Viola yang punya sebuah butik baju cukup besar dan ternama, harus menikah dengan Arga Bagaskara. pemuda berusia 18 tahun yang masih duduk di bangku SMA kelas akhir itu.
Viola mengabaikan kehadiran sang suami, karena berpikir Arga masih bocah dah belum dewasa.
bagaimana kisah selanjutnya, ikuti terus ya kisah mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chustnoel chofa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 15
Jarum jam masih menunjuk angka lima pagi ketika Viola sudah sibuk di dapur mungil mereka. Suasana rumah masih senyap, hanya suara ketikan sendok beradu dengan gelas dan desis roti dalam pemanggang yang memecah keheningan.
Hari ini dia sedang halangan, jadi tak melaksanakan dua rakaat salat Subuh seperti biasanya. Tapi karena sudah terlanjur terbangun dan sulit kembali tidur, dia memutuskan untuk mengisi waktu dengan sesuatu yang sederhana: memasak.
Bukan hal yang sering ia lakukan, mengingat keahlian memasaknya masih sebatas pemula. Tapi pagi ini, entah kenapa, ada dorongan dalam dirinya untuk menyiapkan sarapan. Tak perlu repot-repot, hanya beberapa tangkup roti panggang isi telur dan keju, segelas susu hangat, serta kopi hitam untuk Arga.
Setelah setengah jam, semuanya sudah tertata rapi di meja makan. Wangi keju yang meleleh dan roti yang dipanggang sempurna memenuhi ruang makan yang masih remang.
Viola baru saja mengeringkan tangannya dan bersiap naik ke lantai dua untuk membangunkan Arga, ketika suara langkah kaki malas terdengar dari arah tangga. Ia menoleh.
Arga muncul dengan tampang setengah sadar. Rambutnya berantakan seperti sarang burung, wajahnya masih dibalut kantuk, dan matanya hanya setengah terbuka. Ia hanya mengenakan celana pendek dan kaus singlet tipis, memperlihatkan bahunya yang lebar.
Tanpa menyapa, laki-laki itu langsung menuju meja makan. Ia memandang hidangan di meja dengan ekspresi bingung, lalu melirik Viola yang berdiri di ambang dapur.
“Enggak ada nasi?” tanyanya polos, suaranya serak khas orang baru bangun tidur.
Viola mengangkat alis, lalu menghela napas pendek. “Pagi juga, Arga,” ucapnya setengah mencibir. “Kamu pikir ini warteg?”
Arga nyengir, duduk sembarangan di kursi lalu meraih cangkir kopi. “Namanya juga sarapan. Laki-laki itu enggak kenyang kalau enggak ketemu nasi.”
Viola menatapnya dengan tatapan geli campur pasrah. “Ya, anggap aja ini program diet mendadak.”
Arga menyeruput kopinya pelan, lalu mengambil sepotong roti. Meskipun ekspresinya masih tak percaya, dia tetap menggigit roti itu.
Viola diam-diam memperhatikan wajahnya. Ia menunggu reaksi Arga—mungkin komentar soal rasa, atau ekspresi jijik.
Namun Arga hanya mengangguk pelan. “Not bad,” gumamnya.
Viola mengangkat satu alis, tersenyum kecil. “Aku anggap itu pujian.”
Arga menyeringai. “Tapi besok tetap nasi, ya?”
Viola mendesah. “Kita lihat besok aku bangun jam berapa.”
Dan pagi itu pun dimulai dengan obrolan ringan dan sarapan sederhana yang, tanpa mereka sadari, menghangatkan hati lebih dari kopi yang ada di meja.
Arga mengunyah pelan roti panggang di tangannya, tapi pandangannya tak lepas dari sosok wanita yang berdiri di seberangnya. Viola. Dengan apron sederhana yang melingkar di pinggang, rambutnya diikat asal, dan wajah tanpa riasan, namun entah kenapa tetap terlihat menawan di matanya. Bahkan justru seperti itu, pesona Viola terasa lebih nyata.
Tatapan itu berlangsung lama. Terlalu lama, hingga Viola merasa risih.
“Astaga, Arga... jangan menatap aku seperti itu,” gerutunya, nada suaranya ketus. Ia melipat tangan di dada dan mengernyit, mencoba menutupi kegugupannya.
Arga terkekeh pelan, suaranya renyah seperti pagi yang mulai menghangat. “Memangnya kenapa? Bukannya dilarang menatap wanita yang bukan muhrim. Tapi kamu ini... istri sahku, Viola. Mana ada hukum yang larang aku menikmati pemandangan indah di pagi hari.”
Viola melotot kecil. “Pemandangan indah apanya?” sergahnya tak terima, meski pipinya sedikit memerah. “Kalau kamu terus kayak gini, aku balik ke kamar. Sumpah, aku enggak becanda, Arga.”
Mendengar nada serius itu, Arga buru-buru mengangkat tangan setengah, seperti anak sekolah yang tertangkap basah. “Oke, oke! Aku berhenti. Maaf, ya.”
