Jika ada yang bertanya apa yang membuatku menyesal dalam menjalankan rumah tangga? maka akan aku jawab, yaitu melakukan poligami atas dasar kemauan dari orang tua yang menginginkan cucu laki-laki. Hingga membuat istri dan anakku perlahan pergi dari kehidupanku. Andai saja aku tidak melakukan poligami, mungkin anak dan istriku masih bersamaku hingga maut memisahkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1 MEMINTA IZIN MENIKAH LAGI
Aku duduk di ruang tamu, menatap punggung Aisyah yang sibuk menuangkan teh ke dalam dua cangkir. Sudah lima belas tahun aku menikah dengannya, dan selama itu pula ia telah menjadi istri yang luar biasa. Aisyah memberiku dua putri yang cantik dan cerdas, melengkapi rumah tangga kami dengan kebahagiaan yang seharusnya cukup.
Namun, bagi orang tuaku, itu belum cukup.
Aku menarik napas dalam, berusaha menenangkan debaran jantungku yang tak beraturan. Ini bukan percakapan yang mudah.
Aisyah duduk di hadapanku, menyodorkan secangkir teh. “Ada yang mau kamu bicarakan?” tanyanya, suaranya tetap lembut seperti biasa.
Aku meremas jemariku sendiri sebelum akhirnya berkata, “Aisyah… Aku ingin menikah lagi.”
Tangannya yang baru saja hendak mengangkat cangkir teh terhenti di udara. Matanya menatapku dalam diam. Aku tak bisa membaca ekspresinya—tidak marah, tidak terkejut. Hanya… kosong.
Beberapa detik berlalu sebelum ia akhirnya berkata, “Kenapa?”
Aku menghela napas, merasa dadaku semakin berat. “Ini permintaan orang tuaku. Mereka ingin aku punya anak laki-laki untuk meneruskan nama keluarga.”
Aisyah tersenyum kecil, senyum yang sama sekali tidak menunjukkan kebahagiaan. “Jadi dua anak perempuan yang sudah kulahirkan belum cukup?”
Aku ingin mengatakan bahwa mereka cukup. Bahwa aku bahagia dengan keluarga kecil kami. Tapi jika itu benar, mengapa aku tetap meminta izin ini?
“Aku tidak ingin menyakitimu, Aisyah,” ucapku lirih. “Aku hanya ingin melakukannya dengan baik, dengan izinku.”
Aisyah menatapku lama, lalu akhirnya mengangguk. “Baiklah.”
Aku mengerjap, tak percaya dengan seberapa mudahnya ia menjawab. “Kamu mengizinkan?”
Ia mengangguk sekali lagi. “Silakan. Tapi dengan satu syarat.”
Aku menelan ludah, siap mendengar apapun. “Apa itu?”
“Jangan pernah mengganggu hidupku lagi.”
Aku terdiam. “Maksudmu?”
“Setelah kamu menikah lagi, aku tak ingin ada urusan lagi denganmu,” katanya tenang. “Aku tetap menjadi ibu bagi anak-anak kita, tapi aku tak ingin lagi menjadi istrimu, baik dalam hati maupun kenyataan.”
Jantungku berdegup kencang. Aku ingin membantah, ingin meyakinkannya bahwa aku tetap mencintainya, bahwa aku tak ingin kehilangan dirinya.
Tapi, bukankah aku yang lebih dulu mengkhianatinya?
Dan saat itu, aku menyadari satu hal. Aku telah mendapatkan izin yang kuinginkan—tapi di saat yang sama, aku juga kehilangan sesuatu yang lebih berharga.
...****************...
Sejak malam itu, Aisyah berubah.
Ia tetap melakukan tugasnya sebagai istri—membuatkan sarapan, mengurus anak-anak, dan menjaga rumah tetap rapi. Tapi ada sesuatu yang hilang. Kehangatan yang biasanya menyelimuti rumah kami perlahan memudar.
Dulu, setiap pagi ia selalu menyambutku dengan senyuman ketika aku berangkat kerja. Sekarang, yang kudapatkan hanya anggukan singkat tanpa tatapan mata. Dulu, ia sering menyeduhkan kopi untukku saat aku pulang. Kini, yang ada hanya meja makan kosong dengan makanan yang sudah dingin.
Dan yang paling menyakitkan, ia tak lagi memanggilku dengan sapaan lembut seperti dulu.
“Aisyah…” Aku mencoba berbicara padanya suatu malam ketika anak-anak sudah tidur.
Ia menoleh, tapi tidak benar-benar melihatku. “Ada apa?”
Aku menatap wajahnya, mencari sisa-sisa kehangatan yang biasa ia berikan. “Kenapa kamu berubah?”
Aisyah tersenyum tipis—bukan senyum bahagia, tapi lebih seperti seseorang yang sudah tidak peduli. “Aku tidak berubah, Reza. Aku hanya menyesuaikan diri.”
“Menyesuaikan diri?” Aku mengernyit.
“Ya.” Ia menghela napas pelan, lalu menatapku dengan mata yang tenang, terlalu tenang hingga terasa menyakitkan. “Bukankah kamu sendiri yang memulainya? Aku hanya mempersiapkan hati agar tidak terlalu sakit nanti.”
