Di sebuah sekolah yang lebih mirip medan pertarungan daripada tempat belajar, Nana Aoi—putri dari seorang ketua Yakuza—harus menghadapi kenyataan pahit. Cintanya kepada Yuki Kaze, seorang pria yang telah mengisi hatinya, berubah menjadi rasa sakit saat ingatan Yuki menghilang.
Demi mempertahankan Yuki di sisinya, Ayaka Ito, seorang gadis yang juga mencintainya, mengambil kesempatan atas amnesia Yuki. Ayaka bukan hanya sekadar rival cinta bagi Nana, tapi juga seseorang yang mendapat tugas dari ayah Nana sendiri untuk melindunginya. Dengan posisi yang sulit, Ayaka menikmati setiap momen bersama Yuki, sementara Nana harus menanggung luka di hatinya.
Di sisi lain, Yuna dan Yui tetap setia menemani Nana, memberikan dukungan di tengah keterpurukannya. Namun, keadaan semakin memburuk ketika Nana harus menghadapi duel brutal melawan Kexin Yue, pemimpin kelas dua. Kekalahan Nana dari Kexin membuatnya terluka parah, dan ia pun harus dirawat di rumah sakit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyu Ibadurahman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24.
...Ayaka Ito...
Saat Yuki dan Ayaka berjalan keluar dari kontrakan, suara langkah kaki mereka menggema di lorong yang sunyi.
Yuna, yang masih duduk di dalam kontrakan, merasakan firasat tidak enak. Dengan cepat, ia bangkit dan mengintip dari jendela. Matanya membelalak saat melihat Ayaka dan Yuki berjalan menjauh, membawa koper besar.
"Sial, Si jablay Ayaka itu benar-benar wanita iblis," gumam Yuna dengan marah, mengepalkan tangannya. Namun amarahnya seketika menghilang saat mendengar suara pelan dari belakangnya.
"Yuki,,,"
Hanya satu kata itu yang keluar dari mulut Nana saat ia mulai sadar. Suaranya lemah, seolah ia baru saja kehilangan sesuatu yang sangat berharga.
Yuna segera berbalik, mengambil segelas air dan mendekati Nana. "Minum dulu," katanya, menyodorkan gelas ke tangan Nana.
Nana menerima gelas itu dan meminumnya perlahan. Namun, matanya masih kosong, pikirannya masih tertuju pada Yuki. "Aku harus bertemu dengannya." ucap Nana lirih sambil bangun.
Yuna segera menahan bahunya. "Nana." suara Yuna lebih tegas kali ini. "Yuki udah pergi. Dibawa Ayaka."
Nana terdiam, matanya menunduk.
"Gua mohon, tolong kendalikan diri lu," lanjut Yuna. "Gua nggak mau lihat lu kayak tadi lagi."
Nana mengepalkan tangannya, merasakan dentuman emosi di dalam dirinya. "Yuna." suara Nana terdengar berat. "Gua bener-bener nggak bisa nahan kalau sedang marah, bahkan tubuh gua seakan gerak sendiri."
Yuna tertegun. Kata-kata itu membuatnya teringat pada satu kejadian, saat Nana menghajar Yuki habis-habisan dulu. Saat itu, Yuna tidak melihat sosok Nana yang ia kenal. Yang ia lihat hanyalah iblis yang mengamuk.
Yuna menggigit bibirnya, mencoba menahan ketakutannya sendiri. "Karena itu,,," lanjut Yuna, suaranya sedikit bergetar. "Kalau lu ketemu Yuki lagi bareng Ayaka, gua mohon, jangan emosi. Gua takut lihat lu kayak tadi. Lu sadar nggak? Kalau lu marah seperti itu lagi, lu bisa bahaya buat Yuki sendiri."
Nana mengangkat wajahnya, matanya mulai berkaca-kaca.
"Apa lu nggak nyesel setelah apa yang lu perbuat?" lanjut Yuna.
Air mata Nana akhirnya jatuh. Ia tidak bisa membantah apa yang Yuna katakan. "Maaf." bisiknya. Nana tiba-tiba memeluk Yuna erat, seakan mencoba menenangkan dirinya sendiri di dalam dekapan sahabatnya. "Maaf." ulangnya lagi, suaranya lebih lemah. "Gua janji nggak akan kayak gitu lagi."
Yuna menghela napas panjang, lalu melepas pelukan Nana dan menatap matanya. "Gua pegang janji lu."
**
Di sebuah apartemen mewah di Tokyo, Yuki duduk di sofa dengan tatapan kosong. Ia seharusnya merasa tenang sekarang, jauh dari Nana dan Yuna, berada di tempat yang nyaman bersama Ayaka. Tapi entah kenapa, pikirannya terus tertuju pada sosok Nana.
Ia tidak bisa melupakan bagaimana mata Nana menatapnya tadi, mata yang penuh dengan emosi yang ia tidak pahami.
Ayaka, yang memperhatikan perubahan ekspresi Yuki, perlahan mendekatinya. "Sayang," panggilnya dengan nada lembut. "Apa yang kamu pikirkan?"
Yuki tersentak dari lamunannya dan segera tersenyum. "Nggak ada kok."
Ayaka memiringkan kepalanya, menatap Yuki dalam.
"Jangan bilang, kamu menyukai Nana?" tanyanya dengan nada manis, tapi penuh jebakan.
Yuki mengernyit, lalu tertawa kecil. "Mana mungkin aku suka sama orang kasar seperti itu."
Jawaban itu seharusnya memuaskan Ayaka, tapi ekspresi Yuki yang sedikit ragu membuatnya tidak sepenuhnya yakin.
Dengan gerakan lembut, Ayaka mendekatkan wajahnya, bibirnya hampir menyentuh Yuki. Namun Yuki dengan cepat menjauh.
Ayaka terkejut, tapi tetap tersenyum. "Kenapa?"
Yuki menggaruk kepalanya. "Aku, Aku hanya takut kebablasan."
Ayaka menghela napas kecil lalu tersenyum, mengulurkan tangannya dan mengusap pipi Yuki dengan lembut. "Kita sudah pernah melakukannya," bisiknya.
Yuki terdiam, menatap Ayaka dengan ekspresi bingung. "Serius?" tanyanya.
Ayaka mengangguk pelan. "Baru sekali. Dan itu pertama kali bagiku."
Yuki mengalihkan pandangannya, mencoba mengingat sesuatu, tapi kepalanya terasa kosong. Ia merasa Ayaka tidak berbohong.
Karena memang mereka pernah melakukannya. Tapi yang Ayaka tidak ceritakan yang sebenarnya. Saat itu mereka melakukannya bukan karena mereka saling mencintai. Tapi karena Nana kalah taruhan, dan sebagai hukumannya, ia menyerahkan Yuki kepada Ayaka untuk satu malam.
Yuki tidak ingat. Dan Ayaka tidak akan membiarkan dia mengingat. Tanpa berkata-kata lagi, Yuki akhirnya mendekat, membiarkan dirinya larut dalam kehangatan bersama Ayaka siang itu. Ayaka tersenyum puas.