Sebuah rumah besar nan megah berdiri kokoh di tengah pedesaan yang jauh dari perkotaan. Rumah yang terlihat megah itu sebenarnya menyimpan banyak misteri. Rumah yang dikira biasa, nyatanya malah dihuni oleh ribuan makhluk halus.
Tidak ada yang tahu tentang misteri rumah megah itu, hingga satu keluarga pindah ke rumah tersebut. Lalu, mampukah mereka keluar dengan selamat dari rumah tempat Iblis bersemayam itu? Ikuti perjalanan mistis Bachtiar Purnomo bersama keluarganya!k
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rijal Nisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 3
Sisi berjalan mengitari kebun teh, dia berniat mencari Rendra. Biasanya Rendra pagi-pagi begini pasti ada di kebun sama neneknya, yang tak lain adalah bi Iren.
"Satu keluarga ini membuat aku merasa curiga, sebenarnya apa yang disembunyikan dari kami sama bi Iren dan ki Seto?" pikir Sisi.
"Non Sisi, Non ngapain di sisi?" tanya bi Iren yang kebetulan lewat di sekitar tempat Sisi berada.
Sisi bangun dari duduknya, dia menepiskan abu yang melekat di bagian belakang bajunya. Bi Iren ikut membantu sambil sesekali memperhatikan keadaan sekeliling, tatapannya menimbulkan kecurigaan di hati Sisi.
"Sudah bersih, Non. Ngapain Non di sini?" tanya bi Iren lagi.
"Bi, Sisi mau nanyain sesuatu sama Bibi."
Wajah bi Iren langsung berubah tegang, padahal Sisi belum menanyakan apa-apa.
"Bi, kok jadi tegang gitu?"
"Enggak kok, emang Non mau nanya apa?"
"Tolong Bibi jawab yang jujur pertanyaan aku ini, ada apa sama rumah kakek?"
Deg...
Wajah bi Iren semakin terlihat tegang dan matanya membulat sempurna.
"Bi, Bibi kenapa?"
"Non, apa ada hal yang aneh di sana?"
"Bi, tolong jangan tanya balik ke aku. Bibi pasti sudah tahu hal ini kan? Bibi sama ki Seto adalah orang yang menjaga rumah kakek selama ini, mana mungkin kalian tidak tahu," ucap Sisi mulai geram.
"Bibi enggak tahu, memang ada apa, Non?"
"Kami semua diganggu, semalam aku juga diganggu. Aku terus mimpiin hal-hal buruk, aku yakin Bibi tahu tentang rahasia di rumah kakek, tolong kasih tahu Sisi, Bi." Sisi menggoyang-goyangkan bahu bi Iren, wanita itu terpaku cukup lama hingga panggilan keras Sisi menyadarkannya lagi.
"Bibi!"
"Eh iya, Non, bibi enggak tahu soal itu. Selama ini rumah pak Purnomo baik-baik aja, selama bibi di sana juga tidak ada hal-hal aneh yang terjadi," terang bi Iren, wanita tua itu mencari ribuan alasan untuk menghindari mengatakan sesuatu yang begitu besar pada Sisi.
"Tapi, Bi..."
"Ssttt, jangan bahas ini lagi ya, bibi enggak mau Non Sisi kenapa-kenapa." Bi Iren berlalu pergi dengan tergesa-gesa dari sana.
"Ih, kok bibi langsung pergi sih?" Sisi nampak sanagat kecewa dengan sikap bi Iren, dia melampiaskan kekesalannya dengan mencabut pucuk teh di dekatnya dan membuangnya asal.
Dari kejauhan terlihat Rendra sedang berjalan mendekati Sisi, dia menenteng sebuah rantang di tangannya. "Non Sisi," panggil Rendra.
Sisi langsung berpaling arah, dan terlihatlah Rendra yang kini sudah berada di belakangnya.
"Rendra?"
"Jangan pergi sendiri, nanti Non terluka," ucapan Rendra tambah membuat Sisi bingung.
"Terluka? Maksudnya?"
"Non Sisi, ayo makan!" Rendra duduk, ia mulai membuka rantang yang tadi dibawanya.
"Tunggu dulu! Kamu enggak bisa bicara setengah-setengah gini sama aku, apa maksudnya terluka? Kenapa aku bisa terluka?"
"Di sini banyak yang jahat," ucap Rendra. Dia tidak menatap Sisi sama sekali, ki Seto pernah bilang kalau Rendra sedikit berbeda dengan anak yang lain.
"Ren, semalam kamu ke rumah aku kan?" Kini Sisi mulai mengganti topik pembicaraan.
"Tidak!" tegas Rendra menggeleng.
"Serius? Kamu enggak bohong, bohong dosa loh," ucap Sisi.
"Aku di rumah," jawabnya lagi.
"Rendra, aku itu sudah anggap kamu seperti saudara aku sendiri. Tentunya kamu tidak ingin terjadi apa-apa sama aku kan?" Sisi memutar tubuh Rendra, mereka kini saling bertatapan. Rendra, lelaki yang sebenarnya cukup tampan itu menatap Sisi begitu lekat. Baru kali ini dia bicara akrab dengan orang luar, dan baru kali ini dia dianggap sebagai orang normal. Selama ini warga di desa itu menganggapnya sebagai anak yang memiliki gangguan mental.
