Lelaki yang sangat ingin kuhindari justru menjadi suamiku?
•••
Kematian Devano dan pernikahan kedua sang Papa, membuat kehidupan Diandra Gautama Putri berubah. Penderitaannya bertambah ketika tiba-tiba menikah dengan laki-laki yang membencinya. Kaiser Blue Maverick.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tiatricky, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 9
"Siapa cowok itu? Lo kenal Ndar?." Fida bertanya sambil menoleh sekilas pada Kenzie.
"Dia mah Mackenzie Derick salah satu anggota geng HORIZON. Dia tertutup banget sih menurut gue. Jarang tawuran, jarang minum sama yang lebih utama.." Indar sengaja menjeda ucapannya.
"Cepetan kasih tahu gue. " Liora tidak sabaran lagi.
Indar tersenyum simpul. "Dia calon suami gue di masa depan. Gantengnya dua belas sama aktor Cina. "
Plak
Liora menampar lengan Indar gemas. "Calon suami kepala Lo kosong, Ndar. Seriusan anjir. "
Fida tertawa kecil melihat kekesalan Liora. Dia lalu menatap sekilas pada Kenzie. Namun dia melotot melihatnya. "Anjing!."
"Jangan bicara kotor!." Sentak pak guru marah.
Fida memukul mulutnya sendiri. "Maaf, pak. Saya tidak sengaja melihat pemandangan yang menjijikan di sini. Masa Diandra mau ciuman sama Kenzie. "
Seketika yang lain bersorak-sorai heboh.
"Berani banget sih!."
"Rahimku anget mas. Mending aku aja. "
"Jangan mau Ken! Dari pada sama cewek jelek itu, mending gue aja. "
"Malu-maluin kita aja. "
"Huuuuu."
"Diem!." Kenzie menatap tajam sekitarnya.
Seketika suasana menjadi tenang kembali.
Diandra merasa tidak nyaman duduk di samping Kenzie. Namun gadis itu tidak berani melawan. Aduh, gimana aku bisa fokus? Ini terlalu dekat.
"Kenapa Lo diem?." Kenzie memperhatikan sampingnya dengan intens.
Kiara yang melihat itu seketika mengepalkan tangannya. Kenapa sih gue? Bukannya seneng beda meja sama cewek itu.
"Lo bisa diem aja nggak sih? Untung gue baik kasih Lo tempat duduk. " Sentak cewek di samping Kiara.
Kiara tidak menyahut. Dia mengepalkan tangannya kuat. Sumpah. Gue gak tahu kenapa sekarang kek gini.
"Sudah ada yang selesai?." Pak guru bertanya.
Diandra berdiri dan menyerahkan tugasnya. Dia yang pertama maju ke depan. "Saya sudah selesai tugas hari ini dan kemarin. "
Pak guru mengangguk kepala dan tersenyum. "Kamu selalu hebat di dalam kelas ini. Saya harap kalian belajar lebih giat lagi seperti Diandra. " Pak guru berujar pada para muridnya.
Seketika yang lain tertawa mendengarnya. Entah apa yang lucu.
"Belajar membunuh maksudnya pak?." Ralat Indar.
Pak guru memicingkan matanya. "Maksud kamu apa ngomong seperti itu hah? Jaga ucapanmu. Siapa yang membunuh orang. Katakan. "
Kenzie melihat Diandra gelisah. Laki-laki itu menghela nafas berat. "Kalau Lo gak salah, gak usah dipikirin. "
Diandra menoleh lalu menggelengkan kepalanya. Meremas roknya. "A aku tidak memikirkannya. Ta tapi aku kepikiran terus-terusan. Sungguh aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Aku berharap pelaku secepatnya ketahuan. "
Kenzie menyandarkan punggungnya ke kursi. Menatap langit-langit ruang kelas dalam diam.
"Devano kenal nggak pak?." Fida bertanya dan mendapatkan anggukan kepala dari pak guru.
"Nah, itu dia masalahnya. Idola kesayangan kita tiba-tiba meninggal dunia ketika hendak menyebrang jalan raya. Dan kebetulan sekali jalan itu memang lumayan sepi. Hanya ada satu orang di sana." Fida menjelaskan.
Beberapa murid langsung melirik kearah Diandra yang langsung menundukkan kepalanya takut.
Kenzie memperhatikan raut wajah Fida dan Indar.
"Siapa?." Pak guru bertanya. Dia tidak memperhatikan murid yang lain.
Indar menarik nafas dalam-dalam kemudian mengeluarkan perlahan. Dia tersenyum tipis. "Diandra Gautama Putri. Hanya ada cewek sialan itu di sana. Cewek itu juga pegang pisau di tangannya. "
"Tidak. Aku tidak menusuknya. Aku hanya ingin melepaskannya. Kamu salah menilai ku. " Diandra berucap dengan suara parau. Terdengar menyakitkan.
"Ck! Masih nggak mau ngaku lagi!." Decak seorang laki-laki dengan ekspresi kesal.
"Pembunuh mana mungkin ngaku. " Fida menambahkan dengan tatapan permusuhan mengarah pada Diandra.
"Emang Lo pada lihat kejadian awal mulanya?." Kenzie mengepalkan tangannya di bawah meja.
"A aku melihatnya melawan seseorang serba hitam. Dan dan dia bilang 'egois' begitu. " Diandra menjelaskan apa yang diketahuinya.