Viola mengerling tajam, tapi belum melangkah pergi.
Arga menghela napas, lalu suaranya melunak. “Dan... aku juga minta maaf soal tadi malam.”
Viola menatapnya tanpa ekspresi.
“Aku tahu aku salah. Harusnya aku bilang dulu kalau mau keluar sama teman, apalagi kalau itu... perempuan,” lanjut Arga pelan. “Mulai sekarang, aku janji. Enggak akan keluar sama siapa pun tanpa bilang kamu dulu. Apalagi cewek. Aku serius, Vi.”
Viola tak menjawab. Ia hanya mengedikkan bahu ringan, mencoba menunjukkan sikap masa bodoh. “Terserah kamu aja,” ucapnya datar.
Namun saat membalikkan badan, ada senyum kecil yang muncul di sudut bibirnya. Tak kentara. Tapi cukup menunjukkan kalau hatinya—meski enggan mengakui—sedikit bernyanyi oleh kalimat maaf dan janji dari lelaki itu.
**
**
**
Jarum jam menunjuk tepat pukul tujuh pagi saat Arga melangkah keluar dari kamar dengan seragam lengkap. Seragam abu-abu yang mulai terasa sempit di tubuhnya, tak hanya karena ukuran yang sudah sempit, tapi juga karena beban tanggung jawab yang kian berat. Di usianya yang nyaris lulus, Arga mulai jenuh dengan rutinitas sekolah, namun ia tahu, hanya tinggal menghitung bulan. Ia harus sabar sedikit lagi.
Viola pun telah siap. Ia berdiri di depan cermin ruang tamu, merapikan helaian terakhir rambutnya. Rok mini warna krem dan blazer senada membungkus tubuh semampainya dengan pas. Riasan tipis mempertegas kecantikannya, tanpa perlu usaha berlebih. Ia tampak seperti wanita karier muda yang percaya diri dan mandiri—karena memang begitulah Viola adanya.
Arga menatapnya dari ambang pintu, matanya sedikit menyipit. “Mau aku antar ke butik?”
Viola berbalik, alisnya naik satu. “Enggak usah. Aku bisa sendiri.”
Arga menghela napas pelan. “Viola, aku enggak tega lihat kamu nyetir sendiri tiap pagi. Kamu tuh—”
“Aku bukan anak kecil. ” potong Viola, menyandangkan tas tangan ke bahunya. “Sudah biasa juga bawa mobil sendiri. Lagian, kamu harus ke sekolah, kan?”
Arga tersenyum kecil, mengakui kekalahannya. “Iya sih, tapi tetap aja... rasanya enggak enak.”
Viola hanya mencebik, lalu melangkah ke arah pintu. “Aku pergi dulu.”
Baru sempat membuka pintu, suara Arga memanggil. “Vi, belum salim.”
Viola berhenti, lalu menoleh dengan helaan napas malas. “Duh, Arga...” gumamnya pelan, tapi tetap berbalik. Dengan ekspresi enggan, ia maju satu langkah, lalu mengecup punggung tangan Arga sekilas. Ringan, cepat, tanpa perasaan.
Namun justru karena itu, Arga hanya tersenyum geli. Ia tahu betul, Viola sering pura-pura dingin padahal hatinya mudah luluh.
“Ini buat kamu,” ucap Arga tiba-tiba sambil menyelipkan beberapa lembar uang seratus ribuan ke tangan Viola.
Viola terbelalak. “Ini apaan?” tanyanya heran.
“Buat jajan,” jawab Arga santai.
“Jajan?” Viola menatapnya seakan Arga baru saja bicara dalam bahasa alien. “Aku yang punya penghasilan, kamu yang kasih uang jajan?”
Arga menyeringai. “Kan suami yang baik itu harus tahu caranya memanjakan istri. Lagi pula, kamu cantik hari ini. Kayaknya butuh bonus.”
Viola memelototinya sekilas, tapi tak mengembalikan uang itu. Malah menyimpannya dalam dompet dengan gerakan cepat, seolah takut berubah pikiran.
“Jaga dirimu baik-baik, ya,” ucap Arga, lebih lembut kali ini.
Viola tidak menjawab. Tapi sebelum keluar rumah, ia sempat tersenyum tipis tanpa menoleh. Dan itu cukup bagi Arga—senyum kecil yang langka, namun menghangatkan seperti matahari yang baru terbit.
Bersambung.
ga itu karena kamu masih sekolah sedangkan istri lo dah mempan jadi kaya ada jembatan
coba kamu biarpun dah sekolah ada bisnis sukses lulus sekolah ga ada tuh jembatan" ,
jadi dhani Thor yg bikin Vi trauma
aihhh cembukur ini mah tapi gengsi mengakui
tapi yg di bilang betul jg sama aja selingkuh kah dah nikah
adakah sesuatu
aihhh penasaran