"Semua tergantung pada bagaimana nona memilih untuk menjalani hidup. Setiap langkah memiliki arti yang berbeda bagi setiap orang," ucapan itu terdengar menyulut hati Lily sampai ia tak kuasa menahan gejolak di dada dan berteriak tanpa aba-aba.
"Ini benar-benar sakit." Lily mengeram kesakitan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch ~
Lily keluar dari ruangan dengan langkah cepat, mencoba mengatur napas dan menenangkan dirinya setelah kejadian memalukan tadi. Namun, di tengah perjalanan menuju pantry, pandangannya tertumbuk pada sekelompok orang yang berjalan lesu di lorong.
Mereka membawa kardus-kardus berisi barang-barang pribadi, wajah mereka dipenuhi keputusasaan. Beberapa di antara mereka saling menenangkan dengan pelukan dan kata-kata pelipur lara.
Pemandangan itu membuat Lily berhenti. Nalurinya yang selalu ingin tahu mendorongnya untuk mendekati salah satu kelompok tersebut.
Di antara mereka ada seorang pria yang tengah menepuk bahu seorang wanita yang terlihat menangis tersedu. Wanita itu memegang kardus dengan erat, seolah itu adalah seluruh dunia miliknya yang hancur.
"Maaf," Lily memberanikan diri bertanya, meski ia tahu situasinya tidak tepat. "Apa yang terjadi?"
Pria itu mengangkat wajahnya, menatap Lily dengan pandangan penuh beban. "Pemecatan besar-besaran," jawabnya singkat, namun nadanya penuh kegetiran.
Lily mengerutkan kening. "Pemecatan? Sebesar apa?" tanyanya lagi, mencoba memahami situasi.
Pria itu menghela napas panjang sebelum melanjutkan. "Pemimpin baru itu, dia tidak mentolerir kesalahan, sekecil apa pun. Kami semua dipecat hanya karena hal-hal yang sepele."
Wanita di sebelah pria itu yang masih terisak, mengangkat wajahnya. "Aku dipecat hanya karena ada saus makanan di meja kerjaku," ucapnya dengan suara bergetar, matanya sembab. "Manajer timku bilang meja itu kotor dan mencerminkan aku tidak peduli dengan kebersihan kantor. Aku bahkan tidak sempat membersihkannya sebelum diberi surat peringatan, dan langsung pemecatan."
Lily tertegun mendengar hal itu. Hatinya mencelos. Saus makanan? Itu bahkan bukan kesalahan besar. Ia mencoba mencari kata-kata untuk menghibur, tetapi wanita itu memotongnya lebih dulu.
"Kamu tidak akan mengerti bagaimana rasanya," ucapnya sambil menghapus air matanya dengan tisu. "Kamu bahkan terlihat seperti tidak peduli dengan perusahaan ini. Lihatlah dirimu! Gadis culun yang tidak peduli dengan penampilanmu, di perusahaan yang menjual kosmetik dan kecantikan. Bagaimana mungkin kamu masih bekerja di sini?"
Kata-kata itu menghantam Lily seperti tamparan. Ia menahan diri untuk tidak merespons balik, meski hatinya terluka. Selama ini ia tahu bahwa penampilannya sering menjadi bahan perbincangan.
Di perusahaan yang dipenuhi wanita dengan riasan sempurna dan pakaian modis, Lily dengan gaya sederhana dan wajah tanpa make-up memang terasa seperti anomali. Namun, ia tidak pernah mengira bahwa penilaian orang-orang terhadapnya bisa sekejam itu.
Pria yang tadi menenangkan wanita itu mencoba mengalihkan suasana. "Maafkan dia," ucapnya pelan kepada Lily. "Dia hanya, terlalu sedih. Kami semua terlalu sedih. Pemimpin baru itu, dia seperti tidak punya hati. Semua kesalahan, bahkan yang tidak berarti, dianggap sebagai pelanggaran besar."
Wanita lain yang berdiri di belakang mereka, juga membawa kardus, menyela dengan suara parau. "Aku bahkan tidak tau apa kesalahanku. Tiba-tiba saja aku dipanggil, dan surat pemecatan sudah menunggu di meja manajer."
Lily merasa semakin sesak mendengar cerita itu. Zhen tampaknya tidak hanya menyimpan dendam pribadi terhadap Lily, tetapi juga menerapkan aturan yang sangat keras terhadap seluruh pegawai.
"Aku yakin kalian semua tidak pantas mendapatkan ini," ucap Lily pelan, mencoba menghibur mereka. "Mungkin ini adalah kesempatan untuk menemukan sesuatu yang lebih baik, tempat yang lebih menghargai kalian."
Wanita yang menangis tadi menatap Lily dengan mata merah. "Kau tidak tau apa-apa," ucapnya tajam. "Tidak semua orang seberuntungmu, bisa bertahan di sini hanya dengan keberuntungan."
Kata-kata itu terasa seperti belati yang menusuk jantung Lily. Ia mencoba tersenyum, meski senyumnya lemah. "Aku hanya ingin memberikan semangat," gumamnya pelan, lalu melangkah pergi, meninggalkan mereka dalam keheningan.
Saat Lily melanjutkan perjalanan ke pantry, pikirannya dipenuhi dengan berbagai emosi. Ia merasa bersalah, meski tidak tahu mengapa.
