Ardina Larasati, sosok gadis cantik yang menjadi kembang desa di kampung Pesisir. Kecantikannya membuat seorang Regi Sunandar yang merupakan anak pengepul ikan di kampung itu jatuh hati dengannya.
Pada suatu hari mereka berdua menjalin cinta hingga kebablasan, Ardina hamil, namun bukannya tanggung jawab Regi malah kabur ke kota.
Hingga pada akhirnya sahabat kecil Ardina yang bernama Hakim menawarkan diri untuk menikahi dan menerima Ardina apa adanya.
Pernikahan mereka berlangsung hingga 9 tahun, namun di usia yang terbilang cukup lama Hakim berkhianat, dan memutuskan untuk pergi dari kehidupan Ardina, dan hal itu benar-benar membuat Ardina mengalami gangguan mental, hingga membuat sang anak yang waktu itu berusia 12 tahun harus merawat dirinya yang setiap hari nyaris bertindak di luar kendali.
Mampukah anak sekecil Dona menjaga dan merawat ibunya?
Nantikan kelanjutan kisahnya hanya di Manga Toon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10.
Malam datang perlahan, jejak keemasan mulai menghilang langit berubah gelap diterangi oleh cahaya bulan bintang yang nampak begitu indah, seindah hati gadis kecil yang baru merasakan jalan-jalan ke kota.
Dengan senyum polos, Dona mulai berjalan menyusuri gang sempit yang padat pemukiman, angin laut menerpa rambut panjangnya yang kusam, lalu tangan kokoh itu mulai merunduk dan membenarkan anakan rambut di wajah Dona.
"Dona, rambutmu sebaiknya di kuncir saja biar gak berantakan," kata Regi dengan lembut.
"Maaf ya Om, tali rambut Dona masih di jemur soalnya basah," sahut anak itu.
"Ya sudah nanti Dona beli jepit rambut yang banyak ya," ujar Regi.
"Emang boleh?" tanya anak itu.
"Boleh, kamu boleh ambil sepuasnya, yang kamu butuhkan," ucap Regi.
Dona mengangguk paham, lalu keduanya mulai melanjutkan langkahnya hingga sampai ke parkiran pantai.
"Ayo Don, masuk," ajak Regi sambil membukakan pintu untuk gadis kecil itu.
Pintu mobil terbuka lebar, Dona mematung sejenak, sebelum menjejakkan kakinya di t
dalam mobil mewah itu, sejenak netranya mulai mengedar ke jok mobil berwarna hitam mengkilap, ada sedikit keraguan ia takut jika bajunya yang lusuh mengotori tempat itu.
"Don, kenapa diam ayo naik," ulang Regi hati-hati.
"Om, baju Dona lusuh, nanti kursinya kotor," sahut anak itu.
Regi melempar senyum agar anak itu tidak merasa kaku dan sungkan. "Gak apa-apa, kalau kotor nanti bisa dibersihkan," ujar Regi.
Dona masuk perlahan, ia mulai mendudukkan bokongnya dengan hati-hati, untuk pertama kalinya ia menaiki mobil semewah ini. "Empuk," satu kata yang keluar dari mulut Dona.
Regi tertegun, ada perasaan sedih dan campur aduk yang tidak bisa ia ungkapkan, dengan kata-kata. "Maafkan Papa Nak, Papa yang membuat kamu menderita seperti ini," ungkap Regi tentunya di dalam hati.
Anak itu menggigit bibir kecilnya. Ia duduk kaku, kedua tangan terlipat rapih di pangkuan, seolah sedang bertamu ke rumah orang kaya yang asing baginya.
Regi menutup pintu, lalu masuk ke kursi kemudi. Mesin menyala halus.
Sepanjang perjalanan menuju kota kecil itu, Dona tak berhenti memandangi jendela. Lampu-lampu toko, papan iklan, bangunan tinggi, bahkan motor yang lalu lalang terasa seperti dunia baru yang terbuka di hadapannya.
“Om…” panggil Dona tiba-tiba.
“Iya?”
“Semua ini… di TV kelihatan kecil, ya. Tapi aslinya gede banget…”
Regi tersenyum getir.
“Iya… dunia memang lebih luas dari layar kecil.”
Dona mengangguk, wajahnya berbinar.
Tangannya menempel ke kaca jendela, seperti anak kecil yang pertama kali naik wahana impian.
“Lampunya kayak bintang jatuh…” gumamnya.
Ucapan sederhana itu menusuk dada Regi.
Dona bukan melihat gedung mewah.
Ia hanya melihat cahaya yang baginya terasa seperti keajaiban.
☘️☘️☘️☘️
Mobil terhenti di halaman parkir Mall, Dona terperangah menatap lampu Mal yang terang benderang, mulutnya sedikit terbuka tanpa sadar. "Waah!"
"Om, gedung ini tinggi banget ya," ucap gadis kecil itu dengan kagum.
Langkah kecilnya tertahan saat melihat pintu kaca otomatis terbuka sendiri. “Lhooo… pintunya bisa jalan!” serunya takjub.
Regi tertawa kecil, lalu menggenggam tangannya. “Ayo, jangan takut.”
