Vanesa, Gadis muda yang menerima pinangan kekasihnya setelah melewati kesedihan panjang akibat meninggalnya kedua orang tuanya, Berharap jika menikah sosok Arldan akan membawa kebahagiaan untuknya.
Namun siapa sangka semuanya berubah setelah pria itu mengucapkan janji suci pernikahan mereka.
Masih teringat dengan jelas ingatannya di malam itu.
"Arland, Bisa bantu aku menurunkan resleting gaunku?"
Sahut Vanesa yang sejak tadi merasa kesulitan menurunkan resleting gaun pengantin nya.
Tangan kokoh Arland bergerak menurunkan resleting di punggung istrinya dengan gerakan perlahan.
"Terima kasih"
Sahut Vanesa yang menatap Arland di pantulan cermin yang ada di hadapannya.
Arland menarik ujung bibirnya, Menciptakan senyum mengerikan yang membuat Vanesa melunturkan senyum miliknya.
"Vanesa, Selamat datang di neraka milikku"
Ucap Arldan pada saat itu yang kemudian meninggalkan Vanesa begitu saja
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pio21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sakit
Samar samar dalam tidurnya dia mendengar isak tangis yang terdengar begitu lirih, Hingga Vanesa memaksa untuk membuka matanya secara perlahan.
Dan sosok pertama yang dia lihat ketika bola matanya terbuka adalah bibi Sumi, Bibi Sumi yang merupakan art yang telah bekerja sepuluh tahun di keluarga Santoso.
"Nona akhirnya anda bangun"
Ucap Bibi Sumi ketika melihat gadis di hadapannya akhirnya sadar, Dia bahagia namun air matanya menetes tanpa bisa dia hentikan.
"Bibi jangan menangis, Aku baik baik saja"
Vanesa berusaha tersenyum, Tentu saja itu bohong, Dia tidak baik baik saja, Perutnya semakin sakit begitupun dengan punggungnya, Namun dia tidak ingin membuat wanita tua di sampingnya khawatir.
"Apakah tuan memukul nona lagi?"
Tebak Bibi Sumi dengan penuh kesedihan, Kekerasan yang di alami oleh Vanesa bukan hal yang aneh lagi di rumah ini.
"Dia sedikit kesal, Tapi tidak memukulku dengan keras bi"
Gadis itu kembali berbohong.
Bibi Sum jelas tau itu, Gadis di hadapannya benar benar berusaha menyembunyikan perilaku buruk tuannya.
"Bibi ingin menelfon dokter, Tapi tuan melarang bibi, nona"
Lagi lagi air mata wanita tua itu luruh, Dia menggenggam tangan Vanesa dengan erat.
Kemarin saat dia mendengar kekacauan dia jelas panik, Namun tidak bisa menerobos masuk ke kamar tuannya, Jika dia melakukannya maka tuannya akan semakin marah dan melampiaskannya pada Vanesa. Maka dari itu dia memilih diam dan menunggu pria itu keluar dari kamarnya.
Dan ketika Arldan keluar dan pergi entah kemana, Bibi Sumi berlari masuk kedalam kamar, Betapa syoknya dia melihat kondisi Vanesa yang terbaring tidak berdaya.
Terdapat lebam di tangan gadis itu, Beberapa helaian rambut berceceran di sana. Melihat itu cukup bisa membuatnya menebak apa yang terjadi.
Dia berusaha membangunkan Vanesa berkali kali, Membasahi wajah gadis itu dengan air namun gadis itu tak kunjung membuka bola matanya.
Hal tersebut membuatnya panik bukan kepalang, Dia ingin menghubungi dokter namun Arldan langsung berteriak ke arahnya.
"Bibi Sumi, Jangan pernah mencoba menghubungi dokter, Atau gadis itu akan menerima akibatnya"
Bibi Sumi jelas tidak bisa melakukan apapun, Sebab apa yang dikatakan pria itu jelas bukan hanya ancaman semata.
Pada akhirnya dia memilih membawa tubuh Vanesa kedalam kamar di bantu dengan mang Ujang yang merupakan salah satu pekerja di kediaman santoso.
Vanesa tersenyum miris mendengarnya, Jelas saja pria itu tidak akan peduli bagaimana kondisinya, Lalu bagaimana bisa pria itu bisa mengizinkan untuk memanggil dokter untuknya.
"Bibi jangan menangis aku baik baik saja, Bukankah aku sudah bangun, Tidak apa apa, Bibi"
Vanesa berusaha menahan tangisnya ketika mengatakan itu. Jika saja dia bisa berteriak kepada dunia jika dia tidak baik baik saja.
"Nona, Obat nona masih ada bukan? Atau sudah habis? Biar bibi yang membelinya untuk nona"
Vanesa menggelengkan kepalanya cepat ketika mendengar pertanyaan bibi Sumi
"Obatku masih banyak, Lili baru membelinya kemarin"
Ucap gadis itu.
