NovelToon NovelToon
Dia Bukan Ayah Pengganti

Dia Bukan Ayah Pengganti

Status: tamat
Genre:One Night Stand / Hamil di luar nikah / Pengantin Pengganti / Dokter / Menikah dengan Kerabat Mantan / Ayah Darurat / Tamat
Popularitas:2.4M
Nilai: 4.9
Nama Author: Puji170

Naya yakin, dunia tidak akan sekejam ini padanya. Satu malam yang buram, satu kesalahan yang tak seharusnya terjadi, kini mengubah hidupnya selamanya. Ia mengira anak dalam kandungannya adalah milik Zayan—lelaki yang selama ini ia cintai. Namun, Zayan menghilang, meninggalkannya tanpa jejak.

Demi menjaga nama baik keluarga, seseorang yang tak pernah ia duga justru muncul—Arsen Alastair. Paman dari lelaki yang ia cintai. Dingin, tak tersentuh, dan nyaris tak berperasaan.

"Paman tidak perlu merasa bertanggung jawab. Aku bisa membesarkan anak ini sendiri!"

Namun, jawaban Arsen menohok.

"Kamu pikir aku mau? Tidak, Naya. Aku terpaksa!"

Bersama seorang pria yang tak pernah ia cintai, Naya terjebak dalam ikatan tanpa rasa. Apakah Arsen hanya sekadar ayah pengganti bagi anaknya? Bagaimana jika keduanya menyadari bahwa anak ini adalah hasil dari kesalahan satu malam mereka?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23 DBAP

Napas Dito dan Nisa kini tersengal-sengal saat mereka bersembunyi di balik tembok sempit di sudut lorong. Dada mereka naik turun, berusaha mengatur ritme setelah berlari sejauh itu. Tubuh mereka begitu dekat, saling berhadapan, dan dada Dito secara refleks melindungi Nisa dari pandangan luar.

Hening sejenak. Hanya suara napas dan degup jantung yang terasa mengisi ruang di antara mereka.

“Cantik…” bisik Dito, nyaris tak terdengar, seolah kata itu terlepas tanpa sadar. Matanya menatap wajah Nisa yang hanya sejengkal darinya, berembun keringat, tapi tetap memikat.

Nisa masih fokus mengintip ke arah lorong, memastikan orang yang mengejarnya sudah benar-benar pergi. Tapi begitu ia menyadari betapa dekat posisi mereka, matanya membulat, lalu buru-buru mendorong tubuh besar Dito menjauh.

“Kamu… nyari kesempatan dalam kesempitan, ya?” tuduhnya cepat, wajahnya bersemu merah, antara kesal dan malu.

Dito terhuyung sedikit ke belakang, mengangkat tangannya seolah membela diri. “Ka—kamu ya! Diliat dari sudut mana aku nyari kesempatan? Ini gang sempit, bukan salahku!”

“Ya tetep aja! Jaga jarak dong, dasar cowok udah salah, gak mau ngaku, malah ngegas!”

Dito menghela napas panjang, menatap Nisa sejenak, lalu bergumam lirih ke dirinya sendiri, “Sabar, Dito… sabar. Untung dia cantik.”

Ia memijit pelipisnya, lalu memutuskan untuk menghentikan debat kecil yang jelas tak akan ia menangkan. “Udahlah. Sekarang jelasin. Kenapa kamu bisa dikejar orang-orang itu? Siapa mereka?”

Nisa berdehem pelan, ekspresinya berubah gugup. “Si—siapa yang dikejar? Kamu kali.”

Dito menyipitkan mata, tidak percaya. “Tadi jelas-jelas kamu yang lari duluan.”

“Aku itu lari karena lihat mereka mau nyerang kamu. Iya, kamu!” Nisa menunjuk ke arah dada Dito dengan yakin, lalu menambahkan cepat, “Tuh kan! Kamu gak peka. Denger ya, kejahatan itu bisa ada di mana aja. Beruntung kamu tadi aku selametin, kalau nggak, mungkin sekarang kamu udah nyasar sampai ke Kamboja!”

Dito terdiam, memandangi Nisa yang bicara cepat seperti sedang menutupi sesuatu. Alisnya terangkat, skeptis. “Kamu pikir aku bodoh?”

Nisa mengangkat bahu, senyum menggoda tersungging di sudut bibirnya. “Bukan bodoh... cuma kurang pintar dikit.”

“Kamu bikin aku darah tinggi aja!” sahut Dito, nada suaranya campuran antara kesal dan tak percaya.

“Perlu aku beliin obatnya?” balas Nisa santai, wajahnya polos tapi penuh sindiran manis.

