Bagaimana jika wanita yang kau nikahi... ternyata bukan manusia?
Arsyan Jalendra, pemuda miskin berusia 25 tahun, tidak pernah menyangka bahwa pertemuannya dengan Wulan Sari—wanita cantik misterius yang menolongnya saat nyaris tenggelam di sungai—adalah awal dari takdir yang akan mengubah dua alam.
Wulan sempurna di mata Arsyan: cantik, lembut, berbakti. Tapi ada yang aneh:
Tubuhnya dingin seperti es bahkan di siang terik
Tidak punya bayangan saat terkena matahari
Matanya berubah jadi keemasan setiap malam
Aroma kenanga selalu mengikutinya
Saat Arsyan melamar dan menikahi Wulan, ia tidak tahu bahwa Wulan adalah putri dari Kerajaan Cahaya Rembulan—seorang jin putih yang turun ke dunia manusia karena jatuh cinta pada Arsyan yang pernah menyelamatkan seekor ular putih (wujud asli Wulan) bertahun lalu.
Cinta mereka indah... hingga rahasia terbongkar.
Ratu Kirana, ibunda Wulan, murka besar dan menurunkan "Kutukan 1000 Hari"—setiap hari Arsyan bersama Wulan, nyawanya terkuras hingga mati
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 35: Bertemu Jin Baik**
# **
Hari itu—hari Jumat sore—Wulan lagi sendirian di rumah.
Arsyan tidur—capek setelah batuk darah pagi tadi—lebih banyak dari biasanya—sampe dia pingsan sebentar. Sekarang dia istirahat—napas pelan—wajah pucat banget—kayak lilin.
Wulan duduk di teras—tangan ngelus perut yang mulai bulat sedikit—mata kosong natap langit sore yang jingga.
*Gimana caranya... gimana aku bisa selamatin Mas...*
Tiba-tiba—angin bertiup keras.
Keras banget—daun-daun beterbangan—debu naik—Wulan nutup mata sebentar.
Dan pas dia buka mata—ada seseorang berdiri di depannya.
Perempuan.
Perempuan cantik—rambut hitam panjang sampai pinggang—mata coklat lembut—pake gaun putih simpel—tapi ada aura cahaya samar di sekeliling tubuhnya.
Wulan langsung berdiri—kaget—napas tertahan.
"Kamu... siapa?"
Perempuan itu tersenyum—senyum lembut yang... familiar.
"Wulan... kamu lupa aku?"
Wulan nyipitin mata—coba inget—lalu matanya melebar.
"Bulan Purnama...?"
"Iya." Perempuan itu—Bulan—senyum lebih lebar. "Akhirnya... akhirnya aku ketemu kamu."
Wulan langsung peluk dia—peluk erat—nangis.
Bulan Purnama—sahabatnya. Sahabat dari kerajaan. Dari dulu—sejak mereka kecil—mereka selalu bareng. Main bareng. Belajar bareng. Sampe... sampe Wulan kabur turun ke dunia manusia.
"Bulan... kamu... kamu kenapa di sini?" tanya Wulan di tengah tangisan.
"Aku... aku dengar kabar. Kabar tentang kamu. Tentang... tentang kutukan." Bulan lepas pelukan—pegang bahu Wulan—natap mata sahabatnya yang merah bengkak. "Aku... aku nggak bisa diem, Wulan. Aku harus dateng."
Mereka duduk di teras—Bulan di sebelah Wulan—tangan saling menggenggam.
"Gimana... gimana kabar kerajaan?" tanya Wulan pelan.
"Kacau. Semua kacau sejak kamu pergi." Bulan napas berat. "Ratu Kirana... Ibumu... dia... dia berubah. Makin dingin. Makin keras. Dia... dia nggak pernah senyum lagi."
Wulan jantungnya nyesek. "Dia... dia marah sama aku?"
"Marah? Bukan cuma marah, Wulan. Dia... dia kecewa. Sakit hati. Kamu... kamu satu-satunya yang dia punya. Dan kamu pergi... demi manusia."
"Tapi aku cinta dia, Bulan. Aku... aku cinta Arsyan. Aku nggak bisa—"
"Aku tau." Bulan ngusap air mata Wulan lembut. "Aku tau kamu cinta dia. Dan aku... aku nggak nyalahin kamu. Tapi... tapi Ibumu nggak ngerti. Dia pikir... dia pikir kamu lebih memilih manusia daripada keluarga."
Wulan nangis lebih keras. "Aku nggak milih, Bulan. Aku... aku cuma... aku cuma pengen bahagia. Apa... apa itu salah?"
"Nggak. Nggak salah." Bulan peluk Wulan—erat. "Kamu nggak salah. Kamu cuma... jatuh cinta. Itu... itu bukan dosa."
Mereka diem lama—pelukan—ditemani suara jangkrik yang mulai nyaring.
Lalu Bulan lepas pelukan—natap Wulan serius.
