NovelToon NovelToon
Nabil Cahaya Hidupku

Nabil Cahaya Hidupku

Status: sedang berlangsung
Genre:Single Mom / Anak Genius / Anak Yatim Piatu
Popularitas:4.9k
Nilai: 5
Nama Author: SOPYAN KAMALGrab

Nabil seorang anak berkepala besar
bayu ayahnya menyebutnya anak buto ijo
Sinta ibu bayu menyebuutnya anak pembawa sial
semua jijik pada nabil
kepala besar
tangan kecil
kaki kecil
jalan bungkuk
belum lagi iler suka mengalir di bibirnya
hanya santi yang menyayanginya
suatu ketika nabil kena DBD
bukannya di obati malah di usir dari rumah oleh bayu
saat itulah santi memutsukan untuk meninggalkan bayu
demi nabil
dia bertekad memebesarkan nabil seorang diri
ikuti cerita perjuangn seorang ibu membesarkan anak jenius namun dianggap idiot

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

mencari sekolah

Pagi itu, matahari baru naik ketika Heru sudah bersiap dengan keranjang gorengan. Hari ini gantian dia yang jualan, sementara Santi membawa Nabil untuk mencari sekolah.

Sekolah. Kata itu saja sudah cukup membuat hati Santi berdebar. Dulu, waktu masih tinggal bersama Bayu, mimpi menyekolahkan Nabil terasa seperti langit ke tujuh: jauh, mahal, dan tak mungkin digapai. Tapi sejak kembali ke rumah kelahirannya, sejak Heru dan Nabil saling menguatkan, ada harapan baru yang tumbuh perlahan.

Santi melihat betapa cepat perkembangan Nabil. Ia mulai lebih lancar bicara, mengenali warna, bentuk, bahkan bisa menghitung. Nabil bukan anak biasa. Ia istimewa. Dan Santi yakin, di tempat yang tepat, putranya akan bersinar.

TK Bintang adalah sekolah terdekat dari rumah mereka. Dari luar, sekolah itu tampak ceria. Anak-anak bermain ayunan, prosotan, dan berlarian sambil tertawa. Mata Nabil bersinar saat melihat prosotan. Tapi kilau itu cepat memudar.

“Ih, ada tuyul,” ucap seorang anak gendut menunjuk Nabil.

“Hey, kamu gak boleh gitu!” tegur seorang anak perempuan berkepang dua.

Nabil mendadak diam. Senyumnya lenyap, matanya menunduk. Santi menggenggam tangan putranya lebih erat, lalu mengajak masuk ke ruang guru.

“Saya mau daftarkan anak saya sekolah di sini,” ucapnya pelan.

Seorang guru berjilbab dan berkacamata menyambut ramah. “Terima kasih sudah mempercayakan anak Ibu pada kami.”

“Ini anak saya, Nabil,” kata Santi, tersenyum penuh harap.

Pandangan sang guru berubah sekejap. Ia menghela napas panjang, lalu menatap Santi penuh ragu.

“Mohon maaf, Bu. Saat ini kami belum punya guru pendamping untuk anak berkebutuhan khusus.”

“Tapi anak saya pandai, Bu. Dia bisa berhitung, mengenali warna, bahkan belajar sendiri.”

“Kami paham, Bu. Setiap orang tua tentu membanggakan anaknya. Tapi kalau kami terima, nanti kami yang repot. Anak Ibu butuh perhatian khusus, sedangkan tenaga kami terbatas.”

“Anak saya mandiri, Bu. Dia pasti bisa menyesuaikan diri.”

“Maaf, Bu. Sekolah ini untuk anak normal.”

“Anak saya normal!”

“Mungkin menurut Ibu, ya. Tapi kenyataannya begini.” Pandangannya menatap Nabil yang sedang menggenggam rok Santi, gelisah.

Santi terdiam. “Jadi, bagaimana?”

“Kami belum bisa menerima anak Ibu,” ucap sang guru akhirnya.

Santi keluar dari TK Bintang, menahan tangis. Tapi tekadnya belum padam. Ia naik angkot, membawa Nabil ke TK Bulan. Hasilnya sama: penolakan yang dibungkus senyum tipis.

Di sekolah ketiga, TK Awan, ia bertemu seseorang yang tak ingin ia lihat: Heni.