Dito menghela napas berat. Setiap kali gadis itu bicara, rasanya seperti sedang bermain api. Mulutnya tajam, tapi tatapannya jujur. Dan itu yang paling bikin Dito kewalahan.

“Aku pengen banget bungkam mulut kamu,” gumam Dito pelan, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri.

Senyum licik mulai mengembang di sudut bibir Dito. Ia mendekat selangkah, menatap Nisa dalam-dalam.

“Ka… kamu beneran mau beliin obat?” tanyanya, sengaja memasang ekspresi lugu.

“Enggaklah, aku cuma bercanda!” sahut Nisa cepat, sedikit gugup melihat wajah Dito yang kini makin dekat.

Dito mencondongkan tubuhnya. “Tapi ada pepatah… kalau niat nolong orang, jangan setengah jalan. Kalau nanti orangnya meninggal, biar nggak ngelipir dan ngehantuin kamu.”

Nisa menyipitkan mata. “Pepatah dari mana itu?”

Dito tidak menjawab.

Tatapannya tajam namun hangat. Tiba-tiba, tanpa peringatan, ia menyentuh lembut wajah Nisa dengan satu tangan. Dalam sekejap, ia mencium bibir Nisa—singkat, mendalam, dan penuh dorongan emosi yang selama ini ia tekan.

Nisa membeku. Matanya membulat, jantungnya berdetak tak karuan. Ciuman itu hanya berlangsung beberapa detik, tapi cukup untuk membuat dunia terasa berhenti sejenak.

Begitu Dito melepaskan ciuman itu, ia menatap Nisa lekat-lekat. Bibirnya masih setengah terbuka, dan suaranya terdengar berat saat berkata, “Dari bibirku… yang barusan menyatu sama bibirmu.”

Beberapa detik sunyi.

Lalu…

Plakk!

Tamparan Nisa mendarat keras di pipi Dito. Suara tamparan itu menggema di lorong sempit tempat mereka berdiri. Wajah Nisa memerah, entah karena marah, malu, atau keduanya.

“Dasar brengsek!” ucapnya lantang, suaranya bergetar oleh emosi.

Tanpa menunggu balasan, Nisa membalikkan badan dan melangkah cepat pergi meninggalkan Dito.

Dito berdiri diam, pipinya perih tapi wajahnya tak menunjukkan kemarahan. Ia malah menghela napas panjang, lalu berkata pelan pada dirinya sendiri, sambil menahan senyum getir, “Memang… brengsek kamu, Dito.”

***

Hari ini, Naya kembali menjalani pemeriksaan rutin oleh dokter. Namun berbeda dari sebelumnya, kali ini Arsen selalu sigap berada di sisinya—menemani dengan sikap tenang, penuh perhatian, seperti seorang suami sekaligus calon ayah yang siap siaga.

“Bu Naya, sepertinya pemenangnya sudah ketahuan,” goda dr. Meta dengan senyum hangat.

“Maksudnya, Dok?” tanya Naya pelan, masih berbaring lemah di atas ranjang rumah sakit, mencoba mencari arti dari ucapan dokter tersebut.

Dokter Meta menoleh ke arah Arsen yang berdiri tak jauh dari sana, tangannya terlipat namun matanya tak lepas dari Naya.

“Dokter Arsen itu terkenal dingin sama wanita, padahal banyak yang mendekat. Tapi sekarang, lihat sendiri… setia sekali mendampingi. Ibu Naya ini seperti pemegang medali emas.”

Seketika Naya melirik ke arah Arsen. Ada kehangatan yang menyelinap di dadanya, perasaan yang seharusnya ia tepis… tapi sulit. Ia buru-buru mengalihkan pandangan, tak ingin terbawa harap.

Arsen, yang samar-samar mendengar ucapan itu, mendekat perlahan. Ekspresinya datar, tapi suaranya terdengar serius.

“Dokter Meta, kalau Anda masih bicara sembarangan, saya tak segan minta pengganti.”

Dokter Meta tersenyum canggung, lalu cepat-cepat kembali fokus pada pemeriksaan. Ia menekan lembut bagian perut Naya.

“Bagaimana? Terasa sakit?”

“Tidak, Dok,” jawab Naya pelan.

“Masih ada darah yang keluar?”

“Sudah tidak ada.”

Dokter Meta mengangguk lega. “Kalau begitu, kondisi Ibu Naya sudah stabil. Saya izinkan pulang hari ini. Tapi di rumah harus tetap bedrest, ya. Dan seminggu lagi datang untuk kontrol.”