"Wulan... aku... aku dateng bukan cuma buat ketemu kamu. Aku... aku dateng buat ngasih tau sesuatu."
"Apa?"
"Kutukan itu... kutukan dari Ibumu... aku coba cari cara. Aku keliling ke mana-mana. Ketemu jin tua, paranormal gaib, bahkan... bahkan jin dari kerajaan lain. Tapi..." Bulan menggeleng—mata berkaca-kaca. "...semua bilang sama. Hanya Ratu Kirana yang bisa cabut. Nggak ada cara lain."
Wulan udah tau. Tapi tetep—denger langsung dari Bulan—tetep bikin dadanya remuk.
"Terus... terus Arsyan bakal... bakal mati?" suaranya putus.
"Atau... atau kamu pulang."
"Aku nggak bisa pulang, Bulan. Aku... aku hamil. Aku hamil anak Arsyan. Gimana... gimana aku bisa ninggalin dia pas dia lagi sekarat? Gimana aku bisa ninggalin anakku yang belum lahir tanpa ayah?"
Bulan diem lama—napasnya berat—tangan menggenggam tangan Wulan lebih erat.
"Wulan... dengerin aku. Aku... aku nggak mau ngomong gini. Tapi... tapi sebagai sahabatmu... aku harus jujur."
Wulan natap Bulan—mata penuh ketakutan.
"Kalau... kalau kamu tetep di sini... suamimu akan mati. Pelan-pelan. Menyakitkan. Dan kamu... kamu akan liat itu semua. Kamu akan... akan ngerasain dia mati di pelukanmu. Apa... apa kamu kuat?"
"Aku nggak tau..." bisik Wulan—air matanya ngalir deres. "Aku nggak tau..."
"Tapi kalau kamu pulang... dia akan hidup. Dia akan... akan bisa besarkan anakmu. Dia akan... akan bisa lanjutin hidup. Meskipun... meskipun tanpa kamu."
"Aku nggak bisa, Bulan. Aku nggak bisa ninggalin dia. Aku... aku terlalu cinta—"
"Justru karena cinta... kamu harus rela lepas."
Hening.
Kata-kata itu nusuk jantung Wulan—dalam—sampe ke tulang.
*Justru karena cinta... kamu harus rela lepas.*
"Tapi..." Wulan gemetar—tangannya ngelus perut. "Tapi anakku... anakku butuh aku... anakku—"
"Anakmu butuh ayah yang hidup. Bukan ayah yang mati." Bulan suaranya lembut tapi tegas. "Wulan... kamu harus pilih. Dan aku tau... pilihan ini nggak adil. Nggak adil sama sekali. Tapi... itu satu-satunya."
Wulan nangis—nangis keras—tubuh melengkung—tangan nutup muka.
"Kenapa... kenapa harus kayak gini... kenapa cinta harus sesakit ini..."
Bulan peluk Wulan lagi—nangis juga—air matanya jatuh ke rambut Wulan.
"Aku nggak tau, Wulan. Aku nggak tau kenapa takdir sejahat ini. Tapi... tapi kamu harus kuat. Demi suamimu. Demi anakmu."
Mereka berdua nangis di teras—dua jin—satu yang jatuh cinta ke manusia—satu yang cuma bisa nemenin.
Dari dalam rumah—Arsyan terbangun—denger suara tangisan.
Dia coba bangun—susah—badan berat banget—tapi dia paksain.
Jalan pelan ke teras—liat Wulan peluk seseorang—nangis keras.
"Wulan...?" panggilnya lemah.
Wulan langsung lepas pelukan—ngusap air mata cepet—berdiri.
"Mas—kenapa bangun—"
"Lo... lo nangis lagi."
Bulan berdiri juga—natap Arsyan—mata melebar sedikit.
*Ini... ini suaminya? Manusia yang... yang membuat Wulan rela korbankan semuanya?*
Dia liat Arsyan—kurus kering—pucat—lemah—mata celong—tapi... ada sesuatu di mata itu. Sesuatu yang... tulus. Hangat. Cinta.
Dan Bulan... ngerti.
Ngerti kenapa Wulan rela tinggalin kerajaan demi dia.
"Mas... ini Bulan. Bulan Purnama. Sahabatku dari... dari kerajaan." Wulan bantuin Arsyan jalan—dudukkan dia di kursi teras.
Arsyan natap Bulan—lalu senyum lemah. "Terima kasih... udah... udah jadi sahabat Wulan..."
Bulan jantungnya nyesek liat senyum itu—senyum yang tulus meskipun dia lagi sekarat.
"Sama-sama..." bisiknya pelan.
Mereka duduk bertiga—hening—diterangi cahaya bulan yang mulai muncul.
Dan Bulan—dalam hatinya—berdoa.
*Semoga... semoga kalian menemukan jalan. Karena cinta seperti ini... terlalu indah untuk berakhir tragis.*
Tapi dia tau—doa itu mungkin... sia-sia.