Tanpa perlu orang lain bicara, Aya sangat menyadari ketidaksempurnaan fisiknya.
Lima tahun lamanya, Cahaya bekerja di kota metropolitan, hari itu ia pulang karena sudah dekat dengan hari pernikahannya.
Namun, bukan kebahagiaan yang ia dapat, melainkan kesedihan kembali menghampiri hidupnya.
Ternyata, Yuda tega meninggalkan Cahaya dan menikahi gadis lain.
Seharusnya Cahaya bisa menebak hal itu jauh-jauh hari, karena orang tua Yuda sendiri kerap bersikap kejam terhadapnya, bahkan menghina ketidaksempurnaan yang ada pada dirinya.
Bagaimanakah kisah perjalanan hidup Cahaya selanjutnya?
Apakah takdir baik akhirnya menghampiri setelah begitu banyak kemalangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. Pulang kampung
.
Hari telah sore. Tuan Dirgantara, Marcel, dan Marvel yang baru saja tiba dari lapangan golf, tertegun melihat pemandangan di hadapan mereka. Ketiganya berdiri terpaku di samping mobil.
Di halaman depan, Nyonya Syifana dan Cahaya tampak akrab menyiram bunga bersama. Keduanya saling tertawa dan bercanda. Nyonya Syifana bahkan tak segan merangkul Cahaya.
Ketika pria itu pun saling bertukar pandang, tersenyum menyadari bahwa kebekuan yang sempat menyelimuti rumah mereka telah mencair.
Sejak hari itu, suasana di rumah keluarga Dirgantara kembali hangat dan penuh cinta. Cahaya tak lagi merasa canggung atau takut. Ia mulai berani berinteraksi dengan Nyonya Syifana, bahkan seringkali menghabiskan waktu bersama untuk memasak atau sekadar mengobrol di taman belakang rumah. Terkadang Nyonya Syifana mengajak Aya untuk ikut datang ke acara arisan. Pernah juga nyonya Syifana yang ikut dengan Cahaya pergi ke kantor Cahaya Harapan.
Malam hari ketika cahaya dibantu oleh Mbak Tina sedang menyiapkan makan malam di ruang makan…
"Mulai sekarang, kamu makan di sini bersama kami," kata Nyonya Syifana sebelum Cahaya meninggalkan tempat itu bersama Mbak Tina.
Cahaya terkejut dan merasa tidak enak. "Tapi, Ma..."
"Tidak ada tapi-tapian," potong Nyonya Syifana. "Kamu calon istri Marcel. Kamu bagian dari keluarga ini. Akan aneh rasanya kalau kamu masih makan di belakang."
Awalnya, Cahaya menolak. Gadis itu menatap Mbak Tina dengan perasaan tak enak. Tapi Mbak Tina tersenyum dan mengangguk.
"Sudah cepat duduk dekat Mama sini! Anggap saja ini sebagai latihan untuk menjadi seorang istri." Nyonya Syifana tak mau dibantah.
Akhirnya, Cahaya menurut. Ia merasa terharu dengan perhatian dan penerimaan dari Nyonya Syifana. Sejak saat itu, Cahaya selalu makan bersama keluarga Dirgantara di ruang makan. Ia mulai belajar etika makan yang baik dan berinteraksi dengan lebih akrab dengan anggota keluarga lainnya.
Suatu siang, saat Cahaya sedang bersama dengan Nyonya Syifana melakukan finishing pada satu tas buatannya, Marvel yang baru pulang menghampiri mereka.
"Aya, sini sebentar?" panggil Marvel.
Cahaya mengangguk lalu berdiri dan berjalan mendekat. “Ada apa, Tuan Muda?" tanyanya sopan.
Marvel menghela napas. "Aya, bisakah kamu berhenti memanggilku Tuan Muda? Aku merasa aneh," pintanya.
Cahaya mengerutkan kening. "Lalu, saya harus memanggil Tuan Muda apa?"
"Panggil saja Kakak, seperti kamu memanggil Kak Marcel," jawab Marvel sambil tersenyum. "Kita kan sudah seperti keluarga."
Cahaya tersenyum kikuk. Tapi ia mengangguk. "Baiklah, Kak Marvel."
Tak hanya Marvel, karena sebelumnya Tuan Dirgantara pun merasa risih dengan sebutan "Tuan Besar" yang selalu Cahaya gunakan.
"Cahaya, bisakah kamu berhenti memanggilku Tuan Besar? Panggil saja Papa, seperti Marcel dan Marvel," pinta Tuan Dirgantara saat itu.
Cahaya terkejut, namun juga merasa terharu. "Baik, Papa," jawabnya dengan senyum bahagia.
“Oh iya, tadi Kak Marvel memanggilku ada apa?”
“Oh iya aku sampai lupa.” Marvel menepuk keningnya, lalu mengambil sesuatu dari saku jasnya. “Ini!” Marvel mengulurkan sebuah kartu berwarna gold pada Cahaya. Papa menyuruhku memberikan ini padamu.”
“Untuk apa kak?” Cahaya merasa bingung. Ia tahu yang diberikan oleh Marvel adalah kartu tanpa batas. Gadis itu merasa ragu untuk menerimanya, lalu menoleh ke arah Nyonya Syifana yang sedang memperhatikan mereka.
Nyonya Syifana tersenyum dan mengangguk. Sebagai isyarat agar Cahaya menerima kartu itu dari Marvel.
“Mama sudah tahu perihal kartu ini. Bahkan ini juga Mama yang minta pada kami untuk membuatkannya. Ini bisa kamu berikan pada ibumu sebagai persiapan pernikahan kalian nanti.”
Cahaya benar-benar terharu akan perhatian keluarga itu pada dirinya dan ibunya.
