Tidak ada yang bisa memilih untuk dilahirkan dari rahim yang bagaimana.
Tugas utama seorang anak adalah berbakti pada orang tuanya.
Sekalipun orang tua itu seakan tak pernah mau menerima kita sebagai anaknya.
Dan itulah yang Aruna alami.
Karena seingatnya, ibunya tak pernah memanjakannya. Melihatnya seperti seorang musuh bahkan sejak kecil.
Hidup lelah karena selalu pindah kontrakan dan berakhir di satu keadaan yang membuatnya semakin merasa bahwa memang tak seharusnya dia dilahirkan.
Tapi semesta selalu punya cara untuk mempertemukan keluarga meski sudah lama terpisah.
Haruskah Aruna selalu mengalah dan mengorbankan perasaannya?
Atau satu kali ini saja dalam hidupnya dia akan berjuang demi rasa cintanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bund FF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
insiden kecil
Minggu pagi.
Aruna sudah siap dengan tas ransel yang diisi air yang cukup. Belum ada Snack karena rencananya akan dibeli di swalayan nanti di perjalanan.
"Kusut banget muka Lo, bang" kata Aruna yang sudah berada di balik kemudi. Bahkan sudah berhasil keluar dari halaman luas toko bangunan Acing dan kini berjalan sedikit pelan menyusuri jalanan kota yang masih sepi karena weekend.
"Semalam bini gue masih minta jalan-jalan, Run. Pulangnya masih bertempur gue sampek tidurnya kemaleman gara-gara anak gue nggak tidur-tidur juga" keluh Rizal yang masih mengantuk, sementara Wanto meminta naik di bak truk saja, rupanya diapun memilih tidur sepanjang perjalanan pagi ini.
"Kalau gitu sekarang tidur saja, bang" kata Aruna.
"Terimakasih rekan kerjaku yang baik" kata Rizal sembari mencari posisi nyaman untuk memejamkan mata.
"Nanti kalau ada polisi di jalan tinggal bangunin Lo doang kan ya" tanya Aruna dengan mata awas ke arah jalan raya yang masih lengang.
"Kalau gue nggak bangun juga, Lo langsung telpon ko Acing deh. Pak pol urusan jalan raya pasti kenal sama Koko" jawab Rizal yang sudah mendapatkan posisi nyamannya.
Bersender di kursi dan menaikkan kaki ke dashboard, menutupi wajahnya dengan topi dan sudah mendengkur.
"Gila sih. Baru merem sudah ngorok" gumam Aruna dengan senyum mengejek.
Tak ada yang special di perjalanan mereka. Arah tujuannya masih lama, butuh sekitar lima jam perjalanan dengan kecepatan sedang jika tidak macet.
Biasanya perjalanan akan ramai saat weekend karena kota tujuan Aruna kali ini memang kota wisata.
Berhenti di perempatan, lampu merah sedang menyala. Truk yang Aruna bawa berhenti di barisan terdepan.
Sebuah city car berhenti bersisian dengan truk Aruna. Di dalam truknya, Aruna sibuk memilih lagu saat lampu merah dirasa masih lama.
"Kok gue lapar ya, Run" tiba-tiba Rizal bergumam.
"Makan bang. Lo nggak sarapan?" tanya Aruna.
"Nggak sempat. Nanti mampir ke Indoapril bentar ya, beli roti kek apa kek, Tekek kek" kata Rizal berusaha melucu, Aruna hanya menanggapi dengan senyum terpaksa. Garing!
"Iya" jawab Aruna singkat.
Dan melajukan kembali truknya saat lampu sudah kembali hijau. Jangan lupakan pengamen yang akan menghadang perjalanan tiap pengendara saat di lampu merah. Beruntung Acing sudah melengkapi perjalanan mereka dengan cukup banyak koin.
"Kalau nggak salah di depan sana Run, ada Indoapril nya. Berhenti bentar ya. Jajan dulu" kata Rizal.
"Gue kira masih tidur Lo bang" ujar Aruna.
"Laper banget gue" keluh Rizal.
Tak jauh dari swalayan itu, ada bahu jalan yang lumayan luas untuk memarkirkan mobil raksasa yang Aruna kendarai.
Mengancang-ancang untuk mengerem sejak beberapa meter, setelah mengurangi laju kendaraannya. Kini mobil raksasa itu sudah terhenti di tempat yang aman.
Aruna turun setelah meyakini jika aman untuk membuka pintu, karena mereka berhenti di tepi jalan raya.
Dung... Dung... Dung...
Ketukan terdengar dari badan belakang truk yang dikunci. Wanto menyadari truk yang berhenti.
"Kenapa bang?" tanya Rizal yang membukakan pintu belakang truk, tempat penyimpanan barang.
"Mau ikutan belanja. Sedih banget sendirian dikurung. Kayak ayam gue jadinya" kata Wanto sembari menuruni truk, melompat saat turun.