Dona berjalan sambil setengah bersembunyi di belakang tubuh Regi, takut dan kagum bersamaan.
Begitu masuk ...
Serentetan suara, aroma roti, musik dari speaker, hingga cahaya etalase membuat Dona terpaku. “Om… ini kayak mimpi…”
Regi menunduk menatapnya. “Kalau mimpi, jangan bangun dulu ya.”
Dona tersenyum lebar, tanpa sadar ia mencubit kecil punggung tangannya. "Ini gak mimpi Om, nyatanya tanganku sakit."
Regi tertawa lagi, ia mencubit pelan hidung kecil Dona. "Auuu sakit Om," keluh Dona.
"Berarti nyata Dong?"
"Iya."
Mata Dona berpendar, ia seperti sedang mencari-cari sesuatu yang selama ini sedang ia ingini. "Don cari apa?"
"Om, mana tangga berjalannya," sahut anak kecil itu.
"Itu di samping sana," sahut Regi sambil menunjuk ke Eskalator.
Dona sedikit terkejut, ada rasa takut tapi penasaran ingin mencoba Eskalator yang ia pikir seperti wahana permainan.
"Dona mau naik?" tanya Regi.
Anak itu tidak menjawab tapi sedikit mengangguk ragu. "Ya sudah ayo pegang tangan Om ya."
Dengan penuh yakin Dona menyulurkan tangannya ke lengan kokoh itu, sedikit takut, tapi ... setelah merasakan sensasi pertama menaiki eskalator, ada rasa yang aneh dan sulit untuk diungkapkan.
"Gimana Don," tanya Regi, ketika kaki Dona menyentuh tangga berjalan itu.
"Enak, tapi ... takut jatuh," sahutnya dengan nada polos.
"Yang penting pikiran Dona harus tenang dan fokus, pasti ketakutan itu akan hilang dengan sendirinya," ujar Regi pelan.
Setelah naik ke lantai dua hal pertama yang mereka tuju adalah toko mainan. Mata Dona berbinar menatap boneka, mobil remote kecil, buku gambar, dan balon warna-warni.
Ia melangkah pelan, menyentuh satu per satu mainan itu dengan ragu. “Om… kalau rusak gimana?” tanyanya khawatir.
“Rusak ya kita beli lagi,” jawab Regi tanpa ragu.
Dona menggeleng cepat. “Dona nggak mau rusak, Om.”
Anak kecil itu memeluk sebuah boneka beruang cokelat mungil. “Dona cuma mau ini aja,” katanya lirih.
Regi menahan napas. “Kenapa cuma satu?”
Dona menatap boneka itu seolah menatap teman lamanya.
“Biar bisa tidur, Om…” ungkapnya dengan raut sedih. “Selama ini Dona tidur peluk baju Ibu… tapi bajunya sudah sobek semua.”
Sekejap dunia Regi runtuh, ia tidak tahu harus menebusnya dengan apa, ketika kesalahan sudah terlanjur patal, dan penyesalan pun tiada guna. Pria itu berjongkok tepat di depan Dona, menatap mata kecil itu.
“Kamu boleh ambil lebih, Don.”
Dona menggeleng pelan. “Satu saja cukup… yang penting ada temannya.”
Regi berdiri, lalu diam-diam mengambil boneka lain, kelinci putih kecil dan satu bantal lucu berbentuk bintang.
Ia membawanya ke kasir, diam-diam saat Dona melihat kantong belanja di tangan Regi, matanya membulat.
“Om bilang satu…”
“Yang satu buat kamu, yang dua buat temannya.”
Dona tertawa polos.
“Boneka Dona nanti nggak kesepian.”
Tawa itu… membuat dada Regi sesak oleh bahagia dan luka sekaligus, ia tahu 12 tahun bukan waktu yang sebentar, apalagi ia tidak hadir ketika malaikat kecilnya itu dilahirkan dan bagaimana cara mereka berdua bertahan hidup, dengan cacian para tetangga.
"Maaf." gumamnya lirih.
☘️☘️☘️☘️
Satu jam dua jam, mereka tidak terasa sudah belanja dan berkeliling Mall, hingga belanjaan mereka memenuhi trolinya, Regi sedikit tersenyum melihat darah dagingnya memilih baju, memilih tali rambut, bahkan sepatu untuk sekolah.
Tanpa sadar air mata jatuh begitu saja tanpa diundang.
"Om, yakin ini belanjaan semua untuk Dona?"
Regi mengangguk dengan senyuman. "Iya Don itu semua untuk Dona."
"Yei, makasih ya Om," ucapnya dengan senyum yang mengembang. "Andai saja Ibu tahu, pasti ia ikut senang," imbuhnya kembali.
Regi tertegun, disaat anak kecil itu selalu ingat dengan ibunya, bahkan nyalinya sendiri belum siap untuk menemui wanita itu, wanita yang dengan sengaja ia tinggalkan.
Bersambung ....
Selamat Sore ... jangan lupa bahagia kawan🥰🥰🥰🙏🙏🙏🙏
semangat Regi pasti bisa menjalaninya
pergi jauh... ke LN barangkali setelah sukses baru kembali,,tunjukkan kemampuanmu.
semangat......