Anesha dan Anisha adalah kakak beradik yang terpaut usia tiga tahun. Hidup bersama dan tumbuh bersama dalam keluarga yang sama. Namun mereka berdua dibesarkan dengan kasih sayang yang berbeda. Sebagai kakak, Nesha harus bekerja keras untuk membahagiakan keluarganya. Sedangkan Nisha hidup dalam kemanjaan.
Suatu hari saat mereka sekeluarga mendapat undangan di sebuah gedung, terjadi kesalah pahaman antara Nesha dengan seorang pria yang tak dikenalnya. Hal itu membuat perubahan besar dalam kehidupan Nesha.
Bagaimanakah kehidupan Nesha selanjutnya? Akankah dia bahagia dengan perubahan hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pena Halu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sholat Subuh
"Pak, sudah pukul delapan malam. Anda tidak pulang ke rumah istri anda?" Tanya Azka seraya menata dokumen yang selesai dibubuhi tanda tangan Garvi.
"Aku masih mau mengecek progres ekspor tambang nikel dulu". Garvi fokus pada layar laptop di depannya
"Apa anda tidak bisa melakukannya di rumah?" Azka menaikkan kedua alisnya.
"Aku masih belum bisa jujur sama istriku, Azka". Kini alis Azka berubah mengernyit.
"Kenapa?" Azka segera menekuk bibirnya ke dalam. Ia tahu kalau bosnya ini tak pernah mau membicarakan masalah pribadi. "Maaf, saya lancang", imbuh Azka.
Garvi memandang Azka yang sedikit ketakutan. Lalu ia tersenyum simpul.
"Aku masih belum bisa mencintai istriku sepenuhnya. Dan aku masih ingin melihat, apakah dia layak jadi nyonya di keluarga Naradhipta atau tidak".
Azka mengangguk tanda mengerti dengan jawaban Garvi. Namun dalam hati lelaki muda ini, merasa iba pada seorang yang menjadi istri bosnya.
Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Garvi segera kembali berganti pakaian dengan kaos oblong dan memakai jaket ojolnya.
Sesampainya di rumah, Nesha sudah menyambut kedatangannya di ruang tamu. Wajah penuh senyum terkembang selalu menyapa di pagi dan malam hari Garvi.
"Mas udah makan?" Tanya Nesha. Kalimat itu adalah hal pertama yang selalu ia tanyakan setiap kali suaminya pulang. Padahal Garvi adalah orang yang selalu tepat waktu dalam segala hal, termasuk makan. Ia sangat menjaga kondisi tubuhnya agar selalu sehat dan bugar.
"Sudah", jawab Garvi seraya masuk ke dalam kamar setelah mencuci kaki dan tangannya. Nesha membuntuti di belakang.
"Aku mau makanan penutup", ujar Garvi berbisik di telinga Nesha.
"Makanan penutup? Mas mau makan apa?" Tanya Nesha seraya berdiri di depan Garvi. Mencoba memikirkan apa yang suaminya inginkan.
Dengan cepat Garvi menarik tubuh Nesha ke dalam pelukannya. Tubuh perempuan itu tampak tenggelam karena tinggi mereka yang berbeda jauh.
Nesha mendongak menatap Garvi. "Mas mau makan apa, biar saya buatkan", tanya kembali.
"Aku mau makan kamu". Garvi segera mengangkat tubuh Nesha keatas ranjang. Tak lupa ia mematikan lampu lebih dahulu.
Meskipun tampak remang-remang, Nesha bisa melihat tubuh berotot Garvi. Kini wajahnya pun memerah padam malu karena Garvi sudah melepaskan pakaiannya satu persatu. Lalu lelaki itu dengan tangkas melepas semua kain yang melekat ditubuh Nesha.
Ini adalah kali kedua mereka menghabiskan malam yang bergairah. Desa*han yang meluncur dari bibir keduanya semakin intens dan tanpa ragu lagi. Dan permainan panas tersebut berlangsung hingga tiga kali ronde.
Keesokan paginya, Nesha selesai menunaikan sholat subuh. Ia dikejutkan dengan lengan yang melingkar di pinggangnya ketika sedang menggantung mukena.
"Setiap kali abis sholat, kamu kelihatan makin cantik", puji Garvi seraya menenggelamkan kepalanya di leher Nesha.
Nesha memutar badannya menghadap Garvi, lalu mendongakkan kepala. Menatap wajah Garvi dengan lekat, seolah ingin mengutarakan sesuatu namun ia tak sanggup.
"Sudah lama aku meninggalkan sholat, Nes. Apa Allah akan mengampuniku?"
"Allah itu Maha Pemaaf dan Pengampun, Mas. Ia suka umat-Nya yang bertobat dan kembali ke jalan-Nya", tutur Nesha dengan lembut. Suaranya yang teduh membuat hati Garvi berdesir.