Beberapa minggu kemudian, Marcel dan Cahaya semakin mantap untuk melanjutkan hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius. Mereka berencana untuk segera melangsungkan pernikahan.
Malam itu, keluarga Dirgantara sedang berkumpul di ruang keluarga.
"Aya, sebentar lagi kamu menikah dengan Marcel. Apa tidak sebaiknya kamu memberitahukan ibumu di kampung? Sekaligus untuk minta restu. Lagi pula sudah lama kan kamu tidak pulang? Kali ini tidak usah menunggu hari raya. Karena Papa ingin kalian segera menikah." ucap Tuan Dirgantara.
"Kenapa buru-buru, Pa?" tanya Marcel.
"Ini tidak buru-buru. Lagipula kalian sudah cukup umur. Cahaya sudah 26 dan kamu sudah 28. Kalau kalian berdua memang saling mencintai, untuk apa ditunda-tunda?"
"Memangnya kamu tidak mau?" Marvel menatap adiknya heran.
"Mau. Sekarang juga pun aku sudah siap. tapi,,," Marcel menatap ke arah Cahaya. "Kamu sudah siap, Yank?" tanyanya.
Tuan dan nyonya Dirgantara saling pandang. Marvel mencebik. sejak kapan panggilan Marcel terhadap Aya berubah. benar-benar kemajuan yang wow.
Cahaya terdiam sejenak. Yang diucapkan oleh calon ayah mertuanya benar. Terakhir kali ia pulang adalah saat ia gagal menikah dengan Yuda, pemuda desa yang dengan tega menipunya.
Cahaya pun menatap ke arah Marcel kemudian mengangguk. lalu kembali menatap ke arah Tuan Dirgantara "Iya, Papa. Terima kasih, Papa begitu mengerti saya," jawab Cahaya dengan nada haru.
Marcel menggenggam tangan Cahaya erat. “Besok biar Pak sopir yang mengantarmu. Aku tidak bisa ikut kali ini karena ada proyek yang harus ku selesaikan dengan Kak Marvel. Tapi aku akan menyusul begitu urusanku selesai.”
*
*
*
Mobil mewah milik keluarga Dirgantara melaju membelah jalanan desa yang berdebu. Cahaya menatap keluar jendela, hatinya berdebar-debar. Sudah hampir setahun ia meninggalkan kampung halamannya. Rindu pada ibunya, pada rumah sederhana tempat ia dibesarkan, menguar memenuhi dadanya.
Pak Slamet, sopir yang ditugaskan oleh Marvel untuk mengantarnya sesekali melirik nya dari kaca spion sambil tersenyum.
"Sudah dekat ya, Neng Aya," ujar Pak Slamet memecah keheningan.
Cahaya mengangguk, tak mampu berkata-kata. Air mata haru mulai menggenang di pelupuk matanya.
Tak lama kemudian, mobil itu berhenti di depan sebuah rumah dengan halaman yang dipenuhi bunga. Rumah itu tampak asri dan terawat, meski tak semewah rumah orang kota.
Begitu mobil berhenti, Cahaya segera membuka pintu dan turun perlahan.
Di teras rumah itu, beberapa orang wanita yang sedang duduk bercengkerama sambil menganyam tas serempak berdiri menatap ke arah mobil mewah yang berhenti di depan mereka.
Bu Ningsih tampak terkejut melihat kedatangan Cahaya yang tiba-tiba. Namun, keterkejutan itu segera berubah menjadi kebahagiaan yang tak terhingga.
"Cahaya, anakku!" seru Bu Ningsih dengan suara bergetar. Ia berlari menyambut Cahaya dan memeluknya erat-erat.
"Ibu!" Cahaya membalas pelukan ibunya tak kalah erat. Air mata mereka berdua tumpah ruah, membasahi pipi masing-masing. Rindu yang selama ini terpendam akhirnya bisa tercurahkan.
"Ya ampun, Nduk! Kamu kok nggak bilang-bilang mau pulang?" tanya Bu Ningsih sambil mengusap air matanya.
"Pengen ngasih kejutan, Bu," jawab Cahaya sambil tersenyum.
Bu Partini, tetangga dekat yang kebetulan sedang berada di rumah Bu Ningsih, ikut menghampiri dan memeluk Cahaya.
"Ya ampun, Aya! Sudah lama sekali kamu nggak pulang. Bulik kangen," ujarnya sambil menghapus air mata.
Setelah pelukan ketiganya terlepas, Cahaya mengedarkan pandangannya. Keningnya berkerut ketika melihat di teras rumahnya bukan hanya ada ibunya dan Bu Partini.
“Wahh, ada Ibu-ibu juga?" tanya Cahaya heran. “Wahh, ada Ibu-ibu juga?" tanya Cahaya heran. Bukankah dulu mereka selalu bersikap acuh. Jangankan datang ngobrol dengan dia dan Ibunya. Dulu, melihat pun seakan jijik.
"Iya, Aya. Mereka memang sering main ke sini sekarang," jawab Bu Ningsih sambil tersenyum.
"Wah, Cahaya sudah jadi orang terkenal ya sekarang?" celetuk salah seorang tetangga.
"Iya, Cahaya. Kami semua bangga sama kamu," timpal tetangga lainnya.
Pujian-pujian yang kemudian membuat Aya melongo dan mulai menyadari satu hal.
hei...! suka suka authornya lah.... sok tahu lo..../Curse//Curse//Curse//Hammer//Hammer/
Semoga ini langkah yang baik untuk hubungan Aya dan Marcel ....
semangat Aya dampingin Marcel hempaskan yg tidak suka SM Aya
semangat
untuk keberanian marcel...
lha...baru baca dah habis aja...😂😂😂