Ketiganya memasuki area swalayan. Bahkan Acing juga menyiapkan uang jajan di perjalanan. Meski tak seberapa, tapi cukup untuk mengganjal perut saat pergi dan pulang nanti.
Aruna memilih beberapa Snack, roti, kopi kemasan dan air minum membiarkan kedua rekannya memilih sesuai selera.
Setelah membayar, Aruna dan kedua rekannya berjalan bersisian menuju keluar. Akan kembali ke dalam truk karena memang perjalanan masih cukup jauh.
Posisi Aruna sudah dibalik kemudi, melangkahkan roda bundar truk besarnya dengan perlahan setelah dirasa aman.
Saat akan melewati parkiran depan swalayan, sebuah city car tiba-tiba berbelok, memotong lajur kiri dengan sembarangan.
Tentu Aruna terkejut, mengerem semampunya karena untuk menghentikan laju roda truk besar seperti itu butuh waktu. Tidak bisa langsung berhenti dengan sempurna. Jadi badan belakang city car itu terserempet sedikit.
Kedua kendaraan beda jenis itu sudah berhenti. Kerumunan mulai terjadi.
"Ah sial! Pasti yang nyetir mobil itu masih amatir" gerutu Aruna menuruni truk dan bersiap untuk bernegosiasi.
"Gue temenin, tenang" ujar Rizal yang tentu harus ikut turun.
Nampak sepasang muda-mudi berwajah emosi. Bersiap menghadapi si pengemudi truk yang tak lain adalah Aruna.
"Kak Tyo?" tanya Aruna yang menyadari jika pengemudi city car itu adalah Tyo, dan sedang bersama Mina.
"Aruna?" tanya Tyo tak kalah terkejutnya.
"Jadi Lo yang bawa truk itu?" tanya Tyo seolah takjub, tak percaya dengan pandangannya.
"Iya. Dan gue minta maaf sudah bikin mobil Lo jadi begitu" ujar Aruna. Mendahului untuk meminta maaf bukanlah hal yang buruk daripada sama-sama ngotot. Meski permasalahan yang terjadi bukanlah salah kita sepenuhnya.
Tidak banyak kerusakan yang terjadi. Hanya tergores sedikit saat Aruna berupaya menghentikan laju rodanya.
"Pokoknya Lo harus ganti, Run" malah Mina yang terlihat sebal.
"Eh... kagak bisa dong neng" kini giliran Rizal bersuara.
"Lo paham kan kalau mengerem truk gede itu nggak bisa spontan. Nah Lo sebagai pengendara dengan mobil yang lebih kecil seharusnya bisa ambil ancang-ancang yang benar kalau mau motong lajurnya kita. Jangan salip sembarangan" kata Rizal sedikit ngegas.
"Beruntung tadi Lo pada kagak kelindas sama truk kita. Kalau seandainya si Aruna telat dikit ngeremnya, pasti Lo berdua sudah bertemu di alam lain" masih bersungut, Rizal meneruskan ucapannya.
"Benar lo bang, gue tadi lihat kalau mobil itu tiba-tiba belok waktu truk kalian baru saja jalan. Bukan cuma gue doang kok yang lihat, tapi banyak saksinya" ujar salah satu orang yang mengaku sebagai saksi mata.
Suara gemuruh terdengar menyalahkan keduanya. Mina terlihat panik.
"Tapi kenapa lo bisa jadi supir truk, sih? Memangnya Lo punya SIM nya?" ketus Mina yang membuat Aruna memandang tajam.
Mina belum pernah berurusan dengan Aruna selama ini. Saat melihat tatapan membunuh dari Aruna, rasa dalam hati Mina menciut. Takut rupanya.
"Ada keributan apa ini?" tanya bapak berseragam coklat.
"Ah, sial!" terdengar Rizal mengumpat.
Wanto sudah menghubungi Acing, pria itu sudah dalam perjalanan ke tempat itu karena memang mereka belum lama berkendara.
"Dia ngawur bawa truknya, pak. Mobil kita diserempet" kata Mina mengadu.
"Yang benar Lo kalau ngomong, neng. Cantik-cantik belagu! Bohong dia pak" kesal Rizal.
"Kagak ada yang begitu, pak! Mobil mereka yang tiba-tiba motong jalur. Untung saja kita masih bisa ngerem" kata Rizal yang sudah emosi.
"Iya pak, saya bisa jadi saksinya" kata pemuda yang tadi membela.
"Tenang dulu" kata pak pol.
"Jadi kamu yang mengendarai truk?" tanya pak polisi, Rizal menggeleng.
"Saya pak" jawab Aruna. Polisi menatap singkat, rupanya tidak percaya.
"Terus yang mengendarai mobil?" tanya pak polisi lagi.
"Saya pak" jawab Tyo.
"Tunggu, ada apa ini?" sebuah suara terdengar sedikit tergesa, rupanya Acing sudah datang.
"Loh, ko Acing. Apa kabarnya ini?" tanya pak polisi, sedikit keberuntungan karena mengenal Acing.