Garvi kembali membawa Nesha dalam pelukannya. Hatinya menghangat setiap kali istrinya bersikap lembut.
"Sudah berapa lama Mas meninggalkan sholat?"
"Mungkin sejak aku beranjak SMA. Aku sudah jarang sholat karena aku sekolah di sekolah yang mayoritas beragama lain", Garvi menghela nafas seraya membuang muka. Ia malu menatap wajah istri sholehanya.
"Nggak ada kata terlambat, Mas", Nesha meraih wajah Garvi dan mengusap halus pipinya. "Mas cepetan mandi dan bersuci, lalu sholat subuh. Masih ada waktu", ujar Nesha seraya menatap intens wajah suaminya.
Segera Garvi pergi ke kamar mandi. Setelahnya ia mengambil wudhu dan kembali ke kamar.
"Mas nggak punya sarung?" Garvi menjawab dengan gelengan kepala sambil malu-malu.
"Ya udah, saya pinjamkan ke bapak, ya?" Lalu Nesha pergi ke kamar Pak Edi.
Ternyata Pak Edi datang dari arah dapur. Segera Nesha menghampiri bapaknya.
"Pak pinjam sarung buat Mas Garvi", ucap Nesha lirih. Melihat anaknya berantusias, segera Pak Edi masuk kamar dan mengambil sarungnya.
"Ini sarung bapak yang masih baru. Buat Nak Garvi aja, Nes". Pak Edi menyerahkan sarung yang masih terbungkus dalam kotak. Nesha menerima pemberian bapaknya dengan senang.
"Mas Garvi pasti senang dapat sarung dari bapak". Kemudian Nesha pamit dan kembali ke kamarnya. Ia menyerahkan sarung itu pada Garvi.
"Makasih ya, Nes", ucap Garvi seraya menerima sarung dari tangan Nesha.
"Mas masih ingat kan tata cara dan doa-doa sholat?"
"Masih, Nesha. Kamu jangan khawatir". Garvi pun menunaikan sholat subuh dengan khusyuk.
Nesha memandangi suaminya yang sedang sholat. Rasa haru dan bahagia merasuk dalam hatinya, menciptakan bulir bening di sudut mata.
Setelah menunaikan sholat, Garvi mengajak Nesha berjalan-jalan pagi berkeliling kampung.
"Mas seriusan ngajak saya jalan-jalan?" tanya Nesha meyakinkan kembali.
"Kenapa? Apa orang-orang masih berbicara sembarangan tentang kita?"
"Entahlah, Mas. Saya takut nanti kamu tersinggung dengan mulut orang-orang, Mas". Nesha menundukkan kepala.
"Jangan khawatir, Nes. Aku tuh orangnya kebal kok sama hinaan-hinaan", ucap Garvi seraya terkekeh.
Lalu mereka pun pamit sama Pak Edi yang sedang duduk di ruang makan sambil menikmati kopi buatan Bu Rumi.
"Kamu ngapain jalan-jalan keliling kampung? Kamu mau pamer kalau udah nikah sama tukang ojek?!" teriak Bu Rumi dari dapur.
"Bangga kamu punya suami tukang ojek?!" lanjut Bu Rumi seraya memukul tepi wajan yang terdengar nyaring.
"Bu. Jangan gitu. Pekerjaan apapun itu halal!" Balas Pak Edi tak terima jika salah satu menantunya direndahkan.
"Ibu malu, Pak. Tetangga terus ngomongin ibu karena suami Nesha tukang ojol!" teriak Bu Rumi dengan nada kesal
"Meskipun suami Nesha tukang ojek, Nesha tetap bangga, Bu. Karena dia nggak gengsi dan bukan maling", tutur Nesha tetap lembut meskipun hatinya sakit dengan perkataan ibunya.
"Bapak anak sama aja! Nggak bisa dibilangin!" suara Bu Rumi sewot.
Pak Edi tersenyum tipis menatap Nesha yang tetap tenang meskipun terlihat senyum canggung diwajahnya. Lalu ia mengangguk, memberinya ijin. Wajah ayu nan sayu itu pun berubah menjadi sumringah kembali. Bak seorang anak kecil yang riang karena diberikan ijin untuk bermain.
Segera ia menghampiri Garvi di kamar. Namun suaminya itu tampak terdiam di tepi tempat tidur.
"Kamu kenapa, Mas?"
"Kamu nggak malu punya suami tukang ojol kayak aku?"
Nesha menghampiri Garvi seraya tersenyum. Diraihnya tangan lelaki itu dalam genggamannya.
"Selama Mas bukan pencuri atau bertindak kriminal lainnya, saya nggak peduli Mas mau kerja apapun. Saya juga nggak malu. Toh saya pun juga cuma karyawan toko biasa. Saya juga bukan perempuan hebat".
Garvi membawa Nesha ke dalam pelukannya. Suara teduh Nesha selalu membuat hati Garvi merasa nyaman.