Apa yang salah dengannya? Apakah benar dirinya hanya bertahan di perusahaan ini karena keberuntungan? Apakah benar ia tidak pantas berada di sini karena ia tidak terlihat seperti pegawai lainnya?
Langkahnya melambat ketika ia mencapai pantry. Lily menatap refleksinya di cermin kecil yang tergantung di dinding. Sosoknya terlihat kontras dengan apa yang selama ini menjadi standar di perusahaan itu.
Wajah polos tanpa riasan, rambut yang diikat seadanya, dan pakaian sederhana yang tidak mencolok. Ia memilih untuk tidak menonjol, untuk tetap fokus pada pekerjaannya, tetapi kini ia mulai meragukan pilihannya sendiri.
"Kenapa semua ini harus terjadi sekarang?" gumam Lily, merasa beban di hatinya semakin berat.
Namun, ia tahu satu hal pasti, ia tidak bisa menyerah sekarang. Entah bagaimana caranya, ia harus bertahan. Bahkan jika itu berarti harus menghadapi Zhen Wang setiap hari selama seminggu ini. Bahkan jika itu berarti menjalani hari-hari yang lebih berat dari pada sebelumnya.
Lily menggelengkan kepala, mencoba mengusir pikiran-pikiran yang berkecamuk dalam benaknya. Ia mengarahkan pandangannya ke mesin kopi yang berdiri megah di sudut pantry, tampak seperti sebuah benda yang bisa membantunya melupakan segalanya, walau hanya sejenak.
Dengan cepat ia mulai mengukur bubuk kopi, menuangkan air panas, dan memastikan setiap langkah dilakukan dengan sempurna.
Namun, tangan Lily sedikit gemetar. Semakin ia mencoba fokus, semakin ingatan itu menghantuinya. Malam itu. Malam di mana semuanya berubah.
"Kenapa harus dia?" bisik Lily pada dirinya sendiri, menyesali keputusan impulsif yang pernah ia buat. Wajah Zhen, dengan tatapan dinginnya, terbayang jelas di pikirannya.
Saat itu, Zhen sama sekali tidak terlihat seperti sosok pemimpin yang arogan. Ia adalah pria dengan pesona dewasa, senyum tipis yang membuat siapa pun merasa aman, setidaknya itu yang dirasakan Lily malam itu. Tapi sekarang? Ia adalah orang yang sama sekali berbeda.
Lily mencoba mengatur napas, tetapi debaran jantungnya semakin menggila. Bagaimana jika Zhen benar-benar membalas dendam? Bagaimana jika pria itu tidak hanya mempermalukannya di depan kolega, tetapi juga menghancurkan kariernya, seperti yang baru saja ia saksikan dengan karyawan-karyawan lain yang dipecat?
Bagaimana jika Zhen mengetahui bahwa alasan Lily kabur malam itu bukan karena takut, tetapi karena ia terlalu malu untuk menghadapi situasi tersebut?
Dan yang paling parah, Lily ingat bahwa ia meninggalkan uang di meja kamar hotel, seolah-olah Zhen tidak lebih dari pria panggilan.
"Pintar sekali, Lily," gumamnya pelan dengan nada sarkastik. Wajahnya memerah karena malu hanya dengan memikirkan kemungkinan Zhen menyadari penghinaan itu. "Kenapa aku tidak bisa berpikir lebih panjang?"
Ia mendengus frustrasi, berkali-kali menepuk pipinya sendiri untuk menenangkan diri. "Santai, Lily. Jangan berlebihan. Dia mungkin bahkan sudah melupakan malam itu," ucapnya, mencoba menghibur diri.
Tapi keyakinannya goyah ketika ia mengingat tatapan Zhen saat bertemu dengannya tadi. Tatapan itu terlalu tajam, terlalu dingin, seolah pria itu sengaja memeriksanya lebih dalam, menelanjangi pikirannya.
"Ah, sudahlah!" Lily menggigit bibir bawahnya. "Aku hanya harus bertahan satu minggu. Setelah itu, semua ini akan berlalu."
Namun, suara langkah kaki di luar pantry membuatnya kembali tegang. Ia buru-buru menyelesaikan kopi itu, memastikan tidak ada cacat sedikit pun. Saat ia melangkah keluar dengan nampan di tangan, napasnya terasa berat.
Lorong kantor terasa lebih panjang dari biasanya, dan setiap langkahnya seperti membawa dirinya lebih dekat pada medan perang.
Ketika Lily akhirnya tiba di depan pintu ruangan Zhen, ia berdiri di sana selama beberapa detik, mencoba menenangkan dirinya. Tapi tangan yang memegang gagang pintu itu gemetar, dan ia hampir saja menjatuhkan nampan di tangannya.
"Tarik napas, Lily," bisiknya pada dirinya sendiri. "Dia cuma manusia biasa, sama sepertimu."
Namun, ia tahu itu adalah kebohongan. Zhen bukanlah manusia biasa. Dia adalah badai yang mampu meluluhlantakkan apa pun yang ada di hadapannya, dan Lily hanya berharap tidak menjadi korban berikutnya.
Dah itulah pesan dari author remahan ini🥰🥰🥰🥰