Ayla tumbuh sebagai gadis yang terasingkan di rumahnya sendiri. Sejak kecil, kasih sayang kedua orang tuanya lebih banyak tercurah pada sang kakak, Aluna gadis cantik yang selalu dipuja dan dimanjakan. Ayla hanya menjadi bayangan, tak pernah dianggap penting. Luka itu semakin dalam ketika ia harus merelakan cinta pertamanya, Arga, demi kebahagiaan sang kakak.
Tidak tahan dengan rasa sakit yang menjerat, Ayla memilih pergi dari rumah dan meninggalkan segalanya. Lima tahun kemudian, ia kembali ke ibu kota bukan sebagai gadis lemah yang dulu, melainkan sebagai wanita matang dan cerdas. Atas kepercayaan atasannya, Ayla dipercaya mengelola sebuah perusahaan besar.
Pertemuannya kembali dengan masa lalu keluarga yang pernah menyingkirkannya, kakak yang selalu menjadi pusat segalanya, dan lelaki yang dulu ia tinggalkan membuka kembali luka lama. Namun kali ini, Ayla datang bukan untuk menyerah. Ia datang untuk berdiri tegak, membuktikan bahwa dirinya pantas mendapatkan cinta dan kebahagiaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cumi kecil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 33 JANJI DI BAWAH CAHAYA BAR.
Lampu-lampu neon di sudut bar kecil itu berpendar samar, menyoroti wajah-wajah lelah para pengunjung yang mencari pelarian dari kenyataan. Musik jazz pelan terdengar dari pengeras suara, menambah sendu suasana malam. Aroma alkohol dan asap rokok bercampur menjadi satu seperti kabut yang menutupi kepedihan.
Alya duduk di kursi tinggi dekat meja bar, rambutnya sedikit berantakan, bibirnya berwarna merah pudar. Matanya menatap kosong ke arah gelas yang sudah setengah kosong. Cairan bening di dalamnya memantulkan cahaya merah dari lampu langit-langit.
Sore tadi ia menghadiri makan malam keluarga Darma. Momen yang ia kira akan membawa keadilan, malah menamparnya dengan kenyataan pahit. Arga duduk di sisi Aluna, dan di hadapan semua tamu, mereka diumumkan akan menikah.
Alya tersenyum getir setiap kali ingatan itu muncul.
“Lucu ya…” gumamnya pada diri sendiri. “Dulu aku bodoh… berpikir mereka masih punya hati.”
Ia meneguk lagi minumannya. Tenggorokannya terasa panas, tapi tidak seberapa dibandingkan panas yang membakar dadanya.
Semua mata-mata yang dulu memujinya kini memandangnya dengan sinis. Seolah dialah wanita hina yang berusaha menghancurkan rumah tangga orang. Padahal yang hancur sebenarnya… adalah dirinya.
...----------------...
Di sudut ruangan, suara bola biliard beradu memecah keheningan bar. Seorang pria tinggi dengan kemeja hitam bergaris sedang memegang stik biliard, langkahnya tenang dan berwibawa. Dialah Tuan Sam.
Ia datang bersama dua rekan bisnisnya malam itu, hanya untuk melepas penat setelah serangkaian pertemuan. Namun pandangannya berhenti ketika melihat sosok yang tak asing duduk sendirian di meja bar Alya.
Alisnya berkerut pelan. “Alya?” gumamnya lirih.
Tanpa pikir panjang, ia meletakkan stiknya dan melangkah menuju arah bar. Setiap langkahnya mantap, namun sorot matanya berubah lembut ketika semakin dekat.
Alya yang mulai setengah sadar menatap sekilas sosok itu. Pandangannya kabur, tapi ia masih mengenali suara berat yang khas itu.
“Tuan Sam…?” ucapnya pelan, senyum tipis muncul di bibirnya. “Heh… dunia memang kecil, ya?”
Sam duduk di kursi sebelahnya. “Atau mungkin, dunia memang sengaja mempertemukan kita di waktu yang tepat.”
Alya tertawa kecil, tapi tawanya hambar. “Waktu yang tepat? Tidak ada waktu yang tepat untuk orang seperti aku.” Ia menatap gelasnya lagi. “Aku bahkan tidak tahu untuk apa aku hidup sejauh ini.”
Sam memberi isyarat kepada bartender untuk menahan minuman Alya. Lalu dengan suara lembut, ia berkata, “Untuk membuktikan bahwa kamu tidak seburuk yang mereka katakan. Untuk menunjukkan bahwa kamu lebih kuat dari mereka yang bersembunyi di balik topeng kesempurnaan.”