Bug
Grap
"Tangan Lo gue patahin mau?." Kenzie mencekal tangan disertai tatapan tajam pada seorang gadis yang baru saja memukul kepala Diandra.
"Lepasin gue! Temen Lo dibunuh sama cewek ini. Biarin gue hajar mukanya sampe rusak!." Sentak cewek itu garang.
"Ken, gila Lo belain cewek yang jelas-jelas salah. Biarin aja mereka bully cewek itu. " Kiara mendengus dingin.
Kenzie tidak menyahut. Namun dari raut wajahnya, mereka tahu laki-laki itu menahan diri untuk tidak marah.
"Kenzie! Bangsat!." Gadis itu meringis kesakitan ketika tangannya diputar hingga tulangnya berbunyi.
"Rasain!." Kenzie mendengus dingin.
Brak
"Jaga sikapmu di sini! Cepat pergi kamu. Tulangnya mungkin patah!." Pak guru menatap Kenzie lalu beralih pada seorang cewek.
Cewek itu menangis tersedu-sedu. "Hiks, sakit. "
"Ayo temenin gue ke dokter. Awas Lo ya!." Temannya menatap sengit Diandra.
"A aku lagi? Kenapa?." Diandra memegangi kepalanya. Dia masih syok dengan kejadian beberapa saat lalu.
"Jelas Lo anjing!." Suara Indar naik satu oktaf. Gadis itu tersulut emosi dengan tatapan penuh kebencian terhadap Diandra.
Plak
"Jaga ucapan mu Indar!." Sentak pak guru dengan dada naik turun. "Saya tidak pernah mengajarkanmu bicara kotor seperti ini. Jika kamu masih saja tidak menjaga ucapanmu, saya kasih tahu orang tua kamu. "
Indar mengepalkan tangannya kuat. Sialan banget si bangsat! Dasar pria tua! Berani sekali nampar gue.
Kenzie terlihat puas sekarang. Sedangkan Diandra menutup mulutnya tidak percaya.
"Pak, Indar nggak bersalah. Dia tidak sengaja. Tolong jangan seperti ini, pak!." Diandra tidak tega melihat gadis itu.
"Gue gak butuh pembelaan Lo!." Indar pun pergi meninggalkan kelas dengan emosi yang meluap-luap. Menghentakkan kakinya cepat.
Grap
Diandra menoleh. "Kenapa?."
"Ck! Lo ngapain mikirin cewek itu hah? Dia aja nggak mikirin perasaan Lo. " Kenzie berucap dengan kesal.
"Aku tahu itu rasanya menyakitkan. Bagaimana bisa..." Diandra tidak sanggup mengatakan kata selanjutnya.
Kring
"Halaman 40 sampe 41 itu pr buat kalian. Bisa dimengerti semuanya?. " Pak guru berujar dengan tegas dan lugas.
"Mengerti pak!." Menyahut serentak.
•••
Pyarr
"Jalannya pake mata dong!." Sentak Vanesa kesal pada seorang siswi.
Kaiser yang tadinya asyik mengobrol menoleh pada kekasihnya. Dahinya mengernyit heran. "Kamu kenapa sayang?."
Vanesa mendudukkan dirinya di samping Kaiser. Dia menghela nafas kasar. "Gelasnya pecah gara-gara cewek tadi. Aku minta maaf ya. "
Lelakinya menggelengkan kepala. Mengelus rambut panjang Vanesa dengan senyuman merekah di bibirnya. "Tidak apa-apa. Jangan merasa bersalah. Itu semua salah cewek itu. Aku percaya sama kamu. "
Gadis itu mengangguk kepala dengan tersenyum. "Makasih ya. "
"Ini minuman Lo. Sorry, gue gak sengaja nabrak Lo." Seorang siswi berujar sembari membawakan minuman yang baru pada Vanesa.
"Murid baru itu kayaknya. " Alaska bercelatuk.
"Lo kenal?." Elang bertanya dengan penasaran.
Alaska menggelengkan kepalanya. "Nggak juga. Kebetulan aja tadi pagi nggak sengaja tabrakan sama cewek itu. Cakep cuy. "
Yang lain terkekeh geli.
Rival memiringkan kepalanya dengan bola mata bergerak keatas menatap Alaska. "Mau Lo pacarin juga?."
Alaska terdiam beberapa saat kemudian mengangguk kepala. "Pastinya. Tapi kali ini agak beda dari yang lain. "
Rival menegakkan tubuhnya. Melirik Alaska. "Maksud Lo?."
Plak
"Berani Lo ngomongin cewek lain di belakang gue hah? Gue putusin baru mampus Lo. " Chika berujar dengan ketus. Dia baru saja menampar lengan Rival.
Rival pun merangkul pundak kekasihnya. Dia menggelengkan kepala. "Nggak, sayang. Aku lagi ngomongin Kenzie dari tadi nggak ada di kelas. "
Yang lain seketika tersadar. Lalu mengangguk kepala. Dan Rival bernafas lega.
"Tumben bro cowok cuek itu nggak masuk kelas." Alaska bertanya-tanya.
Rival seketika melongo dan mengerjapkan matanya beberapa kali. Mengusap-usap lehernya. "Lah iya juga."
"Bareng cewek killer itu. " Kaiser berucap.
Bersambung..