Malam itu, Gwen seorang gadis remaja tidak sengaja memergoki cowok yang dia kejar selama ini sedang melakukan pembunuhan.
Rasa takut tiba-tiba merayap dalam tubuhnya, sekaligus bimbang antara terus mengejarnya atau memilih menyerah, Karena jujur Gwen sangat takut mengetahui sosok yang dia puja selama ini ternyata seorang pria yang sangat berbahaya, yaitu Arsenio.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ladies_kocak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Keluarga Harrison berkumpul di ruang tamu melepaskan rindu satu sama lain, karena sebagian dari mereka baru pulang dari luar negeri.
Langkah cepat terdengar mendekat dari tangga, seorang gadis berlari lalu memeluk David dari belakang.
"Kakek!" seru Maudy gembira.
"Puas mainnya?" tanya David dengan nada lembut.
"Puas banget, Kakek! Tadi aku ketemu sama Kak Arsen, eh ternyata dia makin ganteng," jawab Maudy sambil tersenyum lebar.
Joanna melirik Maudy dengan senyum miring, "Kayaknya anak Mama lagi senang banget, ya?" suaranya menggoda.
David memperhatikan dengan rasa ingin tahu yang nyata, "Kamu suka dengan salah satu keturunan keluarga Ghaazy, Maudy?"
Maudy mengangguk cepat, seraya berkata, "Suka banget, Kak Arsen itu sudah lama jadi crush aku, tapi dia susah banget di deketin."
Sementara itu, Lucky, ayah Maudy dan anak pertama Tuan David, menambahkan dengan serius, "Mau banget ya sama Kak Arsen?" Maudy hanya tersenyum malu-malu.
Kisah keluarga mereka berbelit-belit. David menikahi Ciara karena perjodohan, memberi mereka anak tunggal, yaitu Darren, ayahnya Gwen. Semuanya tampak baik-baik saja sampai Binar, sekretaris David yang baru bercerai, muncul.
Kehadirannya membuat Ciara terpukul, jatuh ke dalam depresi, dan akhirnya meninggal, meninggalkan Darren merasa dikhianati oleh ayah mereka.
David kemudian menikahi Binar dan dari pernikahan mereka lahirlah Ella, yang kepribadiannya mirip dengan Binar dan semakin merenggangkan hubungan dengan Darren.
Darren enggan meninggalkan rumah besar yang menjadi saksi bisu harapan mengembalikan ayah ke pelukannya. Sayangnya, banyak "ular" yang merayap mengelilingi David, menghalangi rencananya.
"Mau, tapi sepertinya mustahil," ujar Maudy dengan nada kecewa.
"Tidak ada yang mustahil, sayang. Kamu bisa minta tolong sama Abang kamu, dia kan sahabat baik Arsenio," ucap David.
Maudy menggeleng pelan, sambil mengerucut bibirnya. "Ga ah, Abang kayak ga suka aku dekat sama kak Arsen," desahnya.
Lucky melihat kesedihan anaknya menampali, "nanti pap bicara sama abang kamu, masa dia ga mau bantu putri kesayangan papa sih?" katanya berusaha menghibur Maudy.
"jangan terlalu keras sama abang," tegur Maudy.
Gwen tiba di rumah, langkahnya sunyi namun mata tajam kakeknya membuat hatinya teriris, apalagi tadi dia tidak sengaja mendengar percakapan mereka, air matanya hampir menetes tapi dia cepat-cepat menyeka agar tidak terlihat.
Dia berusaha bersikap acuh saat melintas di hadapan mereka, pura-pura tidak melihat siapa pun. "Mana sopan santunmu, Gwen!" hardik David tajam saat Gwen hendak naik tangga.
Dengan gerakan lincah, dia membalikkan badan, tersenyum sinis. "Oh, ada orang? Aku kira ga ada, maaf deh," sahut Gwen dengan nada datar, mencoba menutupi kesedihannya dengan sikap kurang ajarnya.