Kata-kata itu membuat Alya terdiam. Ada sesuatu dalam nada suara Sam bukan sekadar simpati, tapi penghargaan. Seolah ia melihat Alya bukan sebagai korban, melainkan sebagai seseorang yang punya nyala api di dalam dirinya.
“Mereka menertawakan aku, Sam,” ucap Alya lirih.
“Semua… termasuk orang yang dulu aku percayai. Arga, keluarganya, Aluna… semua pura-pura suci, padahal mereka yang paling kotor.” Air matanya menetes tanpa ia sadari. Ia buru-buru menghapusnya, tapi Sam sudah lebih dulu menyodorkan sapu tangan.
“Tidak apa-apa menangis,” katanya lembut. “Tapi jangan biarkan air mata itu jadi tanda menyerah.”
Alya menatap Sam, matanya buram oleh air mata dan alkohol. “Kau tidak tahu rasanya, Sam… dihina, dijatuhkan, dianggap wanita murahan hanya karena aku tidak tunduk pada mereka.”
Sam tersenyum tipis, matanya hangat namun tajam. “Aku tahu. Aku pernah ada di posisi itu, Alya. Dikhianati oleh orang yang aku percayai. Dibuang dari lingkaran yang dulu kuanggap rumah.”
Ia menarik napas panjang. “Tapi aku belajar satu hal… kadang, kehancuran adalah cara semesta menyiapkanmu jadi lebih kuat.”
Kata-kata itu perlahan menyelinap ke hati Alya, menembus benteng keputusasaannya. Ia menatap wajah Sam lama-lama pria dengan tatapan teduh namun tegas itu. Ada ketenangan aneh yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Beberapa jam berlalu. Musik berganti menjadi alunan lembut. Bar mulai sepi, hanya tersisa beberapa orang yang masih tenggelam dalam dunia masing-masing.
Alya sudah mulai kehilangan kesadarannya. Kepalanya bersandar di bahu Sam, matanya setengah terpejam.
“Sam…” suaranya pelan, nyaris seperti bisikan. “Kalau saja semua orang di dunia sebaik kamu… mungkin aku tidak akan seperti ini.”
Sam menatapnya lama. Lalu dengan suara rendah, tenang namun bergetar oleh ketulusan, ia berkata,
“Menikahlah denganku, Alya.”
Alya terdiam. Ia membuka mata pelan, menatap wajah Sam yang begitu dekat. “Apa… apa yang kau bilang?”
“Menikah denganku.” Sam tersenyum lembut. “Aku janji, aku tidak akan membuatmu menangis lagi. Aku akan membuatmu bahagia. Dan… aku akan membantu kamu membalas semua rasa sakit itu. Dengan cara yang elegan, bukan dengan amarah.”
Alya menatapnya lama, seolah berusaha memahami makna di balik setiap kata. “Sam… apa kamu yakin? Aku bukan wanita yang mudah dicintai. Aku berantakan, aku penuh luka.”
Sam menggeleng perlahan. “Aku yakin. Karena justru luka itulah yang membuatmu berharga. Mereka sudah membuang berlian hanya karena tidak tahu nilainya. Sekarang… ijinkan aku yang menjaganya.”
Ada jeda panjang. Hanya suara musik dan detak jam dinding yang terdengar. Alya menunduk, menatap tangan Sam yang kini memegang jemarinya dengan hangat.
Ia tertawa kecil tawa getir bercampur lelah.
“Baiklah,” katanya pelan, hampir tak terdengar. “Baiklah, Tuan Sam…”
Sam tersenyum. Ia tahu, jawaban itu mungkin lahir dari kesadaran yang samar, tapi hatinya yakin, Alya tulus. Ia hanya butuh tempat untuk bernaung, dan ia berjanji akan menjadi tempat itu.
" Besok kita urus ke catatan sipil " Kata Tuan sam dengan penuh binar.
Beberapa menit kemudian, Sam menuntun Alya keluar dari bar. Udara malam menusuk kulit, tapi Sam melepas jasnya dan memakaikannya ke pundak Alya.
“Pelan-pelan,” katanya lembut. “Aku antar pulang.”
Alya hanya mengangguk, matanya mulai berat.
Mereka berjalan di trotoar sunyi, di bawah cahaya lampu jalan yang temaram. Dan di antara langkah-langkah pelan itu, Sam menatap langit malam dan berbisik pada dirinya sendiri,
“Aku tidak akan terburu-buru… tapi aku akan pastikan, wanita ini akan tahu arti bahagia yang sebenarnya.”