Melina Lamthana tak pernah merencanakan untuk jatuh cinta ditahun pertamanya kuliah. Ia hanya seorang mahasiswi biasa yang mencoba banyak hal baru dikampus. Mulai mengenali lingkungan kampus yang baru, beradaptasi kepada teman baru dan dosen. Gadis ini berasal dari SMA Chaya jurusan IPA dan Ia memilih jurusan biologi murnni sebagai program studi perkuliahannya dikarenakan juga dirinya menyatu dengan alam.
Sosok Melina selalu diperhatikan oleh Erick seorang dosen biologi muda yang dikenal dingin, cerdas, dan nyaris tak tersentuh gosip. Mahasiswi berbondong-bondong ingin mendapatkan hati sang dosen termasuk dosen perempuan muda. Namun, dihati Erick hanya terpikat oleh mahasiswa baru itu. Apakah mereka akan bersama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Greta Ela, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Pagi harinya, sinar matahari menembus celah gorden apartemen yang tipis, jatuh tepat di wajah Melina yang masih terlelap. Ia terbangun dengan rasa pening di kepalanya. Hal pertama yang ia rasakan adalah sesak di bagian dadanya karena gaun satin hitam itu masih melekat, kini tampak kusut karena ia gunakan tidur semalaman.
Melina duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke arah lantai. Rasa mual tiba-tiba muncul, bukan karena sakit fisik, melainkan rasa muak pada dirinya sendiri yang ia rasakan tadi malam. Bayangan cermin semalam tentang gadis yang memamerkan tubuhnya demi kesenangan seorang dosen kembali menghantui.
"Aku harus berhenti," bisiknya pada keheningan kamar. "Ini sudah terlalu jauh."
Ia bertekad hari ini akan menjadi hari di mana ia mengambil jarak. Ia ingin kembali menjadi Melina yang dulu, yang menghabiskan liburan dengan membaca buku teks Biologi, bukan dengan memakai gaun seharga jutaan rupiah dan makan di tempat yang tidak masuk akal bagi mahasiswi beasiswa seperti dirinya.
Melina bangkit, berniat menuju kamar mandi untuk membasuh semua sisa dosa malam itu dari wajahnya. Namun, tepat saat ia berdiri, ponselnya di atas meja bergetar. Sebuah notifikasi Instagram masuk. Jantungnya berkhianat, ia tetap meraih ponsel itu meski otaknya melarang.
@Erickfrag: "Selamat pagi, Melina. Saya tahu kamu mungkin sedang merasa bingung atau takut dengan semua yang terjadi semalam. Tapi ketahuilah, melihatmu dalam gaun itu membuat saya sadar bahwa saya tidak hanya mencintai kecerdasanmu, tapi saya menghormati setiap inci dari dirimu."
Baru saja ia membaca pesan itu, getaran lain muncul.
@Erickfrag: "Buka pintumu. Saya sudah membawakan sarapan kesukaanmu dan sesuatu yang jauh lebih tertutup untuk kamu pakai hari ini. Saya tidak ingin kamu menangis lagi karena merasa asing dengan dirimu sendiri. Saya mendengar isakmu semalam sebelum saya benar-benar melajukan mobil pergi, dan itu menghancurkan hati saya."
Melina terpaku. Erick mendengarnya? Rasa malu itu kini berganti dengan rasa haru yang menyesakkan. Erick tidak marah, Erick tidak menuntutnya untuk terus menjadi wanita dewasa yang seksi. Pria itu justru seolah memeluknya dari jauh, memahami ketakutannya tanpa perlu Melina jelaskan.
Melina tak mungkin keluar dengan gaun gila seperti itu, yang ada nanti satpam malah tergila-gila dengannya. Melina langsung mengganti bajunya dengan piyama seolah-olah sudah mengganti bajunya dan menghapus make upnya.
"Melina, kamu tidak pulang?" tanya Pak Satpam ramah
"Enggak pak. Tiket pesawat lagi mahal-mahalnya, saya memutuskan untuk menabung saja." ujarnya
Pak satpam mengangguk
"Eh, Mel, kemarin malam bapak melihat ada wanita yang pakai dress hitam seperti keluar dari apartemen tapi dia seperti lewat dari pintu belakang, atau hanya firasat bapak saja." ujar pak satpam
Seketika Melina terdiam tapi langsung menetralkan tubuhnya seolah tidak tahu apa-apa.
"Gak tahu pak, saya enggak lihat. Saya tadi malam hanya dikamar." jawab Melina
"Oh berarti hanya firasat bapak saja. Pagi ini mau kemana, Mel?" tanya pak satpam lagi
"Mau ke depan bentar pak, ambil pesanan sarapan. Udah diantar sama mamang ojeknya." ujar Melina berbohong
"Oke."
Melina lalu berjalan ke depan gerbang, jauh dari apartemen supaya tak ketahuan oleh pak satpam. Tempat itu sepi, mobil Erick terparkir disitu.