“Ngapain kamu di sini, Santi?” tanya Heni sinis.

“Bukan urusan kamu,” jawab Santi, tetap tenang.

“Dasar gak tahu sopan santun. Aku ini guru di sini. Aku harus tahu kamu ngapain.”

“Aku mau menyekolahkan anakku.”

“Jangan mimpi. Gak akan ada sekolah yang nerima anak cacat kayak anak kamu. Dia idiot!”

Santi menghela napas. Dia terlalu lelah untuk marah. Ia menggenggam tangan Nabil, mengajaknya pergi. Tak ada gunanya berdebat dengan orang yang hatinya lebih sempit dari kamar mandi umum.

Sudah tiga sekolah menolak Nabil.

Bukan karena mereka benar-benar tahu siapa Nabil, bukan karena mereka sudah mencoba mengajarnya, tetapi hanya dari pandangan mata. Mereka melihat fisik Nabil, lalu langsung menyimpulkan: anak ini tidak bisa.

“Sepertinya memang aku harus menyekolahkan Nabil ke sekolah kebutuhan khusus,” gumam Santi pelan, suara hatinya nyaris tak terdengar oleh siapa pun kecuali dirinya sendiri.

Walau berat hati, Santi mencoba berdamai dengan kenyataan. Bagi seorang ibu, yang terpenting adalah anaknya mendapat pendidikan yang layak. Apa pun jalannya.

Pagi itu, ia mengajak Nabil ke sebuah sekolah bernama Sekolah Bintang Harapan Bangsa. Bangunan sekolah itu tampak asri, dengan taman bermain yang luas dan penuh warna. Di halaman depan, beberapa anak sedang bermain dengan ceria. Santi memperhatikan sekeliling. Hampir semua orang tua yang datang mengantar anaknya menggunakan mobil. Ada yang mewah, ada yang sederhana, tetapi tak satu pun seperti dirinya—datang hanya berdua, naik angkot, dan dengan bekal harapan seadanya.

Dengan ragu, Santi mendekati meja resepsionis. “Maaf, Bu. Saya ingin menyekolahkan anak saya di sini. Apakah masih bisa mendaftar?”

“Tentu saja, Bu,” jawab seorang guru dengan ramah. “Kami menerima semua anak dengan tangan terbuka. Kami akan mendidik anak Ibu dengan sepenuh hati.”

Santi tersenyum lega. Namun, ia tetap harus realistis. “Mohon maaf sebelumnya, Bu. Kalau boleh tahu, berapa biaya sekolah di sini?”

Guru itu membuka brosur dan menjelaskan, “Uang pangkalnya dua puluh juta rupiah, Bu. SPP empat juta per bulan, belum termasuk biaya studi tur dan wisuda.”

Santi tercekat. Angka itu seperti petir di siang bolong. Empat juta per bulan? Dua puluh juta uang pangkal? Ia bahkan belum pernah memegang uang sebanyak itu sepanjang hidupnya.

“Bagaimana, Bu?” tanya sang guru.

Santi menarik napas dalam-dalam, menahan gelombang kecewa. “Boleh saya pikirkan dulu, Bu?”

“Tentu saja,” jawab guru itu sopan.

Santi menggandeng Nabil keluar dari ruang penerimaan. Di luar, Nabil tampak antusias. Matanya berbinar-binar melihat banyaknya permainan yang menarik. Ayunan, prosotan, trampolin—semuanya seperti dunia baru yang penuh warna.

Namun tiba-tiba, Nabil menghentikan langkahnya. Ia menggenggam erat tangan ibunya.

“Kenapa, Nak?” tanya Santi lembut.

“Kenapa di sini banyak setan?” gumam Nabil sambil menunjuk ke satu arah.

Santi tersentak. “Astaga, jangan-jangan anakku bisa melihat makhluk halus,” batinnya.

“Mana ada hantu,” ujar Santi sambil mengikuti arah tunjuk Nabil.

Ternyata, di ujung taman, seorang anak sedang dijewer oleh seorang guru yang tampak galak.

Santi menghela napas lega sekaligus heran. “Astaga… jadi setiap orang yang galak sama anak, Nabil menyebutnya ‘setan’,” gumamnya sambil tersenyum getir.

“Gimana, kamu mau sekolah di sini?” tanya Santi kemudian.

Nabil menggeleng cepat. “Aku takut setan, Mah.”

