Saat keadilan sudah tumpul, saat hukum tak lagi mampu bekerja, maka dia akan menciptakan keadilannya sendiri.
Dikhianati, diusir dari rumah sendiri, hidupnya yang berat bertambah berat ketika ujian menimpa anak semata wayangnya.
Viona mencari keadilan, tapi hukum tak mampu berbicara. Ia diam seribu bahasa, menutup mata dan telinga rapat-rapat.
Viona tak memerlukan mereka untuk menghukum orang-orang jahat. Dia menghukum dengan caranya sendiri.
Bagaimana kisah balas dendam Viona, seorang ibu tunggal yang memiliki identitas tersembunyi itu?
Yuk, ikuti kisahnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 10
Hampir tengah malam Viona masih berada di jalanan, ia mempercepat langkah mengingat Merlia yang sendirian. Gadis itu tengah terlelap saat ia tinggalkan sore tadi. Sembari menenteng sebungkus makanan ringan kesukaan si buah hati, Viona berlari secepat mungkin.
Angkutan umum sudah tak ada yang melintas. Ojek? Viona tidak mempercayai mereka karena satu hal. Gang tempatnya tinggal sudah terlihat, lorong gelap itu bukan apa-apa baginya. Dia bahkan pernah berada di satu tempat paling gelap di kehidupannya.
"Merlia!" Bibirnya bergetar, hatinya ikut merasa cemas.
Terburu-buru ia membuka kunci dan merangsek masuk ke rumah.
"Merlia!" panggilnya cukup keras agar Merlia mendengar.
Tak ada sahutan, yang terdengar hanya suara tangisan samar. Entah di mana asalnya. Viona membuka pintu kamar, tak ada siapapun di sana. Membalik selimut, membuka lemari. Merlia tidak di sana.
Ia diam mendengarkan suara tangisan Merlia, berbalik cepat dan berlari menuju kamar mandi. Nyaris tubuhnya terpeleset seandainya tangan tak sigap berpegangan pada meja makan.
"Ibu ... ibu, tolong Lia! Lia takut, Bu!" lirih suara Merlia dari dalam kamar mandi.
"MERLIA! Ini Ibu, sayang. Buka pintunya!" panggil Viona sembari menggerakkan gagang pintu kamar mandi yang terkunci.
"Ibu ... kaukah itu?" Suara Merlia bergetar, jelas dia sangat ketakutan.
Viona menunduk, membenturkan kepala pada pintu kamar mandi. Menahan rasa sakit yang luar biasa atas penderitaan yang dialami putrinya. Ia menahan tangis meski tak bisa, air mata tetap saja jatuh berderai.
"Iya, sayang. Ini Ibu, buka pintunya, Merlia," jawab Viona bergetar.
Ia menunggu pintu itu terbuka dengan sabar karena tak ingin membuat Merlia semakin ketakutan.
Klak!
Suara kunci terbuka, Viona dengan cepat membuka pintu dan menarik tubuh Merlia ke dalam pelukannya. Ia menangis tanpa suara, memberikan usapan lembut yang menenangkan.
Sementara Merlia menangis tergugu menumpahkan rasa takut yang menderanya. Kejadian itu benar-benar merusak mental Merlia. Gadis yang ceria dan selalu tersenyum, kini harus menderita trauma yang menakutkan.
"Aku takut, Bu. Aku tidak mau di sini. Mereka ada di mana-mana, Bu. Aku takut," racau Merlia semakin membuat hati Viona sakit.
"Iya, sayang. Pagi nanti kita akan pergi dari sini. Tenangkan dirimu, sayang. Mereka tidak ada di sini. Ibu di sini, Ibu tidak akan pergi lagi," ucap Viona menenangkan.
Ia membiarkan Merlia memeluknya dengan erat, menangis sejadi-jadinya sampai hatinya merasa tenang. Barulah ia melepas pelukan, merapikan rambut Merlia yang berantakan. Mengikatnya dengan karet gelang yang ia temukan di meja.
"Bagaimana perasaanmu? Sudah lebih tenang?" tanya Viona sembari menangkup wajah putrinya.
Merlia menganggukkan kepala, melihat sosok Viona hatinya kembali merasa aman. Sungguh, tak ada tempat yang lebih aman baginya saat ini selain berada di sisi Viona.
"Lapar?" Viona kembali bertanya, disambut anggukan kepala oleh Merlia.
Ia mengajak anaknya untuk duduk di meja makan, membuka bungkusan yang dibawanya dengan segera. Beruntung tak dilemparkannya bungkusan itu.
"Makanlah! Ibu akan menunggumu," ucap Viona sambil tersenyum manis meski hatinya getir melihat keadaan Merlia.
Melihat cara makan Merlia yang sekarang, Viona ingin menangis. Dia yang selalu makan dengan lahap, apapun jenis makanannya. Kini, tampak malas dan enggan. Ia mengusap air mata yang jatuh, tak ingin Merlia melihatnya.
