Demi biaya pengobatan ibunya, Alisha rela bekerja di klub malam. Namun kepercayaannya dikhianati sang sahabat—ia terjerumus ke sebuah kamar hotel dan bertemu Theodore Smith, cassanova kaya yang mengira malam itu hanya hiburan biasa.
Segalanya berubah ketika Theodore menyadari satu kenyataan yang tak pernah ia duga. Sejak saat itu, Alisha memilih pergi, membawa rahasia besar yang mengikat mereka selamanya.
Ketika takdir mempertemukan kembali, penyesalan, luka, dan perasaan yang tak direncanakan pun muncul.
Akankah cinta lahir dari kesalahan, atau masa lalu justru menghancurkan segalanya?
Benih Sang Cassanova
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibu.peri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KEPUTUSAN ALISHA
Setelah Bibi Martha pergi, keheningan rumah seperti menelan seluruh keberadaan Alisha. Ia duduk di lantai dingin dengan lutut dirangkul, tubuhnya membungkuk, dan air matanya mengalir tanpa suara. Tangannya perlahan bergerak ke perutnya yang masih rata.
Perut itu belum menunjukkan apa-apa. Tapi ia tahu, sesuatu sedang tumbuh di sana. Sebuah kehidupan kecil. Hasil dari malam yang tak pernah ia harapkan. Malam yang hanya ingin ia lupakan.
“Kenapa harus aku…?” bisiknya lirih, matanya memburam oleh tangis. “Aku bahkan tidak tahu siapa ayahmu…”
Yang ia tahu hanya satu nama: Theo Smith. Seorang pria asing yang datang dalam satu malam, lalu pergi tanpa jejak. Bahkan wajahnya saja mulai mengabur dari ingatan. Nama itu pun terasa samar, seperti mimpi buruk yang berlalu begitu cepat tapi menyisakan luka panjang.
Perlahan, tubuh Alisha berdiri. Ia menatap sekeliling rumah kecil itu—rumah penuh kasih yang telah memberinya tempat tinggal, makanan, dan hangatnya keluarga. Tapi kini, ia akan membawa masalah. Ia akan jadi beban.
“Tidak! Aku tidak boleh menyusahkan Bibi Martha,” katanya dengan mata sembab. “Aku harus pergi dari sini. Aku harus pergi…”
Dengan tangan gemetar, ia berlari ke kamarnya, membuka lemari kecil, dan memasukkan pakaian ke dalam tas ranselnya. Setiap detik terasa berat. Hatinya ingin menjerit, tapi tekadnya terlalu kuat untuk dilawan. Ia harus melindungi orang yang paling baik padanya—dengan pergi.
Tapi ketika ia hendak mengangkat tas dan membuka pintu, langkahnya tertahan. Ingatannya menampilkan wajah Bibi Martha… wanita itu menyambutnya seperti anak sendiri, memberi tumpangan, makanan hangat, pelukan.
Air mata Alisha kembali jatuh.
Tidak… aku tidak bisa pergi seperti ini. Aku tidak bisa membalas kebaikan beliau dengan pergi diam-diam…
Tapi ia juga tidak bisa tinggal dan membuat wanita itu menderita karena kehamilan ini.
Kepalanya semakin berat. Dadanya sesak. Dan untuk pertama kalinya… ia mengucapkan hal yang tak pernah terlintas di benaknya.
“Aku harus bu ang An ak ini…”
Suara itu lirih, tapi tajam. Membelah isi kepalanya sendiri.
Ini bukan karena cinta, bukan karena keinginan. Ini karena kecelakaan. Karena… kebodohan.
"Lebih baik aku mengakhiri ini sekarang, sebelum semuanya makin rumit.” Alisha berbicara sendiri, seolah berusaha meyakinkan hatinya yang gemetar.
Beberapa jam kemudian, ia sudah berada di depan rumah sakit. Langit mendung seakan mencerminkan isi hatinya. Ia berdiri di trotoar, menatap papan besar bertuliskan Department of Obstetrics & Gynecology.
Tangannya mengepal kuat. Kaki kanannya sudah melangkah maju. Tapi tiba-tiba, tubuhnya berhenti.
Air matanya jatuh begitu saja. Matanya menatap perutnya. Ia bisa merasakan detak jantungnya berdetak begitu keras di dalam dada.
“Maafkan ibu, Nak…” bisiknya.
Ia kembali melangkah, mendekat ke pintu rumah sakit. Tapi saat tangan mungilnya menyentuh gagang pintu, langkahnya kembali terhenti.
Pikirannya berperang.
"Dia tidak bersalah… Kenapa aku harus menghukum dia atas kesalahan orang tuanya? Ini tubuhku, tapi dia adalah jiwa lain. Kehidupan lain. Dia tidak memilih untuk hadir, tapi dia sudah ada. Aku… tidak bisa."
Tangisnya pecah. Alisha mundur, lalu berbalik arah dan berjalan menjauh dari rumah sakit. Napasnya memburu, dadanya sesak oleh semua emosi yang meledak di dalam.
Ia terus berjalan sampai menemukan sebuah taman kecil di dekat halte. Di bawah pohon maple yang rindang, ia jatuh duduk dan menangis tersedu-sedu. Bahunya bergetar, tangannya menutupi wajahnya yang basah. Suara tangisnya tenggelam oleh angin sore.
“Aku tidak sanggup… aku tidak tahu harus bagaimana… Tapi aku juga tidak tega membuangmu…” gumamnya, hancur.
Tiba-tiba, suara langkah pelan terdengar mendekat. Sepasang kaki berselimut sepatu hak berkilau berhenti tepat di depannya. Alisha mendongak perlahan, dan mendapati seorang wanita paruh baya berdiri di hadapannya.
Wanita itu tampak elegan, dengan mantel wol abu-abu mahal, tas kulit asli, dan riasan tipis yang menandakan status sosialnya jauh di atas rata-rata. Matanya tajam, namun tidak mengintimidasi.
Wanita itu menatap Alisha dengan datar, lalu berbicara dengan suara tenang.
“Bersiaplah… untuk membesarkan anak itu.”
Alisha terperangah.
“Hah…? Siapa Anda?”