"Kenapa sikapmu makin kurang ajar, hah!? Apa kamu terlalu bebas di luar sana sehingga lupa tata krama pada yang lebih tua?" David meninggikan suaranya, tampak kesal.
"Mungkin," Gwen menjawab ringan sambil mengangkat bahu, tanpa menunjukkan rasa peduli. Dengan lambaian tangan yang dramatis, dia membuat ruangan itu sepi sesaat, lalu melanjutkan langkahnya menaiki tangga.
Namun, di tengah tangga dia bertemu dengan Rafa yang turun. "Sudah pulang?" tanya Rafa dengan ramah, mencoba mencairkan suasana dengan senyuman yang dipaksakan.
Gwen hanya mengangguk singkat saat Rafa. Dia merasa Rafa terlalu berbeda dengan anggota keluarga yang lain.
"Gimana keadaan Atha?" tanya Rafa, matanya nampak lelah setelah pulang dari acara minum yang dihadiri bersama Eliano. Dia ingat betul saat itu Agatha juga minum terlalu banyak.
Gwen mengerutkan dahi, "Kak Tata demam, semuanya gara-gara Kak El yang nggak larang dia minum," ucapnya dengan nada kesal.
Rafa hanya tersenyum ringan, mengusap kepala Gwen seakan menghibur, "Besok balas aja, nggak apa-apa," katanya seraya melangkah melewati Gwen yang mulai menaiki tangga.
Interaksi mereka tidak lepas dari pandangan sinis keluarga yang duduk di sofa. Di sisi lain, Rafa bersiap untuk pergi dan dihampiri oleh Lucky yang bertanya dengan nada ketus, "Mau kemana kamu?"
Rafa menarik nafas panjang, kesabaran mulai terkikis, "Haruskah setiap jadwal saya harus melapor kepada kalian? Aku juga punya kebebasan," jawabnya tegas.
"Kenapa kamu makin kurang ajar, Rafa? Papa cuma tanya," ujar Lucky dengan nada kecewa.
Rafa mengalah, "Aku ingin keluar sama teman," sahutnya.
Pertanyaan polos muncul dari Maudy, "Ada Kak Arsen nggak?" Rafa hanya menggeleng perlahan, lelah dengan segala pertanyaan.
Rafa melotot dengan tatapan kesal ke arah Maudy yang hanya diam. "Kenapa? Mau ikut sama gue?" tanyanya dengan nada ketus.
Joanna menghampiri Rafa, suaranya lembut penuh keibuan. "Kok gitu sih bicaranya sama adik kamu, Rafa?" Ujarnya sambil memegang lengan Rafa dengan lembut. "Seharian sudah keluar, kenapa pergi lagi, hm?" tanyanya lagi, mencari alasan di mata Rafa.
Akan tetapi, Rafa hanya menghela nafas panjang, frustasi. "Aku belum puas ngumpul sama teman, semua gara-gara anak manja kalian," keluhnya dengan nada tinggi.
"Rafa!" sentak Lucky.
Rafa mendecih, wajahnya menampakkan rasa kesal yang mendalam. "Bisakah kalian gak usah nyuruh Maudy nempel aku terus? Aku punya kebebasan sebagai laki-laki," katanya, lalu berlalu meninggalkan mereka.
Joanna masih mencoba menenangkan situasi dengan suara yang tetap lembut. "Rafa, adik kamu ga tahu banyak tempat di Indonesia, kamu kan udah dari kecil tinggal di sini. Apa salahnya sih bawa adik kamu?" tanyanya lagi, penuh harap.
Rafa berbalik, matanya tajam. "Dia udah gede, bukan gadis berumur 5 tahun. Ga selalu Rafa yang jaga," katanya lalu beranjak pergi.
David, yang semula hanya mengamati, kini bangkit dan bicara dengan nada serius. "Papa harap kalian bisa mendidik Rafa dengan baik. Keturunan Harrison tak bisa cacat sedikit pun dalam tata krama," ucapnya lalu menuju ke kamarnya.
