Galuh yang baru saja diterima di universitas impiannya harus menerima kenyataan bahwa ia akan tinggal di kos campur karena kesalahan administratif. Tidak tanggung-tanggung, ia harus tinggal serumah dengan seorang senior wanita bernama Saras yang terkenal akan sikap misterius dan sulit didekati.
Awalnya, kehidupan serumah terasa canggung dan serba salah bagi Galuh. Saras yang dingin tak banyak bicara, sementara Galuh selalu penasaran dengan sisi lain dari Saras. Namun seiring waktu, perlahan-lahan jarak di antara mereka mulai memudar. Percakapan kecil di dapur, momen-momen kepergok saat bangun kesiangan, hingga kebersamaan dalam perjalanan ke kampus menjadi jembatan emosional yang tak terhindarkan.
Tapi, saat Galuh mulai merasa nyaman dan merasakan sesuatu lebih dari sekadar pertemanan, rahasia masa lalu Saras mulai terungkap satu per satu. Kedekatan mereka pun diuji antara masa lalu Saras yang kelam, rasa takut untuk percaya, dan batasan status mereka sebagai penghuni kos yang sama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 19 Titik Patah Saras
Sudah hampir dua minggu sejak Galuh membuka kisah masa lalunya kepada Saras. Meskipun masih ada bayang-bayang dari masa lalu yang kadang menyelinap ke kehidupan mereka, keduanya mulai menemukan kembali ritme yang lebih tenang. Saras masih menjadi penyemangat Galuh, dan Galuh perlahan mulai bisa bernapas lebih lega. Namun, apa yang tidak mereka tahu badai baru sedang mengintai dari arah yang tak terduga.
---
Pagi itu, Saras bangun lebih awal dari biasanya. Matanya sembab. Semalam ia nyaris tak bisa tidur. Sudah dua hari ini ia menerima pesan dari nomor tak dikenal. Isinya singkat, tapi cukup untuk mengusik pikirannya.
> “Kamu pikir kamu kenal Galuh? Kamu nggak tahu apa-apa tentang dia.”
Pesan itu datang setiap malam, dan meskipun Saras mencoba mengabaikannya, lama-lama ia mulai merasa terusik. Ia belum memberitahu Galuh. Bukan karena tidak percaya, tapi karena tidak ingin menambah beban cowok itu. Tapi pagi ini, perasaan was-was itu berubah jadi kegelisahan.
Di dapur, Saras duduk termenung sambil menatap cangkir kopi yang bahkan belum disentuh. Galuh muncul dari kamar, masih dengan rambut acak-acakan.
“Pagi. Lo bangun pagi banget,” ucap Galuh sambil menguap.
Saras mengangguk pelan. “Iya, nggak bisa tidur.”
Galuh duduk di seberangnya. “Lo oke?”
Saras ragu, tapi akhirnya menyerahkan ponselnya ke Galuh. “Baca aja.”
Galuh membaca pesan-pesan itu dengan dahi berkerut. Wajahnya mulai menegang. “Ini Alvin lagi, ya?”
“Kayaknya,” jawab Saras. “Tapi gue gak yakin.”
Galuh mengembalikan ponsel itu. “Gue bakal selesain ini, Sar. Gue janji.”
Saras menatap Galuh dalam-dalam. “Galuh… lo gak harus selalu berusaha selesain semua sendirian. Kita bisa bareng.”
Galuh terdiam. Hatinya hangat mendengar ucapan Saras. Tapi ia juga sadar, makin dalam Saras masuk ke hidupnya, makin besar juga risiko yang harus ditanggung cewek itu. Dan ia takut, sangat takut, jika Saras terluka karena dirinya.
---
Hari itu, Saras menghadiri kelas seperti biasa. Tapi pikirannya terus melayang. Dan seolah hari belum cukup buruk, sepulang kuliah ia mendapat kabar dari rumah ibunya masuk rumah sakit karena tekanan darah tinggi yang mendadak naik.
Tanpa berpikir panjang, Saras langsung memesan tiket kereta malam ke kota asalnya. Galuh yang tahu hal itu langsung mengantar Saras ke stasiun, membawakan koper kecil, dan menemaninya sampai di peron.
“Nanti kabarin kalau udah nyampe rumah, ya,” ucap Galuh.
Saras mengangguk. “Lo juga jaga diri. Jangan mikir aneh-aneh soal Alvin.”
