Almira Balqis Khumaira, 29 tahun, menikah dengan Iqbal Ardiansyah, 31 tahun. Dalam pernikahan tersebut mereka baru di karuniai seorang anak di usia pernikahan ke tujuh tahun. Sesuatu yang seharusnya membahagiakan semua pihak.
Namun kebahagiaan itu harus rusak sebab beberapa jam setelah operasi caesar, Almira mendapatkan kiriman foto dan video perselingkuhan suaminya bersama seorang wanita cantik bernama Sinta, 28 tahun, sekretaris dari Iqbal sendiri.
Dunia Almira seakan runtuh seketika. Hatinya patah sepatah-patahnya. Tak ada satupun alasan Almira tetap bertahan hidup selain putranya yang lebar beberapa jam saja.
Di tengah keterpurukannya, Almira justru meminta Iqbal untuk menyatukan dirinya dan Sinta dalam satu atap. Entah apa maksudnya.
Belum genap dua bulan Almira menjalani hidup seatap dengan madunya, datanglah seorang gadis siswi sebuah SMA swasta yang mengaku telah di nodai Iqbal. Apakah Almira masih kuat bertahan hidup?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raynor Mumtaz29, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Satu Atap, Dua Madu 10
"Ini dia Pak orangnya tolong usir dari ruangan ini saja. Lain kali jangan ijinkan dia masuk karena hanya akan menimbulkan kekacauan saja." seru Fahmi di tengah perbincangan Almira dan Sinta yang mulai memanas.
"Nggak. Aku nggak mau di usir dengan cara begini. Aku bisa keluar sendiri nanti kalau urusan saya sudah selesai dengan dia." sahut Sinta dengan ujung jari yang mengarah pada Almira.
"Cepat Pak. Jangan di gubris ocehannya!" teriak Fahmi agar kedua satpam itu segera mengerjakan perintahnya.
Almira bimbang apa yang harus dia perbuat sementara dia merasa belum selesai bicara dengan madunya tersebut. Namun, kalau dia melanjutkan obrolannya tentu Papa mertuanya tersebut tidak akan mengijinkan. Akhirnya istri pertama Iqbal trsebut tersebut hanya bisa memandangi Sinta pergi dengan di seret oleh kedua satpam rumah sakit.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Fahmi lembut dengan raut wajahnya yang terlihat sangat khawatir.
"Nggak apa-apa Pa. Al bisa jaga diri kok."
Siska hanya terdiam dengan muka sendu. Tak pernah dia bayangkan sebelumnya jika kebahagiaan yang baru dia rasakan akan berubah seperti ini. Wanita itu sebenarnya ingin sekali bertukar pikiran dengan sang suami. Tapi sayangnya ada Almira di sana, dan dia lebih memilih diam.
"Papa dan Mama belum makan siang 'kan. Ini sudah hampir sore loh. Sebaiknya Papa dan Mama makan dulu biar kuat gendong cucunya." ujar Almira dengan nada sedikit bercanda.
Almira sama sekali tidak ingin kesedihan yang dia rasakan ikut di rasakan pula oleh kedua mertuanya. Almira hanya ingin menikmati suasana membahagiakan ini sedikit lebih lama. Sikap mertuanya yang hangat sejak dia melahirkan, ternyata mampu merubah moodnya menjadi jauh lebih baik di tengah badai yang mulai menerpa rumah tangganya. Allah seakan sengaja membalik hati mertuanya untuk menjadi sumber kekuatan satu-satunya yang dia miliki atas musibah ini.
"Iya Al. Tapi Papa dan Mama belum lapar. Toh banyak cemilan yang bisa di makan."
"Iya. Jangan pikirkan kami. Yang paling utama luka kamu cepat kering, kami akan sangat senang. Juga ASI kamu. Sudah berhasil keluar tadi?" imbuh Fahmi sembari duduk di samping istrinya.
"Belum Pa. Tapi Al akan usaha terus. Berdasarkan pesan dokter Rina tadi, kita harus sering-sering memberikannya meskipun belum keluar. Semakin sering kita memberikannya semakin cepat pula ASI akan keluar. Tapi nggak boleh stress juga. Itulah sebabnya Almira bisa jauh lebih kuat sekarang karena ada si kecil yang hidupnya tergantung sama Al. Papa dan Mama seharusnya tidak lagi punya alsan untuk mengkhawatirkan kami. Al bangga dan bahagia memiliki mertua seperti kalian."
"Syukurlah kalau begitu. Harapan kami mungkin terlalu tinggi untuk orang yang tidak tahu apa-apa tentang kita. Tapi percayalah, dalam benak Mama tak akan ada perceraian diantara kamu dan Iqbal. Benar bukan?" kali ini Siska yang butuh ketenangan lewat jawaban Al yang hingga detik ini dia tunggu.
Al mendesah kasar sebelum akhirnya memutuskan."Al akan memepertahankan rumah tangga ini semampunya. Namun, Allah yang maha menentukan. Lebih baik kita berkomitmen untuk tetap menjadi keluarga apapun badai yang akan kita hadapi ke depannya terutama menyangkut rumah tangga Al dan Mas Iqbal. Maaf, Al tidak bisa menjanjikan sesuatu yang itu adalah hak prerogatif Allah. Keputusan, tetap ada di tangan-Nya Ma."
