NovelToon NovelToon
Kejamnya Mertuaku

Kejamnya Mertuaku

Status: sedang berlangsung
Genre:Ibu Mertua Kejam
Popularitas:5k
Nilai: 5
Nama Author: Mira j

Anjani, gadis manis dari kampung, menikah dengan Adrian karena cinta. Mereka tampak serasi, tetapi setelah menikah, Anjani sadar bahwa cinta saja tidak cukup. Adrian terlalu penurut pada ibunya, Bu Rina, dan adiknya, Dita. Anjani diperlakukan seperti pembantu di rumah sendiri. Semua pekerjaan rumah ia kerjakan, tanpa bantuan, tanpa penghargaan.

Hari-harinya penuh tekanan. Namun Anjani bertahan karena cintanya pada Adrian—sampai sebuah kecelakaan merenggut janin yang dikandungnya. Dalam keadaan hancur, Anjani memilih pergi. Ia kabur, meninggalkan rumah yang tak lagi bisa disebut "rumah".

Di sinilah cerita sesungguhnya dimulai. Identitas asli Anjani mulai terungkap. Ternyata, ia bukan gadis kampung biasa. Ada darah bangsawan dan warisan besar yang tersembunyi di balik kesederhanaannya. Kini, Anjani kembali—bukan sebagai istri yang tertindas, tapi sebagai wanita kuat yang akan menampar balik mertua dan iparnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 19

Setelah Anjani dan Wiliam meninggalkan restoran, Anggun segera menarik lengan Adrian dengan ekspresi tegang. "Duduk, Adrian. Sekarang juga," ucapnya dengan nada dingin, mencoba mengendalikan situasi.

Dengan enggan, Adrian menurut dan duduk kembali di kursinya. Wajahnya masih dipenuhi amarah, sementara Bu Rina dan Dita ikut duduk dengan ekspresi tak kalah muram.

Bu Rina menghentakkan tasnya ke meja, matanya membara dengan rasa malu yang ditahan-tahan. "Kamu bikin malu keluarga, Adrian! Di tempat umum seperti ini, kamu tarik-tarik tangan perempuan? Apa kamu sadar semua orang tadi melihat kita seolah-olah kita ini nggak punya harga diri?"

Adrian mengatupkan rahangnya, berusaha menahan amarah yang masih membara di dadanya. "Dia yang salah, Bu. Harusnya Anjani nggak dekat-dekat sama pria lain sebelum proses perceraian selesai."

Dita, yang duduk di sebelah ibunya, menyambar dengan nada menyindir, "Iya, Kak. Lihat saja tadi, mesra banget sama laki-laki itu. Pasti udah deket dari sebelum cerai, kan? Pantas aja kamu pengen pisah, dia memang murahan."

Suasana semakin panas. Anggun menatap tajam ke arah Dita, mencoba menenangkan, tapi gagal menahan kekesalan. "Dita, jangan asal bicara. Kamu nggak tahu apa-apa tentang mereka."

Bu Rina mengacungkan telunjuknya, menunjuk wajah Adrian. "Kamu dengar, kan? Lihat apa yang sudah kamu biarkan terjadi! Harusnya kamu bisa kontrol istrimu sebelum dia mempermalukan keluarga kita!"

Adrian memijat pelipisnya, frustasi dengan situasi yang semakin kacau. "Sudahlah, Bu. Aku nggak mau ribut di tempat umum."

Anggun menghela napas panjang, mencoba mengambil alih kendali. "Kita di sini untuk makan malam, bukan membuat keributan. Masalah Anjani biar selesai di pengadilan. Sekarang fokus saja pada kita."

Namun, suasana sudah terlanjur panas. Dita yang merasa tersudut malah menambah api. "Tapi Kak Adrian harus bertindak tegas. Jangan sampai Anjani seenaknya mempermalukan nama keluarga ini."

Bu Rina mengangguk setuju, "Betul. Setelah perceraian selesai, aku nggak mau dengar nama Anjani lagi di rumah ini!"