"Baik, pak. Ada masalah apa?" tanya Acing yang sudah berhasil menggiring ke tempat aman dan membuyarkan kerumunan.
Polisi menceritakan kronologi, sesuai laporan dari berbagai pihak.
"Oh, tapi Aruna ini sudah profesional loh pak. Saya sudah sering menyuruhnya pergi dengan truk besar seperti ini, bahkan sejak dia masih SMP dulu. Jadi ini bukan perjalanan pertamanya" kata Acing setelah mengetahui duduk perkaranya.
"Dan untuk membuat SIM, usianya belum mencukupi. Makanya belum saya suruh bikin SIM, pak" kata Acing.
Mereka berembug di depan swalayan, tempat yang biasanya digunakan pengunjung untuk bersantai.
Sebenarnya Mina sedikit kagum juga karena Aruna yang pendiam dan suka tidur di kelas itu punya talenta untuk menyupir truk besar. Sedangkan dia sendiri masih belum bisa sekedar menyupir mobil biasa.
Tapi terlanjur menyalahkan, dan meminta maaf adalah hal yang sangat ia tidak sukai.
Berbeda dengan Tyo. Cowok itu sedari tadi malah asyik mengamati Aruna yang diam saja. Rasanya berbeda saja saat melihat Aruna.
Gadis cantik tak terawat yang menyimpan sejuta rahasia. Tyo juga mengamati kegiatan yang Aruna lakukan sejak tadi saat menemukan bolpoin di atas meja.
Memainkan bolpoin itu dengan memutar-mutarkan di sela jari. Ada pola disana, dan selalu diakhiri dengan mengetuk permukaan meja. Sambil menikmati perdebatan yang ada di depannya.
Bibir Tyo tersungging, senyum simpul terukir. Sementara hati Mina tentu memanas karena sadar jika pandangan mata Tyo selalu awas pada Aruna yang nampak cuek.
Tak lama berselang, Acing berhasil mengamankan keadaan.
"Terimakasih pak, sekali lagi mohon maaf karena membuat keributan" kata Acing santai, senyum merekah semoga membuat pak polisi legowo.
"Maaf atas kejadian ini, pak. Saya mengakui kesalahan saya dan tidak meminta ganti rugi sedikitpun" kata Tyo sambil menyalami kedua pria dewasa di depannya.
Sementara Aruna hanya ikut bersalaman saja. Yang penting urusan selesai dan aman.
"Segera mengurus SIM kalau usianya sudah cukup, dik" pesan pak polisi.
"Siap pak" kata Aruna.
"Oke, kamu bisa melanjutkan pekerjaan kamu, Run. Hati-hati ya. Atau gantian dulu nyetirnya sama Rizal?" tanya Acing.
"Nanti bang Rizal pulangnya saja, ko" jawab Aruna.
"Siap gue mah" kata Rizal.
"Gue minta maaf ya, Run" ujar Tyo.
"Iya kak" jawab Aruna singkat.
Sementara Mina hanya diam dengan pandangan masih menjatuhkan.
"Lo kagak mau sekedar minta maaf, neng?" tegur Rizal.
"Gue nggak salah, kenapa harus minta maaf" jawaban Mina membuat Rizal melotot, ingin sekali meremas bibir merah itu.
"Sudah, biarkan saja. Dia ini anaknya teman Koko loh, Zal" kata Acing yang mengenali Mina.
"Gue kagak perduli, ko" jawab Rizal, sementara Acing hanya tergelak.
"Kita jalan lagi ya, ko. Kesiangan ini" kata Aruna bersiap pergi. Memakai kembali topinya tapi membiarkan salah satu headsetnya terlepas dari telinga. Sangat menarik di hati Tyo.
Aruna beranjak, diikuti Rizal. Sementara Wanto sudah kembali bersemayam di dalam bak truk. Tidur lagi. Tapi Aruna tak berpamitan pada Tyo, mungkin geram juga dengan tingkah Mina yang sedang bersamanya.
Semua kegiatan Aruna tak lepas dari pandangan Tyo.
Kelakuan Aruna nampak keren di matanya. Saat menaiki kursi kemudi yang tinggi, membuat Aruna harus menaiki tangga agar bisa duduk dengan tenang dibalik kemudi.
Bahkan kegiatan menutup pintu truk yang Aruna lakukan berhasil membuat Tyo memandang kagum.
Apalagi saat Aruna sibuk melihat spion dan memastikan di belakangnya sudah aman saat kendaraan raksasanya akan memasuki alur lalu lintas, sungguh semua itu Tyo anggap sangat keren.
"Kak Tyo lihat apa sih? Nyebelin banget" keluh Mina yang tak dipedulikan.
Tyo menunduk malu sambil menggaruk tengkuknya. Grogi karena ketahuan memandangi Aruna, bahkan masih ada Acing disana.
"Yasudah, Koko pergi dulu ya Mina. Salam sama papa kamu" kata Acing.
"Iya ko. Kita juga mau pergi kok" jawab Mina.
Dan Acing kembali pulang.