Dasha Graves, seorang ibu tunggal yang tinggal di Italia, berjuang membesarkan dua anak kembarnya, Leo dan Lea. Setelah hidup sederhana bekerja di kafe sahabatnya, Levi, Dasha memutuskan kembali ke Roma untuk mencari pekerjaan demi masa depan anak-anaknya. Tanpa disangka, ia diterima di perusahaan besar dan atasannya adalah Issa Sheffield, ayah biologis dari anak-anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melon Milk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10
Hari Senin tiba, dan di sinilah Dasha, berdiri di dalam lift menuju kantor. Sera sudah turun lebih dulu di lantai tempatnya bekerja, jadi kini hanya Dasha seorang diri di dalam lift.
Sebenarnya, ia sangat gugup. Ia sendiri tak tahu kenapa harus merasa begitu. Ia butuh pekerjaan ini dan tawaran yang diberikan perusahaan itu terlalu bagus untuk dilewatkan, meskipun yang menjadi atasannya adalah dia. Tidak apa-apa. Ia harus bertahan. Demi kedua anaknya.
Bodoh, Dasha!
Begitu pintu lift terbuka, jantungnya berdetak semakin cepat ketika melihat Issa sedang bersandar di dekat pintu, tepat di depan mejanya. Ini dia! Saatnya ia dipecat karena kebodohannya!
“Kau terlambat. Buatkan aku kopi. Sekarang!” suaranya tegas, nyaris membentak.
Terkejut, Dasha segera bergegas menuju pantry dan menyiapkan kopi. Setelah selesai, ia mengetuk pintu ruangannya.
“Ini kopimu, Tuan,” katanya pelan sambil menyerahkan cangkir.
“Oke. Kau boleh kembali ke mejamu.”
“Jadi… kau tidak akan memecatku?”
“Apakah kau ingin dipecat?” alisnya terangkat dingin.
Dasha menggeleng cepat-cepat lalu segera keluar. Begitu pintu tertutup, barulah ia bisa menghela napas lega.
Masih sama. Ia masih Issa yang dulu, pikirnya sambil mulai menata kembali dokumen-dokumen di mejanya.
Tak lama kemudian, Issa keluar dari ruangannya.
“Baru kali ini,” gumam Dasha tanpa sadar.
“Apa maksudmu?” tanya Issa. Rupanya ia cukup keras bicara.
“Baru kali ini aku melihatmu keluar dari kantor. Selama beberapa minggu aku bekerja di sini, aku belum pernah melihatmu keluar kecuali kalau ada rapat di luar atau sudah jam pulang.”
“Dan?”
“Tidak apa-apa, cuma aneh saja.” Ia mengangkat bahu.
“Ikut denganku,” perintah Issa dingin.
“Hah? Ke mana? Dengan siapa, kenapa, untuk apa?” Dasha spontan menyanyikan potongan lagu dari acara televisi yang dulu sering mereka tonton, membuat Issa menatapnya tajam.
“Bercanda saja. Tidak bisa ya, sedikit humor?” Dasha berdecak pelan. “Tapi serius, kita mau ke mana? Di jadwalmu hari ini kosong, lho.”
“Justru karena kosong. Aku punya waktu luang. Berdiri dan ikut aku, Dasha.”
“Dasha?”
“Itu namamu, bukan? Cepat!”
“Galak sekali, sih…” gumamnya lirih.
“Aku dengar itu.”
Dasha langsung menutup mulutnya, takut salah bicara lagi.
Kini mereka berada di dalam mobil Issa. Ia di kursi pengemudi, Dasha di sampingnya. Dasha tidak tahu hendak dibawa ke mana. Ia hanya menatap dashboard tanpa fokus.
“Dasha.” Suara Issa menyentakkannya dari lamunan. “Kita sudah sampai.”
Ia menoleh keluar dan terkejut mendapati mereka berhenti di depan Masion keluarga Sheffield.
“Apa yang kita lakukan di sini, Tuan?” tanyanya bingung.
“Berpura-puralah kalau kita masih bersama nenekku sedang disini. Sampai sekarang dia masih mencarimu, dan karena kebetulan kau ada di sini, kau akan berpura-pura jadi pacarku di hadapannya. Tenang saja, aku akan membayarmu.”
Belum sempat Dasha menjawab, Issa sudah menarik tangannya masuk ke dalam rumah.
Nenek masih berpikir mereka berdua bersama? Lalu alasan apa yang dulu digunakan Issa sampai neneknya percaya begitu lama?
Begitu mereka masuk, pelayan keluarga, Emilia, langsung menyapa dengan senyum ramah.
“Selamat siang, Nona Dasha.”
“Selamat siang, Emilia,” jawab Dasha malu-malu.
“Aduh, masih sama ya, selalu sopan. Ayo, mereka semua sudah menunggu di ruang makan.”
Dasha mengikuti mereka menuju ruang makan. Suara tawa keluarga Sheffield terdengar hangat dari kejauhan. Begitu Issa berdehem, semua kepala menoleh.
“Dasha?” tanya Maren, ibu Issa, terkejut melihatnya berdiri di samping putranya.
“S-selamat siang, Bu Maren.”
Belum sempat ia menunduk lebih dalam, Indie, adik perempuan Issa sudah berteriak dan memeluknya erat.
“Dasha! Ya Tuhan, ini sungguhan?!”