Selera makan keluarga Adrian benar-benar hilang setelah kejadian di restoran. Suasana yang awalnya dingin berubah menjadi beku total. Tak ada lagi percakapan, bahkan sindiran tajam Bu Rina pun menguap begitu saja di antara mereka.

Akhirnya, mereka memilih untuk segera pulang. Anggun, yang selama ini dikenal sebagai sosok yang tenang, dengan sopan mengantar mereka sampai ke rumah.

"Terima kasih, Anggun. Hati-hati di jalan," ucap Adrian singkat, suaranya datar, penuh beban yang tak ia tunjukkan.

Anggun mengangguk dengan senyum tipis, menyembunyikan rasa yang berkecamuk di dalam dadanya. "Sama-sama, Adrian. Jangan lupa istirahat."

Setelah mengantar mereka, Anggun melajukan mobilnya menuju rumahnya sendiri. Tapi pikirannya dipenuhi dengan satu hal—perasaan cemburu yang selama ini ia tekan.

Kenapa kamu masih memikirkan Anjani, Adrian? Bukankah kalian sudah hampir bercerai?

Tangannya mengepal di setir, matanya menatap lurus ke jalanan. Ia tahu Adrian masih memendam perasaan untuk Anjani, meski hubungan mereka di ambang kehancuran. Itulah yang membuat dadanya sesak.

Selama ini aku di sini, selalu ada buat kamu. Tapi kenapa dia yang selalu kamu pikirkan?

Sesampainya di rumah, Anggun duduk di sofa dengan tatapan kosong. Rasa frustrasi dan cemburu semakin menguat dalam dirinya.

Ia tahu, dalam waktu dekat Adrian dan Anjani akan benar-benar berpisah. Tapi mengapa hatinya tetap terasa berat setiap kali melihat bagaimana Adrian masih memikirkan wanita yang sudah jelas-jelas ingin pergi?

Sementara itu, di rumahnya, Adrian duduk sendirian di ruang tamu, menatap gelas kopi yang sudah dingin. Pikirannya dipenuhi bayangan Anjani—wanita yang sudah lelah dengan semua perlakuannya.

Apa aku benar-benar siap kehilangan dia? pikir Adrian, matanya menerawang ke luar jendela.

Sementara itu, Anjani dan William memasuki sebuah restoran Jepang yang tenang dan elegan. Aroma harum dashi dan kecap asin memenuhi udara, menciptakan suasana yang nyaman dan profesional.

Mereka duduk di salah satu sudut ruangan yang lebih privat, memberikan ruang untuk berdiskusi tanpa gangguan. Seorang pelayan dengan cepat datang untuk mencatat pesanan mereka sebelum meninggalkan meja dengan sopan.

"Terima kasih sudah meluangkan waktu, Anjani," ucap William sambil tersenyum ramah. Ia membuka laptopnya dan menggeser beberapa dokumen ke arahnya. "Aku ingin mendiskusikan perkembangan proyek yang kita kerjakan."

Anjani mengangguk, menyesap teh hijaunya dengan tenang. "Tentu, pak”.

“ Anjani, bisakah kalau diluar kantor tidak usah memgagil saya bapak? Cukup panggil nama saja “.

“ Tapi pak,...saya belum terbisa.” Ajani menatap Wiliam dengan bingung .

“ Harus di biasakan mulai sekarang ..Hem.. tidak ada penolakan !” Wiliam memdang lembut mata Anjani.

“ Baiklah ,pak..eh….Wiliam. bagaimana keadaan proyek yang kita tangani? suara gagap Anjani.

William menghela napas pelan. "Cukup baik, tapi ada beberapa kendala yang lebih mudah diselesaikan jika kita langsung ke lapangan. Aku berencana mengajakmu meninjau lokasi proyek secara langsung."

Anjani sedikit terkejut. "Ke lokasi proyek? Di mana tepatnya?"

"Di sebuah kota kecil, sekitar tiga jam perjalanan dari sini. Proyek ini cukup besar, dan aku rasa kehadiranmu akan sangat membantu dalam mengatasi masalah teknis yang mulai muncul," jelas William sambil menunjukkan beberapa foto lokasi di laptopnya.