Santi tertawa kecil, lalu memeluk anaknya. “Ya sudah, ayo kita pulang saja. Kalau tidak ada yang mau mengajarkanmu, maka Ibu—seorang lulusan SMP ini—akan menjadi gurumu. Ibu akan belajar bersamamu. Karena kamu adalah anak yang luar biasa, Nak.”

“Empat juta kali dua puluh empat bulan hasilnya sembilan puluh enam juta. Sembilan puluh enam juta kali enam puluh orang hasilnya lima miliar tujuh ratus enam puluh juta,” gumam Nabil sambil menghitung di dalam kepalanya. “Ko Ahong kalah sama yang punya sekolah itu. Padahal Ko Ahong buka toko dari pagi sampai malam, dapat uang lima ratus juta setahun. Kalau mau kaya, jangan dagang, tapi buat sekolah.”

Di dalam angkot, Nabil masih saja menggerutu, suaranya pelan tapi jelas.

“Sekolah mahal. Cepat kaya. Banyak setan. Kalau mau kaya, buat sekolah. Nanti yang kerja setan.”

Santi tersenyum kecut, mencoba menenangkan anaknya yang terus mengoceh.

“Tidak semua orang itu setan, Nak. Masih banyak yang baik,” ucap Santi lembut.

“Manusia yang baik itu nggak jewer, nggak melotot, nggak teriak-teriak. Manusia baik itu kayak Ko Ahong, yang selalu senyum ke aku, ngaku salah kalau aku benar. Kayak Mang Heru juga, yang selalu bikin mainan buat aku.”

Santi memeluk bahu Nabil erat. Bocah itu memang berbeda, tapi justru di sanalah letak istimewanya.

Nabil terus berbicara, tak henti, sampai akhirnya mereka tiba di rumah.

1
Tata Hayuningtyas
suka dengan cerita nya
Tata Hayuningtyas
up nya lama sekali Thor...tiap hari nunggu notif dari novel ini...kalo bisa jgn lama2 up nya Thor biar ga lupa SM ceritanya
Wanita Aries
Nah yg bertamu ibu2 yg merasa trsaingi jualannya
Wanita Aries: Bner bgt ka sllu nungguin update
Vina Nuranisa: nagih bgt ceritanya wkwk
total 2 replies
Wanita Aries
Mantap santi mnjauhlah dari org2 dzolim
Vina Nuranisa
kapan up lagii dah nungguin bgt😁
Wanita Aries
MasyaAllah nabil hebat pinter
Wanita Aries
MasyaAllah nabil
Yurnalis
cerita yang bagus semangat terus di tunggu lanjitannya
Wanita Aries
Menguras emosi karyamu thor
Devika Adinda Putri
terima kasih atas cerita yang bagus ini, semoga bermanfaat untuk para pejuang di luar sana, untuk penulis tetap semangat, mungkin tulisan ini belum banyak peminatnya, tapi aku yakin akan banyak yang suka, dengan cerita yg mevotivasi untuk semua orang
Devika Adinda Putri
selalu di tunggu lanjutannya
Wanita Aries
Sama kyk kluarga arman ya ceritanya
Wanita Aries
Sukaaa
Lestari Setiasih
bagus ceritanya
Arlis Wahyuningsih
mantap shanti....maju terus...👍👍👍😘😘
Arlis Wahyuningsih
cerita yg menarik..perjuangan seorang ibu demi putranya ygtak sempurna fidiknys tp luar biasa kemampuanya...mantap thor..💪💪🙏🙏
Farldetenc: Ada karya menarik nih, IT’S MY DEVIAN, sudah End 😵 by farldetenc
SOPYAN KAMALGrab: makasih ka doakan lulus kontrak..kalau lulus lanjut
total 2 replies
ARIES ♈
jangan lupa mampir ya Kakak ke ceritaku. ☺️☺️☺️
.•♫•♬•LUO YI•♬•♫•.
hih geram banget ma bayu.. kalau gua mah dah gua racun satu kluarga 🙄🙄
.•♫•♬•LUO YI•♬•♫•.: iyaa sama"
SOPYAN KAMALGrab: terimakasih KA udah komen k
total 2 replies
.•♫•♬•LUO YI•♬•♫•.
ceritanya bagus, juga gak bertele-tele... semangat trus ya thor..
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!