Mendengar omongan Sisi, membuat Rendra sadar, Sisi sangat baik padanya. Tidak mungkin dia membuat Sisi terluka, tapi... Kejadian beberapa tahun yang lalu tidak mungkin juga dia ceritakan sama Sisi untuk saat ini.
Di sisi lain, setelah obrolan singkatnya dengan Sisi berakhir, bi Iren berjalan tergopoh-gopoh menuju rumahnya. Langkah kakinya begitu terburu, beliau bahkan tidak sempat membalas sapaan para pekerja di kebun pak Bachtiar.
"Pak, Bapak!" seru bi Iren memanggil.
Ki Seto acuh tak acuh dengan panggilan istrinya, lelaki tua itu duduk santai di atas dipan bambu yang ada di depan rumahnya sambil menikmati secangkir kopi hitam.
"Pak, gawat ini, Pak." Bi Iren dengan nafas tersengal-sengal menghampiri suaminya.
"Ibu kenapa?" tanya ki Seto sambil meletakkan kembali cangkir di sebelahnya.
"Sepertinya mereka mulai muncul satu per satu," ucap bi Iren.
"Muncul, siapa yang muncul?"
"Makhluk itu, Pak. Makhluk itu mulai mengganggu keluarga pak Bachtiar!"
"Cukup, Bu! Jangan bahas masalah itu di sini!" tegur ki Seto tegas. Lelaki itu turun dari dipan, memakai sandalnya, dan kemudian masuk dengan cepat ke dalam rumah. Bi Iren setengah berlari mengejar suaminya.
"Pak, jangan begini dong, Pak. Kita harus ngomongin masalah ini," ucap bi Iren sambil menutup pintu.
Ki Seto merebahkan tubuhnya di atas kasur, bi Iren ikut masuk dalam kamar untuk membicarakan hal penting tersebut.
"Aku tidak ingin mendengar apa pun soal keluarga mereka, Bu. Cukup sudah Santi menjadi korban dari kejahatan Purnomo, aku tidak ingin hal itu terulang lagi," lirih ki Seto. Raut wajahnya yang sehari-hari terlihat dingin, keras, dan tegas, kini berubah sedih. Kehilangan anak perempuan satu-satunya membuat karakter ki Seto yang ramah dan lembut lembut berubah menjadi dingin. Beliau tidak akan peduli dengan keselamatan keluarga Bachtiar lagi. Cukup sudah penderitaan yang dilaluinya selama ini bersama sang istri dan juga cucunya, Rendra.
"Pak, kita sudah kehilangan Santi. Kita tahu bagaimana kehilangan orang yang sangat kita sayangi. Bagaimana kalau kemunculan Iblis itu adalah untuk mengambil jiwa salah satu dari keturunan Purnomo?"
"Peduli apa aku, Bu? Itu urusan mereka bukan urusan kita, dan ingat ya! Kamu jangan sekali-kali membantu atau pun mengatakan hal ini sama Bachtiar, biar dia sendiri yang menyelesaikan urusan keluarganya. Tugas kita sudah selesai, Bu. Tugas kita hanya menjaga kediaman itu sampai ahli warisnya datang," ucap ki Seto, beliau memejamkan matanya. Tidak ingin membicarakan lagi tentang keluarga Purnomo.
"Tapi, Pak... Bachtiar tidak tahu kalau bapaknya dan ibunya itu pernah melakukan perjanjian dengan Iblis-Iblis---"
Prang...
Prang...
Mendengar keributan di dapur, bi Iren menjeda ucapannya. Sedangkan ki Seto kembali membuka matanya dan duduk di tepi ranjang dengan nafas memburu.
"Ini semua salah kamu, Bu. Sudah aku bilang untuk tidak mengungkit masalah itu di sini," ucap ki Seto.
"Pak, kenapa aku juga ngerasa aneh sama rumah kita sendiri? Kenapa Bapak melarang aku untuk membicarakan masalah ini? Dan kenapa setiap kali aku mengungkit masalah belasan tahun yang lalu, selalu aja ada keributan di sini. Suara-suara itu seolah menyuruh aku untuk berhenti bicara, berhenti---" kembali bi Iren menggantungkan ucapannya, melihat perubahan wajah suaminya membuat beliau merasa bahwa, ki Seto juga menyimpan rahasia sendiri.
"Kenapa tidak kau lanjutkan lagi?" tanya ki Seto begitu bi Iren diam.
"Apa mereka juga di sini?"
"Mereka? Mereka siapa? Jangan berpikir yang bukan-bukan, Bu. Yang pasti kamu tidak boleh mengatakan tentang Purnomo dan Bachtiar di sini, cukup untuk hari ini!" Ki Seto merebahkan lagi tubuhnya di atas kasur. Bi Iren memilih ke dapur, beliau ingin melihat kali ini benda apa lagi yang hancur.
Sesampainya di dapur, hal yang tak pernah terpikirkan terjadi hari ini.
Darah dan jejak kaki mengotori lantai rumah mereka yang terbuat dari semen itu.
"Darah... Pak, Bapak cepat ke sini!" seru bi Iren.
Darah siapa itu, dan kenapa siang-siang begini mereka diganggu?