Zevanya memiliki paras yang cantik turunan dari ibunya. Namun, hal tersebut membuat sang kekasih begitu terobsesi padanya hingga ingin memilikinya seutuhnya tanpa ikatan sakral. Terlebih status ibunya yang seorang kupu-kupu malam, membuat pria itu tanpa sungkan pada Zevanya. Tidak ingin mengikuti jejak ibunya, Zevanya melarikan diri dari sang kekasih. Namun, naasnya malah membawa gadis itu ke dalam pernikahan kilat bersama pria yang tidak dikenalnya.
Bagaimana kisah pernikahan Zevanya? Lalu, bagaimana dengan mantan kekasih yang masih terobsesi padanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naaila Qaireen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
SELAMAT MEMBACA
Hari begitu cerah, secerah hati Wira yang penuh warnah. Pria itu tersenyum sepanjang menuju tempat kerja, padahal awal Minggu hari Senin moodnya akan selalu anjlok karena harus kembali masuk kerja.
Senyumannya merekah, para karyawan yang menyapa mulai dari pintu lobi hingga memasuki lift juga balas disapanya. Biasanya hanya membalas dengan anggukkan biasa, tetapi kali ini selain dengan anggukan dan senyumannya, pengganti CEO sementara itu memberikan kata motivasi singkat. Para karyawan terheran, tetapi mendapatkan kata motivasi membuat mereka semangat untuk memulai kerja.
Lift berhenti di lantai tempat ruangan Wira, pria itu keluar dan langsung bisa melihat sekretaris kakaknya yang sudah berada di balik meja.
"Pagi Steven, hari ini begitu cerah kan—kenapa dengan wajahmu?" Wira terfokus pada pipi Steven yang memerah lembam.
"Pagi juga, Pak. Sepertinya hanya Anda yang bisa melihat hari ini cerah." Steven melihat diluar sana mendung. Wira ikut melihat keluar jendela, ia pun terkekeh. Memang tidak ada sinar matahari di sana.
"Lalu itu?" Wira mengulangi pertanyaannya seraya menunjuk pipinya sendiri.
"Ouh, ini." Steven memegang pipinya dan meringis ketika di sentuh. "Bisa dibilang, Bapak ikut andil membuat pipi saya seperti ini." Wira mengernyit. "Ini karena usulan Bapak yang meminta saya mencari pasangan, ssttt...!" Kata Steven menggebu, lalu meringis kemudian.
"Lah, kok karena usulanku?"
"Saya kemarin melakukan kencan buta bersama beberapa wanita. Semuanya tidak ada yang cocok, dan wanita yang terakhir menampar saya." Steven kembali meringis tak kala mengingat kembali kejadian itu, telinganya bahkan sampai berdenging.
Bukannya simpati, Wira malah tertawa bahkan sampai memegangi perutnya. Steven mencibir dengan bibir komat-kamit, entah perkataan baik atau buruk, yang jelas ditunjukkan untuk atasan yang tengah menertawakan penderitaannya ini.
"Sebenarnya apa yang kamu katakan sampai wanita itu menamparmu?" Wira berusaha menghentikan tawanya dan kini memasang wajah simpati.
Steven mengingat kembali kejadian kencang buta itu. Steven menolak semua wanita tanpa membiarkan mereka minum terlebih dahulu, lalu tiba wanita terakhir yang datang-datang langsung menandaskan air minumnya. Tanpa dipersilahkan juga langsung mencomot makanannya begitu saja. Ia sudah mau menegur tetapi sedikit segan melihat tubuhnya yang gempal. Dan yang membuatnya berani untuk menegur tak kala wanita itu tersendat dan makanan yang ada di mulutnya berhamburan mengenai wajahnya. Steven tidak bisa menahan lagi, tangannya mengusap wajahnya yang penuh dengan puing-puing makanan. Dan wanita itu sibuk meminta maaf. Steven mengangkat tangan.
"Anda kalau makan sopan sedikit, mana ada perempuan makan seperti ini!" Awalnya tidak terjadi apa-apa, wanita itu juga menunduk menerima omelan karena kesalahannya. "Tubuh sudah melar begitu masih tidak sadar diri dan mengatur pola maka—"
Plak!
Suara tamparan menggema di udara meninggal bekas merah.
"Shittt!" Steven meringis memegang pipinya kembali. Tawa Wira kembali pecah bahkan sampai memukul meja kerja Steven membuat si empunya kaget.
Steven menyesal telah menceritakan penderitaannya, adik atasannya ini malah menjadikan bahan lelucon, alih-alih bersimpati.
"Di sini sih kamu yang salah. Biarpun kenyataannya seperti itu, tapi jangan sekali-kali menyinggung bentuk tubuh. Para perempuan sangat sensitif, jadi wajarlah dia tampar kamu." Wira melambaikan tangan, masuk ke ruangannya. Pergi dengan kekehan yang menjengkelkan bagi Steven.