Dan lagi lagi gadis itu berbohong, Karna jika mengatakan obatnya tinggal sekali makan saja maka bibi Sumi akan membelikannya untuknya
Dia jelas tidak ingin merepotkan wanita tua itu, Obatnya sangat mahal sedangkan bibi Sumi harus mengirim uang untuk ibunya di kampung yang juga sedang sakit.
"Tapi non"
"Bibi, Bisa aku istirahat? Aku cukup lelah bibi"
Potong gadis itu cepat.
Meski tidak rela namun pada akhirnya bibi Sumi menganggukkan kepalanya.
"Baiklah, Panggil bibi jika nona butuh sesuatu"
Sahut wanita tua itu yang di angguki oleh Vanesa.
Secara perlahan bibi Sumi berlalu dari sana, Menutup pintu kamar Vanesa secara perlahan.
Dan kini lelehan bening itu tumpah dari pelupuk matanya, Dia menggenggam perutnya yang terasa sakit.
Lantas gadis itu meraih tas miliknya yang tidak jauh dari posisinya, Membuka kantong kresek berwarna hitam dimana berisi beberapa obat di dalam.
Habis?
Tubuh gadis itu gemetar, Dia tidak sekuat dulu saat ayahnya hidup, Sebab ginjalnya kini hanya 1 untuk bertahan hidup, Di tambah beberapa bulan belakangan ini tubuhnya terasa tidak baik baik saja.
Vanesa memejamkan matanya beberapa waktu, Lantas meraih ponselnya dan mengetik di atas benda pipih tersebut.
"Obat sakit perut yang murah di apotek"
"Berapa harga obat sakit perut di apotek"
"Berapa lama hidup seseorang yang memiliki ginjal 1"
Dan lagi lagi air mata itu jatuh dengan derasnya.
Harga dalam satu obatnya sangat mahal, Sedangkan dia tidak memiliki uang sebanyak itu untuk membelinya sesering mungkin.
Dia hanya mendapatkan uang dari hasil baju rajut yang dia buat dan di titipkan di salah satu penjual yang merupakan teman bibi Sumi di pasar.
Dan dia belum mendapatkan uangnya saat ini, Dia pikir mungkin baju miliknya belum laku hari ini.
Vanesa mengigit bibir bawahnya, Sepertinya dia harus tidur malam ini dengan rasa sakitnya, Sebab dia tidak memiliki uang untuk membeli obatnya.
Secara perlahan gadis itu mulai merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.
"Tuhan aku ingin bahagia"
Pintanya dengan lirih dengan air matanya yang kembali membasahi bantalnya.
****************
Di salah satu club yang ada di jakarta
Suara dentuman musik yang begitu keras terdengar begitu memekakkan telinganya. Beberapa orang terlihat menggerakkan badannya mengikuti irama musik yang ada di sana.
"Brengsekkkkk"
Seorang pria yang ada di sana tampak melempar jas miliknya.
"Yoyoyo kau terlalu sering marah kawan, Bagaimana jika kau cepat tua karna itu"
Salah satu temannya terlihat menggoda ke arahnya
"Kau memukulnya lagi, Arldan"
Temannya yang lain juga membuka mulutnya, Menatap pria tampan itu yang terlihat melonggarkan dasinya.
"Cihh, Itu tidak setara dengan perbuatan ayahnya yang membunuh Liona, Rian"
Sarkasnya yang membuat Rian terdiam.
"Bagaimana jika saat kau memukulnya dan dia meninggal Arldan, Kau bisa menjadi tersangka pembunuhan kepada istrimu sendiri"
Deon tampak terkekeh mengatakannya,, Lantas tangannya meraih sebuah gelas yang berisi alkohol dan mulai menegaknya secara perlahan.
"Kau tidak ingin mencobanya?"
Lanjutnya yang menawarkan minumannya ke arah Arldan.
"Dia harus hidup sehat demi menghargai ginjal orang lain yang di berikan untuknya"
Itu adalah suara Rian.
Arldan tidak menimpalinya, Pria itu hanya menghela nafasnya kasar.
"Jangan terlalu keras padanya Arldan, Yang dikatakan Deon benar, Kau bisa saja membunuhnya"
Sahut Rian yang kembali membuka mulutnya, Menatap Arldan di sampingnya dengan serius.
"Itu bukan kesalahannya, Dia tidak pantas menerima penderitaan sebesar itu darimu"
Lagi Rian yang kini meraih gelas minuman di hadapannya.
"Heh aku tidak yakin jika kalian yang berada di posisiku kalian tidak akan melakukan hal yang sama dengan apa yang aku lakukan saat ini"
Ucapnya yang membuat kedua temannya terdiam. Meski yang dilakukan Arldan adalah salah, Namun mereka juga tau betul bagaimana penderitaan pria itu setelah kematian adiknya.
Hingga pada akhirnya mereka bertiga memilih bungkam dengan pikiran mereka masing masing.