Galuh mencoba tersenyum, meski matanya tak bisa menyembunyikan rasa khawatir.
Begitu kereta melaju, Saras menatap ke luar jendela, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa jauh dari Galuh—bukan secara fisik, tapi secara emosional. Ada ruang yang perlahan terbentuk, dan Saras tidak tahu apakah itu akan terus membesar atau kembali menyatu.
---
Selama di rumah, Saras disibukkan dengan kondisi ibunya yang naik turun. Ia jarang membuka ponsel, dan hanya sesekali membalas pesan dari Galuh. Tapi malam itu, setelah semua orang tertidur, Saras mendapat video kiriman dari nomor tak dikenal yang sebelumnya mengganggunya.
Video berdurasi 1 menit 47 detik itu menunjukkan rekaman CCTV lama dari lorong kampus—tampak Galuh di sana, berdiri di depan ruangan dosen, lalu masuk dengan ekspresi tegang. Beberapa detik kemudian, seorang mahasiswa lain muncul dan mengambil sesuatu dari tas Galuh yang ditinggal di kursi. Kamera menangkap wajah mahasiswa itu dengan jelas.
Namun yang membuat Saras bergidik adalah caption yang menyertai video itu:
> “Dia bukan korban. Dia pelaku yang sedang mengatur semuanya dari balik layar.”
Saras menggenggam ponsel erat-erat. Otaknya menolak percaya, tapi hatinya mulai goyah. Ia tahu Galuh adalah korban, ia tahu Galuh tidak seperti yang dituduhkan. Tapi mengapa ada bukti yang seperti ini?
Malam itu, Saras tidak bisa tidur. Ia memandangi langit-langit kamarnya sambil menahan air mata. Keraguan mulai tumbuh, dan ia benci dirinya karena merasakannya.
---
Tiga hari kemudian, Saras kembali ke rumah kos. Galuh sudah menunggunya di depan pintu dengan senyum hangat, tapi Saras hanya membalas dengan senyum tipis.
“Nyokap lo gimana?” tanya Galuh.
“Udah membaik. Tapi belum boleh terlalu banyak aktivitas,” jawab Saras.
Galuh membawakan tas Saras ke dalam. Tapi ia bisa merasakan jarak antara mereka. Saras tampak lebih dingin. Lebih hati-hati.
Malam itu, saat mereka duduk berdua di ruang tengah, Saras akhirnya membuka suara.
“Galuh… gue dapet video. Dari orang yang sama.”
Galuh menegang. “Video apa?”
Saras mengeluarkan ponselnya dan memutar video itu. Galuh menatap layar itu, dan wajahnya langsung berubah pucat.
“Itu… bukan kayak yang lo lihat,” kata Galuh cepat-cepat.
Saras menatapnya tajam. “Terus kayak gimana?”
Galuh berdiri, mondar-mandir di ruang tamu. “Itu video yang dipotong. Versi aslinya ada. Tapi cuma gue yang punya.”
“Kenapa lo gak bilang dari awal kalau ada bukti kayak gini?”
“Karena… karena gue takut. Takut lo bakal ninggalin gue kalau tahu semua.”
Saras berdiri juga. “Jadi lo pikir gue selemah itu?”
“Bukan, Saras. Tapi karena gue terlalu takut kehilangan lo. Gue nggak mau masa lalu gue nyakitin lo.”
Saras menghela napas dalam-dalam. Ia menahan emosi yang ingin meledak.
“Gue gak minta lo jadi sempurna, Galuh. Tapi gue minta kejujuran. Kalau dari awal lo jujur, gue mungkin gak akan sekaget ini.”
Galuh terdiam. Hatinya hancur melihat air mata Saras yang mulai mengalir.
“Gue... perlu waktu, Galuh. Gue sayang lo. Tapi gue juga gak bisa berpura-pura bahwa semuanya baik-baik aja.”
Saras melangkah ke kamar, meninggalkan Galuh yang berdiri membisu di ruang tamu. Malam itu, keheningan membungkus rumah kecil mereka. Untuk pertama kalinya sejak mereka tinggal bersama, terasa ada tembok tak terlihat di antara mereka.
Dan untuk pertama kalinya pula, Galuh sadar bahwa jika ia tidak segera menghadapi semua yang ia sembunyikan ia bisa benar-benar kehilangan satu-satunya orang yang percaya padanya.