Anjani memperhatikan dengan seksama, mencoba memahami situasinya. "Baik, aku akan pertimbangkan. Kapan kamu berencana berangkat?"

"Minggu depan, kalau kamu punya waktu. Aku sudah siapkan semua kebutuhan perjalanan," jawab William dengan nada profesional, meskipun tatapannya mengandung perhatian lebih dari sekadar urusan pekerjaan.

Anjani mengangguk, menandai tanggalnya di pikiran. "Baik, aku akan atur jadwalku. Sepertinya ini memang harus segera ditangani sebelum semuanya semakin rumit."

Mereka melanjutkan diskusi sambil menikmati hidangan yang disajikan. Di balik percakapan profesional mereka, William tak bisa menutupi kekaguman yang mulai tumbuh pada Anjani.

Sementara itu, Anjani hanya fokus pada pekerjaannya, berusaha mengalihkan pikirannya dari masalah rumah tangganya dengan Adrian yang semakin tak jelas arahnya.

Hari-hari berlalu dengan cepat, hingga akhirnya tiba saatnya Anjani dan William berangkat menuju lokasi proyek yang terletak jauh dari ibu kota. Pagi itu, William tiba di depan kontrakan Anjani tepat waktu. Ia mengetuk pintu dengan pelan, dan tak lama kemudian Anjani muncul, sudah siap dengan koper kecil di tangannya.

"Sudah siap?" tanya William dengan senyum ramah.

"Sudah. Aku cuma bawa barang yang penting saja," jawab Anjani, menarik koper kecilnya ke luar pintu.

"Bagus. Perjalanannya cukup jauh, jadi lebih baik kita berangkat sekarang sebelum macet," kata William sambil membantu memasukkan koper Anjani ke bagasi mobil.

Mereka segera melaju meninggalkan hiruk-pikuk ibu kota. Sepanjang perjalanan, suasana di dalam mobil terasa nyaman. Musik lembut mengalun di latar belakang, mencairkan kecanggungan awal di antara mereka.

Beberapa saat kemudian, William melirik Anjani sekilas. "Kalau capek, kamu bisa tidur, Anjani. Perjalanan masih lama."

Anjani tersenyum tipis. "Terima kasih, tapi aku belum mengantuk. Lagipula, pemandangan di luar cukup menyenangkan."

Mereka terdiam sejenak, hingga akhirnya William kembali membuka obrolan, kali ini dengan suara yang lebih pelan dan hati-hati. "Aku dengar… proses perceraianmu dengan Adrian sudah hampir selesai, ya?"

Anjani menghela napas panjang, menatap keluar jendela. "Iya, sepertinya tinggal menunggu waktu saja. Semua dokumen sudah diproses, tinggal sidang terakhir."

"Apa... berat buat kamu?" tanya William dengan hati-hati, seakan tak ingin menyentuh luka yang terlalu dalam.

Anjani terdiam sejenak sebelum menjawab, suaranya pelan. "Awalnya, iya. Tapi sekarang… aku hanya ingin semuanya cepat selesai. Rasa capek itu akhirnya mengalahkan rasa sakit."

William mengangguk pelan. "Aku mengerti. Kadang yang paling sulit bukan melupakan, tapi menerima kenyataan kalau semua yang kita perjuangkan nggak selalu berakhir bahagia."

Anjani menoleh padanya, sedikit terkejut dengan pemilihan kata-katanya. "Kamu bicara seolah-olah pernah mengalami hal yang sama."

William tersenyum pahit, matanya tetap fokus pada jalan. "Mungkin. Tapi ini tentang kamu, bukan aku. Kamu berhak dapat kebahagiaan yang lebih baik."

Ucapan William membuat suasana mobil menjadi lebih hangat. Ada perhatian tulus di sana, bukan sekadar rasa ingin tahu.

"Terima kasih, William. Aku… aku belum siap memikirkan kebahagiaan baru sekarang. Yang penting, aku ingin berdiri di atas kaki sendiri dulu," kata Anjani, suaranya mantap tapi tetap terasa lelah.