Wira membuka jasnya dan melampirkan ke sandaran kursi, merogoh ponsel melihat apakah ada pesan dari sang istri dan ternyata tidak ada. Pria itu menghembuskan napas.
"Jadi rindu, pengen telpon." Gumamnya, tetapi urung tak kala melihat dokumen di atas meja yang belum sempat ia periksa, pria itu pun melemparkan dirinya ke sandaran kursi.
"Hais, ini kertas-kertas kapan menyingkirnya dari pandangan. Perasaan menggunung mulu!" Wira mengambil salah satu, mulai memeriksanya. Bertepatan dengan Steven yang masuk, memberitahukan agendanya hari ini.
***
Zevanya berdiri di depan gedung pencakar langit dengan tulisan Sanjaya Group yang terpampang megah di bagian depan. Gedung itu menjulang tinggi, desainnya modern dengan kaca-kaca besar yang memantulkan sinar matahari. Setiap orang yang keluar-masuk tampak rapi, mengenakan pakaian formal dengan ID card tergantung di dada mereka.
Ia menarik napas dalam, sedikit canggung. Ini pertama kalinya ia datang ke kantor suaminya. Dilihatnya Tote bag berisi makan siang, dan pakaian yang ia kenakan berupa atasan peplum berwarna pastel dan celana jeans dark wash.
"Sopan nggak, yah?" Zevanya kembali menghembuskan napas. Suaminya itu memintanya membawakan makan siang, pekerjaannya sedang banyak tidak memiliki waktu untuk mencari makan.
Zevanya melangkahkan kaki memasuki pintu lobi, berjalan menuju meja resepsionis. Baru saja ia ingin menyapa mbak resepsionis di balik meja, seseorang terlebih dahulu memanggilnya.
"Dengan Ibu Zevanya?" tanya orang itu, Zevanya menoleh.
"Ya, saya." Jawabnya.
Pria yang mengenakan masker menutup pipinya yang lembam menyapa sopan Zevanya, ia diperintahkan atasan untuk menjemput istrinya. Karena beliau masih memiliki urusan dengan klien di ruang rapat.
"Perkenalkan, saya Steven sekretaris Pak Wira. Mari Bu, saya antar." Steven menunjukkan arah, Zevanya mengikutinya. Keduanya menaiki lift menuju lantai atas tempat ruangan atasan berada.
"Silahkan masuk, Pak Wira sebentar lagi akan datang." Steven mempersilahkan.
"Terima kasih." Zevanya masuk ke dalam ruang kerja suaminya, pandangan mengedar melihat seisi ruangan. Meja kerja yang sedikit berantakan oleh dokumen, laptop yang tidak di tutup, dan cangkir yang berisi ampas kopi.
Gadis itu menggeleng, lalu matanya tertuju pada foto dalam bingkai yang terpajang. Matanya terbelalak melihat fotonya sendiri yang mengenakan celemek sedang menyusun makanan di atas meja dengan rambut di sanggul asal. Zevanya menutup wajah. Malu, tentu saja! Lagi pula kapan suaminya itu mengambil fotonya. Dan bisanya memajang foto seperti ini.
"Dek Aya," datang-datang Wira memeluknya dari belakang. Membenamkan kepalanya ke leher jenjang itu.
"Mas," Zevanya sedikit tersentak, sampai tubuhnya maju beberapa senti, untuk dirinya sudah menyimpan tote bag di atas meja. Kalau tidak, mungkin akan jatuh berhamburan. Wira tidak mendengarkan, malah bibir dan hidungnya asik menjelajahi leher jenjang itu.
"Shiih, Mas... kok digigit." Zevanya mendesis, mungkin sudah tercetak tanda keunguan di sana.
Wira terkekeh seraya melepaskan istrinya setelah mendaratkan satu kecupan lagi di sana. "Habisnya gemas, Sayang."
Zevanya mendengus, reaksi tubuhnya tidak lagi menunjukkan keanehan dan rasa tidak suka ketika mendengar panggilan itu. Mungkin karena sudah terbiasa dengan panggilan sayang dari suaminya. Entahlah... ia seolah selalu mendengarnya, bahkan sampai terbawa mimpi, tetapi rasanya sangat nyata. Entahlah... Zevanya tidak ingin memikirkan.
"Jangan cemberut gitu dong, nanti aku cium." Wira mengikis jarak.
Zevanya menutup bibirnya seraya menggeleng. "Jangan dulu, masih bengkak gara-gara digigit nyamuk." Ujar Zevanya sedikit tidak jelas karena mulutnya yang ditutup.
Tawa Wira lepas, andai saja istrinya tahu kalau itu adalah nyamuk besar. Bahkan pagi tadi ia masih mengokopnya yang membuat moodnya hari ini sangat baik. Mendung bahkan dilihatnya cerah.
"Ishhh, Mas nyebelin!" Zevanya memukul suaminya yang ia kira menertawakan bibirnya.
"Maaf Sayang, sekarang kita makan, yuk. Mas lapar," Wira meraih tas makanan dan membawanya menuju meja sofa.