Ye Fan, pemuda 15 tahun dari Klan Ye—klan kelas tiga di Kota Pelangi—dikenal sebagai anak ajaib dalam seni pedang. Namun hidupnya hancur ketika klannya diserang oleh puluhan pendekar tingkat ahli yang mengincar pusaka mereka, Pedang Giok Langit.
Seluruh klan terbantai. Hanya Ye Fan yang selamat.
Dengan luka di jiwanya dan kemarahan yang membakar hatinya, ia bersumpah untuk menjadi lebih kuat, merebut kembali Pedang Giok Langit, dan membalaskan dendam Klan Ye yang telah musnah.
Ikuti perjalanan Ye Fan di PENDEKAR PEDANG Halilintar!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DANTE-KUN, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10: Peningkatan Kekuatan
Malam ketujuh di kediaman Klan Ji adalah malam yang penuh ketegangan. Di kamar penginapannya, Ye Fan akhirnya mengakhiri kultivasinya yang intens selama enam hari. Di sekelilingnya, kulit pil dari puluhan Pil Peningkat Energi berserakan, menandakan sumber daya besar yang ia konsumsi.
Ye Fan duduk bersila. Energi spiritual di sekelilingnya berputar dengan ganas, diserap ke dalam dirinya.
BOOM!
Sebuah suara guntur kecil meledak di dalam meridiannya. Tenaga Dalam Emas Awalnya, yang sudah mencapai batas jenuh, akhirnya pecah, melonjak ke tingkatan yang baru. Energi Emasnya berderu dengan lapisan Elemen Petir yang terkontrol.
Pendekar Emas Menengah!
Ye Fan membuka matanya, kilatan listrik halus melintas sesaat. Tubuhnya terasa lebih ringan, Tenaga Dalamnya lebih padat dan lebih tajam, dan Elemen Petirnya terasa seperti perpanjangan dari jiwanya.
Ia menarik napas panjang, mengeluarkan napas keruh yang membawa sisa-sisa kotoran kultivasi.
Biasanya, gumam Ye Fan dalam hati, seorang pendekar harus menghabiskan waktu setidaknya satu hingga tiga tahun, tergantung bakat dan kekayaan sumber daya, hanya untuk melompat satu tahapan di Ranah Emas.
"Enam hari," desisnya. Kecepatan ini adalah hasil dari kombinasi kekuatan yang tak tertandingi: Tulang Beruang sebagai fondasi, Kitab Pemurnian Langit sebagai katalis superior, dan Pil Peningkat Energi sebagai bahan bakar.
Ia adalah Pendekar Emas Menengah yang fondasinya lebih padat daripada Pendekar Emas Puncak biasa. Ye Fan merasa dirinya sekarang adalah senjata yang diasah, siap memotong siapa pun yang berani menghalangi jalannya.
Pada saat yang sama, di kamar utama Klan Ji, Ji Ping duduk di samping ranjang ayahnya yang kini bernapas dengan sangat lambat, keputusasaan mencekik hatinya. Ia tahu, waktu hampir habis.
Namun, Ji Ping tidak tahu bahwa maut telah tiba di kota.
Di jalanan Kota Awan, dua sosok bergerak. Mereka adalah Dua Bayangan Kematian, Pendekar Emas Puncak andalan Organisasi Sembilan Bayangan.
Mereka mengenakan jubah hitam tebal yang menutup seluruh tubuh mereka, bahkan wajah mereka tertutup bayangan. Mereka bergerak di sepanjang atap rumah dan gang-gang gelap, tidak menyentuh jalan utama.
Mode Kamuflase mereka nyaris sempurna.
Bahkan Pendekar Emas Awal yang berpatroli pun tidak bisa merasakan keberadaan mereka. Aura Pendekar Emas Puncak mereka terkompresi dan disamarkan hingga ke tingkat yang mustahil.
Mereka mampu menghilangkan niat membunuh mereka sepenuhnya, menjadikannya sangat sulit dideteksi bahkan oleh Pendekar yang lebih tinggi ranahnya. Mereka seperti dua hantu yang bergerak di antara dunia hidup dan mati, dan target mereka adalah kediaman Klan Ji.
Misi ini harus selesai sekarang juga.
Dua Bayangan Kematian itu, tanpa ada yang menyadari, hanya berjarak beberapa blok dari kediaman Klan Ji.
Malam itu, Ye Fan meninggalkan penginapan mewahnya, aura Pendekar Emas Menengah miliknya yang baru lahir terselubung di bawah jubah. Ia membawa Pedang Pusaka barunya. Tujuannya adalah kediaman Klan Ji. Ia berencana menanyakan kabar ayah Ji Ping yang sakit parah dan sekaligus memberikan jawaban finalnya mengenai Turnamen.