Sementara itu, Gwen memasuki kamar ayahnya, Darren, dengan hati-hati. Gagang pintu berputar pelan di tangannya. Ketika matanya menangkap sosok ayahnya yang sedang berbicara di balkon, dia memutuskan untuk duduk di pinggir ranjang, mata jernihnya tak lepas dari koper di sudut.
Ketika Darren melangkah kembali ke dalam, senyum halus menghiasi wajah Gwen. "Papi mau pergi lagi?" tanyanya dengan sedikit kekecewaan di suaranya.
"Sehari doang," jawab Darren, duduk di samping Gwen dan mengelus lembut rambutnya. "Siapa lelaki yang mengantar kamu tadi?" tanya Darren, alisnya sedikit terangkat.
"Papi melihatnya?" Gwen balas bertanya, perasaannya terombang-ambing antara kaget dan tenang saat ayahnya mengangguk. "Dia kak Nio, kakak senior aku, yang bantu aku perbaiki motor," jelasnya, suaranya teduh.
Darren hanya mengangguk, mencerna informasi. "Trus kenapa kamu pulang? Bukannya mau nginep di tempat Kak Tata?" tanyanya, rasa penasaran menggantikan kekhawatiran di wajahnya.
"Kak Tata demam, Pi," jawab Gwen, suara lembutnya mencerminkan kekhawatiran.
Darren melebarkan pupil matanya, keresahan mencuat. "Sudah dibawa ke rumah sakit?"
"Gak mau kak Tatanya, Pi. Aku sudah beli obat kok," kata Gwen, menenangkan.
Darren menghela nafas panjang, lega mendengar keponakan istrinya baik-baik saja. "Trus, Kak Tata sekarang sama siapa di sana?" tanyanya lagi, mencoba memastikan semuanya baik-baik saja.
"Aku tinggalin sebentar sama Selly," jawab Gwen, lalu dia menatap ayahnya dengan serius. "Papi, aku mau bicara sesuatu," ucapnya.
"Mau bicara apa, sih, anak kesayangan Papi?" tanya Darren dengan nada lembut.
"Ayo, Papi, kita pindah dari rumah ini," ajak Gwen.
"Kenapa tiba-tiba? Dulu waktu Papi ajak pindah kamu enggak mau, sekarang kenapa tiba-tiba pengen?" tanya Darren dengan rasa heran.
"Aku makin cemburu lihat kedekatan Kakek sama Maudy, Papi. Aku enggak tahan, aku pengen jauh dari Kakek," keluh Gwen.
"Emang kamu rela Kakek diambil orang lain?" tanya Darren.
"Enggak rela sih, Papi, tapi aku udah enggak punya harapan lagi supaya Kakek kembali seperti dulu. Kakek udah benar-benar berubah sejak Mami tiada," kata Gwen dengan sedih.
"Ya sudah, nanti kalau papi pulang dari luar kota, kita akan pindah dari sini," ucap Darren.
"Asik! Berarti Abang pasti bakal pulang lagi ke sini tinggal bersama kita, kan?" tanya Gwen dengan antusias.
"Pasti," kata Darren dengan senyum.
"Akhirnya kita bisa berkumpul lagi. Kak Tata, aku, Papi, Abang, Kakak Ipar, dan tambah satu anggota baru lagi, Baby Azka. Aku senang banget, Pi," ucap Gwen dengan penuh antusias.
Darren hanya tersenyum pahit, memahami betul perasaan anaknya yang selalu dekat dengan kakeknya sejak kecil, namun dia menyembunyikan sebaik mungkin.
"Makasih papi," seru Gwen memeluk Darren dari samping.
"kembali kasih, princess," sahut Darren, lalu menambahkan dalam hati, "semoga kamu bahagia suatu saat nanti, sayang!"