"Erick, pak satpam melihat ku tadi malam memakai dress itu, dia bilang hanya firasatnya saja. Untung gak ketahuan." ujar Melina langsung secara kesal.
"Maafkan aku Melina. Kalau kita keluar lagi, kita lewat jalan belakang saja ya, biar aman." ujar Erick
Erick lalu memberikan sarapan yang dibungkus kepada Melina
"Ini sarapan untukmu. Aku harap kau suka. Aku pergi, ya." ujar Erick
"Makasih." ucap Melina pelan
Perlahan, Erick pun pergi melaju dengan mobilnya. Ia bisa melihat ketakutan diwajah Melina. Untung saja pak satpam tidak mengetahui dan CCTV di apartemen itu tidak ada.
Melina langsung kembali ke apartemennya dan memberikan senyum pada pak satpam sambil memegang bungkus sarapannya.
Pertahanan Melina runtuh. Semua niat untuk menjauh menguap begitu saja. Ia menangis lagi, tapi kali ini bukan karena benci, melainkan karena ia merasa benar-benar dimiliki. Ia menyadari bahwa ia sudah terjebak terlalu dalam. Ia tidak hanya mencintai Erick, ia telah menjadi tergantung pada validasi pria itu.
Melina menghapus air matanya lalu membuka sarapan itu berisikan roti panggang dengan isian sosis kesukaan Melina. Ia lalu menyantapnya dengan lahap.
Seiring sisa liburan yang terus berjalan, hubungan mereka semakin intens. Erick mulai lebih sering datang ke apartemen Melina secara diam-diam melalui jalan belakang karena penghuni lain sudah pulang kampung. Mereka menghabiskan waktu dengan cara yang lebih sederhana namun tetap terasa mewah bagi Melina.
Rasa bersalah itu masih ada, terkadang muncul saat malam tiba, namun cinta Melina telah tumbuh menjadi sesuatu yang lebih besar dari rasa malunya. Ia mulai menerima identitas barunya sebagai kekasih rahasia Erick.
Tak terasa, kalender di dinding menunjukkan bahwa tiga minggu telah berlalu sejak malam gaun hitam itu. Seminggu lagi, Bunga akan kembali. Seminggu lagi, koridor kampus akan kembali ramai. Seminggu lagi, ia harus kembali memanggil Erick dengan sebutan "Pak" di depan semua orang.
"Erick," panggil Melina suatu malam saat mereka duduk bersama di restaurant, kepalanya bersandar di bahu pria itu.
"Apa yang akan terjadi kalau mereka tahu?"
Erick tersenyum, perlahan memegang tangan Melina lalu mencium punggung tangan Melina dengan lama, aroma parfum mahalnya menenangkan ketakutan gadis itu.
"Mereka tidak akan tahu selama kamu tetap tenang. Di kelas, saya tetap dosenmu yang tegas. Di luar, kamu adalah ratu saya. Percayalah, saya sudah mengatur segalanya."
Melina memejamkan mata, mencoba percaya. Namun, ia tidak tahu bahwa di balik senyum Erick, pria itu sebenarnya sudah menyiapkan sebuah langkah yang akan membuat hubungan mereka permanen, sesuatu yang mungkin akan merenggut kebebasan Melina selamanya sebagai seorang mahasiswi biasa.
"Tapi aku masih takut. Aku takut keceplosan." ujar Melina
"Melina, kamu tidak akan keceplosan. Aku tahu kamu mahasiswi yang cerdas, tidak mungkin kan hal sekecil itu kamu keceplosan?"
Melina lalu mengangguk. Ia gengsi untuk menunjukkan cintanya pada Erick, ia masih takut. Wajar, ia merasa belum pantas untuk menjalin hubungan aneh ini yang biasa saja bagi Erick.
Saat makan malam itu, Erick selalu memperhatikan cara Melina makan, melihat wajah cantiknya dan bahkan sudah berani mencium punggung tangan Melina.
Tak lama, Erick pun mengantar Melina kembali ke apartemennya. Hampir tiga minggu itu ia lupa untuk menelpon Bunga, untung saja ia membuat jadwal kapan ia akan menelpon sahabatnya lagi.
Sesampainya diapartemen, Melina melakukan panggilan suara pada Bunga.
"Halo Bunga. Minggu depan kamu pulang ya?" tanyanya
"Iya Mel, nanti aku bawain coklat kesukaan kamu. Dan aku gak akan buat kamu kesepian lagi. Tunggu aku ya." ujar Bunga
Telepon itu tak berlangsung lama, seolah-olah itu hanya perlakuan kecil supaya Bunga tahu keadaan Melina. Yang anehnya, selama kuliah ini Melina tak pernah menelpon kedua orang tuanya. Ia tak ingin terlihat sedih karena sifat keluarganya, Ia punya Bunga dan pria yang menaruh hati padanya.