Dadaku terasa sesak mendengar jawabannya. Aku baru meminta izin, bahkan belum benar-benar menikah lagi. Tapi baginya, aku sudah menghancurkan sesuatu yang tidak bisa diperbaiki.
Aku ingin mengatakan bahwa aku masih mencintainya. Bahwa pernikahan kedua ini bukan karena aku menginginkannya, melainkan karena tuntutan orang tua. Tapi entah kenapa, aku merasa kata-kata itu tidak akan ada gunanya.
Karena aku sudah kehilangan Aisyah, bahkan sebelum aku benar-benar pergi.
...****************...
Pagi itu, sebelum aku sempat berangkat kerja, suara mobil berhenti di depan rumah. Aku melongok ke luar jendela dan melihat ibuku turun, diantar oleh sopir. Wajahnya terlihat serius, seperti seseorang yang datang untuk memastikan sesuatu.
Aku menarik napas panjang, sudah bisa menebak tujuan kedatangannya.
Saat aku membuka pintu, ibuku langsung masuk tanpa menunggu undangan. “Mana Aisyah?” tanyanya tanpa basa-basi.
Aku melirik ke arah dapur. Aisyah ada di sana, sedang merapikan sarapan anak-anak. Mendengar suara ibu, ia menghentikan gerakannya sejenak, lalu berjalan mendekat dengan tenang.
“Assalamualaikum, Bu,” sapanya sopan.
Ibuku hanya membalas dengan anggukan singkat sebelum langsung ke inti pembicaraan. “Jadi, Aisyah. Aku datang ke sini ingin memastikan satu hal.” Ia melirik ke arahku, lalu kembali menatap Aisyah. “Reza bilang kamu sudah mengizinkan dia menikah lagi. Apa benar begitu?”
Aisyah tidak langsung menjawab. Ia menatap ibuku dengan ekspresi yang sulit kutebak.
“Ya, Bu. Saya sudah mengizinkannya.” Suaranya datar, tanpa emosi.
Ibuku mengangguk puas. “Bagus. Ibu hanya ingin memastikan. Ini demi kebaikan Reza juga. Kami butuh cucu laki-laki untuk meneruskan nama keluarga.”
Aku melirik ke arah Aisyah, berharap ada reaksi darinya. Tapi seperti beberapa hari terakhir, ia tetap dingin, seolah apa yang sedang dibicarakan ini tidak ada hubungannya dengan dirinya.
“Tapi, Bu…” Aisyah tiba-tiba berbicara lagi, membuat ibuku mengangkat alis. “Saya hanya ingin mengingatkan satu hal. Saya memang mengizinkan, tapi mulai sekarang, jangan lagi libatkan saya dalam keputusan ini.”
Ibuku mengernyit. “Maksudmu?”
“Saya sudah mengizinkan, jadi saya tidak mau ditanya lagi soal ini. Jangan tanya saya tentang bagaimana perasaan saya, jangan minta saya pura-pura baik-baik saja, dan jangan pernah berharap saya akan tetap sama seperti dulu.”
“Aisyah…” Aku mencoba menyela, tapi Aisyah menoleh padaku dengan tatapan tegas.
“Silakan jalani keputusan ini, Reza. Saya tidak akan menghalangi.” Ia kemudian menatap ibuku. “Tapi saya juga tidak akan memaksakan diri untuk tetap menjadi istri yang sama seperti dulu. Saya hanya akan menjadi ibu bagi anak-anak saya.”
Ibuku tampak tidak puas dengan jawaban itu. “Tapi, Aisyah—”
“Maaf, Bu. Saya harus menyiapkan anak-anak untuk sekolah.” Aisyah menyela dengan sopan, lalu berbalik dan berjalan pergi tanpa menunggu jawaban.
Aku menatap punggungnya yang menjauh, sementara ibuku menghela napas panjang. “Kenapa dia jadi begitu?” keluhnya.
Aku tidak menjawab. Karena jauh di dalam hati, aku tahu jawabannya.
Aisyah tidak lagi berusaha mempertahankan sesuatu yang sudah dia lepaskan.
Ibuku menatapnya dengan ekspresi terkejut, lalu menoleh ke arahku. “Kenapa dia jadi seperti itu?” suaranya terdengar tidak percaya.
Aku hanya diam.
“Aisyah tidak pernah seperti ini sebelumnya,” lanjut ibuku, masih dengan nada heran. “Biasanya dia selalu menghormati Ibu, selalu mendengarkan sampai selesai. Sekarang dia pergi begitu saja?”
Aku menghela napas panjang. “Dia sudah berubah, Bu…”
Ibuku menggeleng pelan. “Jangan-jangan… dia sebenarnya tidak mengizinkanmu menikah lagi, tapi hanya pura-pura setuju?”
Aku terdiam, kata-kata ibu menggema di kepalaku. Apakah Aisyah memang benar-benar mengizinkanku? Ataukah dia hanya menyerah… dan mulai melepasku perlahan?
Reza menyesal seumur hidup, thor
terutama Reza yg menjadi wayang...
semangat Aisyah
kehidupan baru mu
akan datang