"Habiskan! Ibu akan membuatkan mu susu," katanya seraya beranjak untuk membuat susu kedelai kesukaan Merlia.
"Bu, apa kita akan pulang ke desa? Rasanya di sana jauh lebih tenang dan aman dari pada di sini," ucap Merlia tiba-tiba.
Viona berbalik dengan membawa segelas susu kedelai hangat. Ia tersenyum, memberikan gelas tersebut kepada anaknya. Lalu, duduk di dekat Merlia dan mengangguk pelan.
"Iya, sayang. Kita akan pulang ke desa," katanya pasti.
Merlia tersenyum, melanjutkan makannya dan kemudian menenggak susu kedelai hingga tandas.
****
Viona mengusap-usap rambut Merlia yang berbaring memeluk pinggangnya. Sementara dia duduk bersandar pada kepala ranjang, menunggu sang anak tidur. Dia ingin memeriksa ponsel itu secepatnya.
Dengkuran halus terdengar, Viona melirik dan menghela napas panjang. Menengadah menatap langit-langit kamar yang telah usang. Mungkin rumah itu akan roboh seandainya tak ada yang menghuni.
"Pemuda itu ... kenapa rasanya aku benci sekali?" Viona bergumam saat teringat pada Dicky di rumah Ghavin.
Pemuda yang baru ia temui malam ini, tapi perasaan benci begitu dalam ia rasakan. Viona membayangkan wajah tampan Dicky, tapi terlihat memuakkan. Tak seperti Ghavin yang menyenangkan bila dipandang.
"Apa benar dia keponakan Ghavin? Kenapa Ghavin bisa memiliki keponakan yang seperti itu? Tidak bisakah semua keluarganya sebaik Ghavin?" gumam Viona membayangkan persahabatannya bersama Ghavin yang tak pernah tergoyahkan oleh masalah apapun.
Viona yang dingin dan Ghavin yang periang. Hanya dia yang mempu membentuk bibir Viona menjadi sebuah senyuman yang manis. Ia tersenyum, masa-masa dulu begitu indah. Menjalankan misi-misi dan akan tertawa bersama saat berhasil, menangis bersama saat gagal. Dia rindu kembali bersama teman-teman yang dulu. Bisakah? Tapi ....
Viona menunduk saat merasakan pergerakan dari Merlia. Mengusap kepalanya pelan sampai gadis itu kembali tenang. Perlahan ia beranjak turun, menarik selimut menutupi tubuh Merlia.
"Siapkah aku mengetahui semuanya?" Dia bergumam sembari menatap Merlia yang terlelap.
Menarik udara, mengisi paru-parunya yang terasa sesak. Apapun kenyataannya, dia harus tahu. Viona beranjak mendekati lemari di mana dia menyimpan temuannya. Berbalik menatap Merlia sebelum keluar tanpa menutup pintu.
"Hatiku ... kenapa rasanya sakit sekali padahal aku belum melihat isi ponsel ini," gumam Viona sembari menekan bagian dada kirinya yang terasa nyeri dan sesak.
Perlahan mengeluarkan ponsel tersebut, menekan daya hidup dan menunggu. Berdebar hatinya, serasa dipukul-pukul benda tumpul dan terasa sesak. Layar benda itu mulai menyala, semakin berdebar jantungnya. Semoga itu baik-baik saja.
Hidup!
Hal pertama yang dia lihat adalah, wallpaper sebuah foto pasangan muda. Ya, gadis itu dan seorang siswa populer, model yang namanya sedang naik daun dan digaungkan anak-anak muda.
"Ternyata ponsel ini milik gadis itu. Apakah dia dalang dari apa yang menimpa pada Merlia?" Ia menelisik wajah itu, wajah yang tak asing di matanya.
Beberapa saat kemudian, dering panggilan terus menerus masuk. Sepertinya pemilik benda tersebut masih mencarinya. Viona menonaktifkan jaringan, mulai menjelajah dari aplikasi pesan yang terdapat ratusan pesan.
Viona membukanya, menggulir layar ke bawah. Ada sebuah nama yang terselip di antara pesan-pesan itu. Nama yang tak asing disebutkan dalam percakapan. Viona menekan pesan tersebut, dan perbincangan seputar obat yang dia dapatkan hari itu.
"Jadi dia pemilik obat ini, tapi kenapa memfitnah Merlia?" Viona mengerutkan dahi.
Pandangannya beralih pada sebuah pesan video yang banyak. Ia menekan dan membukanya. Lalu, tubuhnya membeku melihat adegan di dalam video itu. Air mata Viona luruh tak terkendali.
"Brengsek! Biadab kalian semua!" umpatnya.
****
Maaf, ya, Kakak-kakak semua. Judulnya aku ganti, selamat membaca! Terima kasih atas dukungannya.
kyknya Peni yg terakhir.. buat jackpot bapaknya.. si mantan Viona..!! 👻👻👻