Naya mengangguk, matanya sekilas bertemu dengan Arsen—ada rasa asing yang mulai tumbuh, antara nyaman, takut, dan harapan yang berani-berani disangkal.

"Boleh dilepas infusnya sekarang,” ucap Dokter Meta pada perawat yang berdiri di sisi ranjang.

Namun, sebelum perawat sempat bergerak, suara Arsen terdengar mantap. “Tidak perlu. Aku sendiri yang akan melepaskannya.”

Dokter Meta menoleh, hendak protes, tapi hanya bisa menghela napas dan menyerah. “Baiklah,” gumamnya, lalu memberi isyarat pada perawat untuk mundur.

Arsen mengambil tisu antiseptik dan plester. Ia duduk di samping ranjang, matanya menatap lembut ke arah Naya. Gerakannya tenang, berbeda dari sikap dinginnya selama ini.

“Kalau nanti terasa sakit, kamu boleh genggam tanganku sekuat yang kamu mau.”

Naya menatapnya, bingung antara ingin tersenyum atau menangis. Tangannya perlahan terulur, menyambut genggaman itu.

“Paman…” bisiknya lirih, ada getar dalam suaranya.

Arsen menunduk sedikit, suaranya rendah dan hangat. “Jangan banyak berpikir, aku—”

Brakk!

Suara pintu terbuka keras menghentikan kalimatnya.

“Arsen!” suara lantang memecah ruangan. Seorang wanita berdiri di ambang pintu, napasnya memburu, wajahnya tegang.

1
Kimo Miko
ws pokokke jempol kak👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍
𝓗𝓪𝔂𝓾𝓻𝓪𝓹𝓾𝓳𝓲: terimakasih kakak
total 1 replies
Kimo Miko
wkwkwk..... dito panik dikira nisa mau terbang gak tahunya cuma mau teriak biar beban berkurang. ws ayo lak pulang tanggal pernikahanmu sudah dekat dan juga kasihan kakek meskipun dia salah. kakek melakukan itu karena punya alasan sendiri
Kimo Miko
kejar dito... mana tahan ditinggal nisa. ternyata dito bisa bucin juga
Kimo Miko
lanjut thor ..
Kimo Miko
gak komen thor aku sudah ilfil sama mbokne naya.
Kimo Miko
ada rahasia apa🤔
Kimo Miko
emang ada apa sampai naya terbelalak?
Kimo Miko
coba tes DNA ulang nisa. mungkin ada sabotase waktu kamu tes DNA.
Kimo Miko
waduh... data diri naya belum terungkap malah mamke naya kritis piye coba guys?
Kimo Miko
emang enak.... makanya punya mulut di rem gak asal nyolot. yang kamu sentil adalah orang yang gak bisa disentuh. pelajaran buat kamu dara apalagi kamu lagi koas ... pingin gak lulus?
Kimo Miko
dito itu seorang dokter atau intelejen sih. setiap langkahnya selalu jitu hampir tidak ada yang meleset. coba dito selidiki dan kerjasama dengan kakek salim siapa tahu naya adalah cucu kakek salim yang hilang
𝓗𝓪𝔂𝓾𝓻𝓪𝓹𝓾𝓳𝓲: dia keturunan mafia, tapi malah jadi dokter
total 1 replies
Kimo Miko
semoga saja nisa adikmu adalah naya.
Kimo Miko
ya ya ya... bingungkan? kedua duanya sama pentingnya . gimana thor siapa yang lebih penting?
Kimo Miko
segeralah terkuak thor siapa naya sebenarnya. sekarang roki dan zayan memetik buah yang ditanam. terima hasil kerasmu ya pak dan anak
Kimo Miko
ahhhh ..... serasa dunia milik mereka berdua
Kimo Miko
so sweetnya.....
Kimo Miko
aku suka cara arsen jika mengingatkan naya. jika arsen keliru harus selalu diingatkan. itulah yang namanya rumah tangga 👍
Kimo Miko
waduh sekalinya sakit hati si puput gak tanggung tanggung utk menyingkirkan roki secara halus. dan anak semata wayang yang di gadang gadang juga telah mengecewakaannya . genap sudah perasaan sakit kecewa dan hancur. ayan bersiap siaplah kamu dari titik terendah untuk memulainya jalan hidupmu
Kimo Miko
bongkar sekalian put. siapa reok. sudah menghabiskan uang berapa aja si reok.
Kimo Miko
sudah saatnya kelicikan keserakahan bapak dan anak terkuak. dari bicaranya si zayan sudah ketahuan jika anak yang dikandung naya bukan anak arsen hak waris jatuh ditangan zayan. itu kan sudah kelihatan. lanjut thor sudah gak sabar ikut tegang
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!