Saat Ye Fan mendekati gerbang utama Klan Ji, ia merasakan sensasi aneh. Itu bukan niat membunuh yang jelas, melainkan firasat—sebuah rasa dingin yang tajam dan tak terjelaskan di udara malam. Jantungnya, yang jarang berdebar karena emosi, berdetak sedikit lebih cepat.
Ada yang tidak beres, gumamnya dalam hati. Namun, karena tidak ada aura musuh yang jelas, ia mengabaikannya, menghubungkannya dengan kekhawatiran yang masih tersisa dari pertarungannya melawan organisasi Sembilan Bayangan sebelumnya.
Dua penjaga gerbang Klan Ji, yang mengenali Ye Fan sebagai tamu yang dihormati oleh Tuan Muda mereka, segera membungkuk.
"Saudara Ye Fan, silakan masuk. Tuan Muda Ji Ping ada di kamar utama milik Kepala Klan," kata salah satu penjaga, menunjuk jalan.
Ye Fan diantar ke kamar utama Kepala Klan. Saat ia melangkah masuk, suasana duka yang berat segera menghimpitnya. Lilin meredup, dan aroma ramuan obat bercampur dengan bau kematian yang samar.
Ji Ping, wajahnya sembab karena tangisan yang ditahan, duduk di sisi ranjang. Kepala Klan Ji sudah sangat lemah; napasnya berat, tersendat, dan wajahnya pucat pasi, hanya tinggal menunggu waktu.
Ji Ping menoleh, sedikit terkejut melihat Ye Fan, tetapi ada sedikit lega di matanya yang putus asa.
"Ayah ... Saudara Ye datang menjenguk," bisik Ji Ping lembut.
Kepala Klan Ji, dengan mata yang hampir tertutup, melirik Ye Fan. Tatapannya lemah, namun ada kehangatan yang mendalam.
"Ping'er ... kemarilah, Nak," suara Kepala Klan Ji serak, nyaris tak terdengar.
Ji Ping mendekat, menundukkan kepalanya. Ye Fan berdiri diam di dekat pintu, memberikan ruang privasi, menyaksikan momen perpisahan yang alami dan menyayat hati—sesuatu yang tidak pernah ia dapatkan saat klannya terbakar.
"Ayah minta maaf..." kata Kepala Klan, menahan batuk yang menyakitkan. "Maafkan Ayah harus pergi secepat ini, menyusul Ibumu ... Ayah tidak punya banyak waktu..."
Ji Ping menangis tertahan. "Ayah, jangan bicara seperti itu..."
Kepala Klan tersenyum samar. "Ayah hanya ingin kau tahu ... kau tidak perlu menjadi yang terkuat di dunia, Nak. Melihatmu membantu orang-orang kecil di pasar, berbuat baik kepada sesama pendekar ... itu adalah hal yang paling penting bagi Ayah."
Pesan terakhir itu adalah cerminan dari hati Ji Ping yang tulus, sebuah penegasan bahwa kemanusiaan lebih penting daripada kekuasaan.
Dengan tenaga yang tersisa, Kepala Klan merogoh kalungnya, mengambil sebuah liontin perak tua berbentuk awan.
"Ini peninggalan Kakekmu ... Ayah tidak punya apa-apa untuk diwariskan selain ini. Liontin ini tidak punya kekuatan khusus, tidak bisa membuatmu menjadi Raja ... tapi ... itu membawa keberuntungan dan energi positif bagi penggunanya."
Dengan susah payah, ia meletakkan liontin itu di telapak tangan Ji Ping yang gemetar.
"Hiduplah dengan baik, Nak..."
Itu adalah kata-kata terakhirnya.
Napas Kepala Klan Ji terhenti. Mata teduhnya perlahan menutup. Energi kehidupan yang tersisa di ruangan itu lenyap seketika.
"AYAH!"
Raungan Ji Ping memecah keheningan yang mencekik. Ia mencengkeram liontin itu dan memeluk tubuh ayahnya, tangisan duka yang murni dan tak tertahankan memenuhi ruangan. Ji Ping, yang selama ini terlihat kuat di balik jabatannya, kini hanyalah seorang anak yang kehilangan orang tua.
Ye Fan menyaksikan adegan itu dengan hati yang dingin. Ia tidak menangis. Kebenciannya telah membakar semua air mata duka di masa lalunya. Namun, ia merasakan gelombang simpati yang jarang ia rasakan. Kematian yang damai—meskipun tragis—adalah kemewahan yang tidak ia dapatkan.
Ye Fan tetap berdiri, menunggu Ji Ping melewati puncak kesedihannya.
Pada saat yang sama, di luar gerbang Klan Ji, dua bayangan hitam Pendekar Emas Puncak, Dua Bayangan Kematian, akhirnya menyentuh dinding kompleks. Mereka merasakan gejolak energi duka yang tiba-tiba datang dari kamar utama.
Kepala Klan sudah meninggal. Target kini rentan.
Misi mereka kini berubah dari pembunuhan terselubung menjadi pembersihan.