"Dan aku akan mendukung kamu, dalam hal apa pun. Bahkan kalau cuma jadi teman perjalanan di proyek ini," ujar William sambil tersenyum ringan.

Anjani membalas senyum itu,

Perjalanan panjang yang melelahkan akhirnya membawa Anjani tertidur di kursi penumpang. Wajahnya tampak begitu damai, tertidur dengan napas teratur, seolah semua beban yang dipikulnya menghilang sejenak dalam mimpi. William beberapa kali melirik ke arahnya, merasakan kehangatan aneh yang merayap perlahan di dadanya.

Dia terlihat sangat lelah… pikir William, fokus kembali ke jalan.

Saat mereka tiba di hotel tujuan, William memarkirkan mobil dengan hati-hati. Ia menatap Anjani yang masih terlelap, ragu-ragu sejenak, tidak ingin mengganggu tidurnya.

Namun, membangunkannya di tengah lelah seperti ini juga terasa kejam. Akhirnya, dengan lembut, ia membuka sabuk pengaman Anjani dan mengangkat tubuh mungil itu dalam pelukannya.

"Aku nggak mau ganggu tidurmu, Jani..." bisiknya pelan.

Setelah memesan kamar, William membawa Anjani masuk ke dalam kamar hotel. Suasana ruangan tenang, dengan cahaya remang yang memberikan rasa nyaman. Ia membaringkan tubuh Anjani di atas ranjang dengan hati-hati, memastikan wanita itu tetap nyaman.

Namun, saat hendak melepas pelukan dari tubuhnya, William merasakan sebuah tarikan yang aneh. Matanya tertuju pada wajah Anjani yang begitu dekat. Wajah yang biasanya kuat kini terlihat rapuh dan tenang dalam tidur. Bibirnya—merah muda alami, tanpa sentuhan lipstik—terlihat begitu menggoda di matanya.

Gila... Kenapa aku sampai begini? pikir William, merasa terjebak di antara logika dan perasaan yang mulai menguasainya.

Jari-jarinya, tanpa sadar, terulur dan mengusap pelan bibir Anjani. Sentuhan itu begitu lembut, hampir seperti ia ingin memastikan bibir itu nyata. Jantungnya berdegup lebih cepat, desiran perasaan yang selama ini coba ia tahan mulai mengambil alih.

Hanya sekali… pikirnya, mencoba membenarkan tindakannya.

Dengan cepat, William menundukkan kepalanya dan mengecup singkat bibir Anjani—ringan, nyaris seperti hembusan angin. Namun, sentuhan itu meninggalkan jejak yang dalam di hatinya.

Begitu menyadari apa yang baru saja dilakukannya, William segera mundur, menatap Anjani dengan campuran rasa bersalah dan keinginan yang tak bisa ia jelaskan.

Apa yang sudah aku lakukan? pikirnya, meremas rambutnya frustasi.

Ia berbalik, meninggalkan kamar dengan cepat, berharap semua itu  hanya mimpi. Yang tak ia sadari, di balik mata terpejam Anjani, kelopak matanya sempat berkedut, seolah ia merasakan sesuatu dalam tidurnya…

1
Anto D Cotto
menarik
Anto D Cotto
lanjut crazy up Thor
Arsyi Aisyah
Ya Silahkan ambillah semua Krn masa lalu Anjani tdk ada hal yang membahagiakan kecuali penderitaan jdi ambil semua'x
Arsyi Aisyah
katanya akan pergi klu udh keguguran ini mlh apa BKIN jengkel tdk ada berubahnya
Linda Semisemi
greget ihhh.... kok diem aja ya diremehkan oleh suami dan keluarganya....
hrs berani lawan lahhh
Heni Setianingsih
Luar biasa
Petir Luhur
seru banget
Petir Luhur
lanjut.. seru
Petir Luhur
lanjut kan
Petir Luhur
lanjut thor
Petir Luhur
bagus bikin geregetan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!