selingkuhan!” Yasna sedikit meninggikan suaranya.
“Tidak usah teriak, saya masih bisa mendengarnya!”
Ingin sekali Yasna marah, bagaimana bisa mertuanya itu punya pikiran seperti itu? Jangankan punya selingkuhan untuk keluar rumah saja, ia harus pergi dengan putranya dan berbagai peraturan yang dibuat suaminya.
“Lalu kamu kemanakan uang anakku?”
“Neng Yasna tidak setiap hari masak nasi goreng, kok, Nyonya.” Bik Rahmi mencoba membela majikannya.
“Kamu tidak usah membelanya, dia itu sudah salah.”
“Saya hanya bicara apa adanya, Nyonya.”
“Kamu dibayar berapa sama dia? Dia itu nggak bisa apa-apa, yang gaji kamu itu anak saya. Sekarang kamu masak buat saya ... saya lapar.” Faida menunjuk Yasna agar menantunya itu yang memasak.
“Maaf, Ma. Tidak ada apapun di kulkas, kami baru saja ingin pergi belanja.”
“Kamu benar-benar tidak berguna, Zahran sangat salah memilih istri, tidak punya anak, ya jangan jadi pemalas.”
Yasna mengepalkan kedua tangan yang ada di sisi tubuhnya, menahan segala emosi yang ada di dada. Ia selalu ingat nasehat ayahnya agar selalu menghormati mertua, layaknya orang tua sendiri, karena itu selama ini ia menahan segala hinaan yang datang padanya.
“ya sudah, terpaksa saya makan ini, mudah-mudahan tidak ada racunnya.”
Faida menyendokkan nasi goreng ke dalam piringnya, Yasna ingin membantu, tapi segera di tolak oleh Faida.
“Biar saya yang ambilkan, Ma.”
“Tidak perlu, nanti selera makan saya jadi hilang.”
Yasna menghela nafas panjang, mencoba membesarkan hati, ia meyakinkan diri jika apa yang terjadi padanya adalah untuk melatih kesabaran yang ia miliki. Padahal dulu, mertuanya sangat menyayanginya, tapi sejak kecelakaan itu, mertuanya jadi berubah sangat keji, padahal karena dialah rahim Yasna harus diangkat.
‘Enak juga masakan Yasna,’ batin Faida.
Faida menghabiskan satu piring nasi goreng, setelah itu ia pamit pulang, sudah cukup hari ini ia membuat masalah.
"Saya pulang, dan kalian segera ‘lah pergi belanja, jangan beri anakku makanan tidak sehat ini!" Faida pergi meninggalkan kedua orang itu.
"Iya, Ma.”
"Iya, Nyonya," jawab Bik Rahmi.
"Ayo, Bik! Kita belanja!" ajak Yasna.
"Biar Bibi saja Neng, nanti Tuan Zahran marah kalau tahu Neng Yasna keluar rumah. Apalagi sampai repot-repot belanja.”
"Nggak Papa, Bik. Lagian Abang ada di kantor nggak mungkin tahu juga, jika Bibi nggak bilang.”
"Bibi nggak berani, Neng.”
"Ayolah, Bik! Aku bosan di rumah terus," rengek Yasna.
"Haahh, baiklah.”
Mereka bersiap untuk pergi, Yasna senang akhirnya ia bisa pergi belanja, ia juga ingin membeli baju, sudah lama ia tidak membelinya.
“Bik, ayo!”
“Iya, Neng.”
.
.
.
.