Siska terdiam dan terpaku sejenak. Harapannya sebenarnya tidak terlalu mengada-ada. Harapan yang pasti di miliki oleh setiap orang tua yang mengetahui rumah tangga anaknya sedang tidak baik-baik saja. Namun, karena kelebatan masa lalu beberapa kali melintas di otaknya, tak urung membuat Siska sempat merasa tidak berhak berharap demikian. Kalau di pikir kembali, dia juga tak kalah jahatnya dengan Iqbal, putranya.
"Orang tua kamu pasti bangga banget punya anak seperti kamu. Baik hati dan berhati lapang. Berpikir cerdas dan bertindak bijaksana. Bahagialah dengan caramu jika kami tidak lagi bisa menjadi bagian dari kebahagiaan itu. Bisa Al?" tanya Siska dengan menatap manik Maya menantunya tajam. Al mengangguk mantap dan tersenyum untuk menenangkan gundah yang pastinya mendera benak mertuanya.
"Assalamu'alaikum." suara lembut dan berat yang dulu selalu Al rindukan tiba-tiba menyela diantara hening yang baru saja tercipta di ruangan VIP itu.
"Wa'alaikum salam." sahut Almira berusaha tenang, sementara mertuanya terlihat enggan menjawab salam yang seharusnya wajib di jawab tersebut.
Iqbal berdiri canggung di antara pintu dan tempat tidur Almira. Matanya sekilas melirik ke arah baby yang masih setia menutup matanya.
Sementara dari ekor matanya, Almira menangkap tatapan tajam mata mertuanya yang tertuju untuk suaminya. Namun dari semua kecanggungan antara mertuanya dan Iqbal, suaminya, sesungguhnya ada rasa yang jauh lebih meresahkan Almira saat ini.
Rasa sakit yang semula Almira kira sudah enyah seiring dengan hati dan otak nya yang legowo menerima kenyataan pahit itu, nyatanya masih terasa begitu menusuk di jantungnya. Sakit yang amat sangat dan entah bagaimana menggambarkannya.
Beberapa saat tangan Almira masih meremas sprei dengan kuat. Dadanya berdebar hebat dan sesak yang amat sangat tengah menyerangnya. Namun, seperti tekadnya semula, dia tidak akan memperlihatkannya pada siapapun.
Diam-diam Almira mengambil nafas dari hidungnya dan melepaskan lewat mulutnya untuk sekedar mengurangi rasa sakit yang bertubi-tubi menyerang organ dalam dan mengacaukan otaknya.
"Mas, sudah pulang kantor atau ijin tadi?" tanya Almira lembut di tengah suasana canggung tersebut.
"Ee... sudah pulang Sayang. Ini sudah hampir sore bukan?" jawab Iqbal kikuk sembari mendekat ke arah ranjang dan meletakkan parcel buah yang sejak tadi dia pegang erat.
"Tumben pulang cepet."
"Iya, Mas ingin cepat-cepat lihat keadaan kalian. Oh ya, maaf ya atas insiden tadi pagi. Mas bisa jelaskan yang sebenarnya kalau.... "
"Nggak usah di bahas. Mood ku sedang bagus. Bisa?" sahut Almira cepat bahkan saat Iqbal belum menyelesaikan kalimatnya.
"Ba-baiklah. Kamu sudah makan?" tanya Iqbal dengan senyum lembut di antara wajah lelahnya.
"Sudah. Mas belikan makan Papa dan Mana saja kalau tidak keberatan. Mas sendiri juga butuh makan juga 'kan? Maaf karena harus absen melayani Mas makan." ucap Almira serius.
"Kamu ngomong apa sih Sayang? Kamu sedang dalam kondisi sakit begini masih sempat-sempatnya bilang begitu. Mas bisa urus diri sendiri. Yang paling penting itu kamu. Bagaimana? Masih terasa sakit banget pasti perutnya. ASI nya langsung keluar nggak?"
"ASI nya belum keluar Mas. Sepertinya Mas sudah banyak belajar ya sampai tahu kondisi Ibu menyusui itu seperti apa. Beruntung sekali Al punya suami seperti Mas. Terima kasih ya Mas."
Iqbal sontak berwajah pucat di tengah rasa takut yang teramat sangat melihat raut wajah super dingin kedua orang tuanya. Kata-kata Almira yang sebenarnya sangat wajar, terdengar seperti sindiran keras untuk Iqbal mengingat laki-laki itu baru saja menorehkan luka yang teramat dalam di hati istrinya tersebut.
Sejak awal ngobrol dengan Almira pun, rasanya Iqbal sedang berdiri di ujung jarum yang bisa saja menusuknya sewaktu-waktu jika dia salah gerak sedikit saja. Dalam obrolan tersebut Iqbal sama sekali tidak melibatkan kedua orang tuanya. Bukan bermaksud mengabaikan tapi Iqbal takut di pukul dengan tangan ataupun dengan kata-kata, sebab Iqbal telah melakukan kesalahan yang sangat besar dan fatal.
Bayangan Iqbal sebelum menjenguk istrinya di rumah sakit, Almira berada dalam kondisi kritis karena ulah istri keduanya. Namun, kenyataannya jauh dari bayangan. Almira tampak tegar dan bugar, bahkan seperti tidak terjadi apapun.
Bukannya tenang melihat istringa terlihat sehat, bugar dan ceria. Akan tetapi Iqbal justru merasakan sebaliknya.
Apakah istrinya seketika kehilangan cinta terhadapnya sehingga peristiwa luar biasa besar tadi pagi seakan tidak berpengaruh dalam hidupnya? Apakah Almira benar-benar tidak khawatir kehilangan dia? Apakah sebegitu tidak berarti nya dirinya sehingga Almira merasa ringan melepaskan dirinya untuk wanita lain?