Berperan sebagai ayah dan ibu sekaligus tak membuat Mario Ericsson Navio kewalahan. Istrinya pergi meninggalkan dirinya dengan bayi yang baru saja dilahirkan. Bayi mereka ditinggalkan sendirian di ruang rawat istrinya hingga membuat putrinya yang baru lahir mengalami kesulitan bernapas karena alergi dingin.
Tidak ada tabungan, tidak ada pilihan lain, Mario memutuskan pilihannya dengan menjual rumah tempat tinggal dia dan istrinya, lalu menggunakan uang hasil penjualan untuk memulai kehidupan baru bersama putri semata wayang dan kedua orang tuanya.
Tak disangka, perjalanannya dalam mengasuh putri semata wayangnya membuat Mario bertemu dengan Marsha, wanita yang memilih keluar dari rumah karena dipaksa menikah oleh papinya.
“ Putrimu sangat cantik, rugi sekali pabriknya menghilang tanpa jejak. Limited edition ini,” - Marsha.
“Kamu mau jadi pengganti pabrik yang hilang?”
Cinta tak terduga ! Jangan lupa mampir !
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dlbtstae_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penacalan
Vion bergegas mencari keberadaan cucunya sebelum gelap. Saat dia hendak menghubungi putra dan suaminya karena lelah mencari, Vion terkejut mendengar suara anak kecil yang memanggil dirinya.
“Nenek !!! “.
Vion mengangkat pandangannya. Dilihatnya Maureen berjalan menghampirinya bersama dua wanita cantik yang berada di belakang Maureen.
“ Cucu nenek…” Vion merendahkan tubuhnya, dia langsung memeluk tubuh Maureen setelah anak itu berdiri dihadapannya.
“Maafkan nenek, maaf nenek teledor menjagamu..” kata Vion lega. Namun dia mendengar ringisan kecil dari bibir Maureen. Mendengar itu sontak Vion kembali panik.
“Ada apa ? Ada yang sakit ? Kamu jatuh ? Tapi bagaimana bisa, kan nggak ada yang main sama kamu, sayang?” ucap Vion heran sekaligus khawatir.
“Maaf bibi, Iren tadi terjatuh dari jungkat jungkit.. Punggung dan tangannya memar..”
“Memar ??” Marsha mengangguk. Vion segera memeriksa cucunya. Benar, punggung Marsha memar dan tangannya juga.
“Kita pulang, ya !” ajak Vion khawatir. Maureen mengangguk. “ Kakak-kakak cantik boleh ikut kita, nek ?”.
“Ma–maaf bibi, tapi kita juga ma—”
“Ayo,ikutlah bersama kami. Kita makan malam bersama ya..” ajak Vion.
“Tapi tante…”
“Nggak papa, ayo !” Vion berdiri dari jongkoknya dan langsung menggandeng cucunya pulang diikuti Marsha dan Melati.
Sementara di rumah, Mario dan Kai masih saja membahas proyek yang akan mereka laksanakan bersama Arasyi dan Alaska. Keempatnya melakukan diskusi online mengenai pembangunan proyek.
Narel datang dan langsung memasuki ruang kerja putranya. Dia memang tidak paham mengenai proyek itu, tapi terkadang pendapat Narel sangat dibutuhkan oleh Mario dan Kai.
“Kalian yakin mau membangun proyek di tempat itu, apa tidak merugikan penduduk di sana ?” tanya Narel saat mendengar tempat yang akan mereka bangun.
“Yakin paman, orang suruhanku mengatakan bahwa penduduk disana tidak masalah dengan pembangunan proyek kami “ jawab Arasyi tenang.
“Apa kalian sudah survei sendiri ke lapangan ? Maaf, bukannya paman tidak yakin dengan proyek kalian. Hanya saja ini masalahnya tempat pembangunan itu terdapat banyak penduduk, jelas pasti ada pro dan kontra dengan proyek kalian..”
Keempat pria itu terdiam. Mereka juga memikirkan apa yang dikatakan Narel.
“Apa kalian tidak mau survei sendiri kelapangan sebelum eksekusi ?” tanya Narel.
“Tapi orang suruhan aku…”
“Kalian bisa survey lokasi tanpa memberitahukan orang mu, Rasyi. Paman rasa tidak ada salahnya kalian langsung ke lapangan. Paman takutnya kalian ditipu, dan merugikan penduduk disana..”
“Kenapa paman mengatakan hal seperti itu ?” tanya Alaska bingung.
“Tidak tahu, paman merasa aneh”
“Apa lebih baik kita sendiri yang akan pergi kesana tanpa memberitahukan orang suruhanmu, Rasyi ?” kali ini Kai yang angkat bicara. Dia sepertinya menyetujui pendapat Narel. Apa salahnya mereka turun ke lapangan. Bukankah itu bisa menjadi bukti jika mereka menginginkan proyek itu berjalan dengan lancar.
Arasyi tampak diam. Dia manggut-manggut, sepertinya memang tidak salah bila mereka datang ke tempat tersebut.
“Baiklah paman, Rasyi setuju. Kita akan datang langsung ke tempatnya.”
“Kalau Rasyi setuju, aku juga setuju paman !” seru Alaska membuat ketiga pria beda usia itu lega.
“Kapan mau berangkat ?”
“Bagaimana kalau besok siang ?” ide Mario.
“Kamu yakin mau siang ? “ tanya Alaska.
Mario mengangguk. “ Emang kenapa ?” tanya Mario polos.
“Ya nggak papa, “.
“ Ya, sudah besok siang kita ke daerah itu untuk melihat secara langsung. Ingat jangan memberitahukan kepada orang suruhanmu itu !”
“Baik paman,” jawab Arasyi. Sebenarnya dia ragu tapi tidak ada salahnya untuk melihat secara langsung.
Diskusi kelima orang itu tak kenal waktu, tak lama pintu ruang kerja terbuka dari luar. Sepasang kaki gemuk melangkah masuk ke dalam ruangan itu tanpa disadari oleh siapapun.
Pelayan yang membantu gadis kecil itu langsung pergi setelah membantu nona kecilnya membuka pintu. Langkah kaki yang terdengar pelan, masih tidak disadari ketiga pria beda usia yang masih membahas proyek bersama dua orang di layar persegi.
“Cibukna, pantasan di gedol nda buka pintu. Untung bibi pelayan mau bantuin dedek buka pintu.. Hiiiii cebal naaaaa…”
Maureen, ya gadis kecil itu adalah Maureen dia diminta Vion memanggil para pria untuk makan malam. Gadis kecil itu tentu saja senang, dia bergegas ke ruang kerja ayahnya. Namun dirinya pendek, tangan Maureen tidak bisa menggapai ganggangan pintu.
Tangan gemuknya menggedor-gedor pintu ruang kerja Mario namun tidak ada hasilnya. Terbesit di hati Maureen untuk menerjang pintu ruang ayahnya. Lagi-lagi gadis kecil itu terdiam.
“Teljang nda ya ? Kalau nda di teljang nda bica buka pintu. Kalau di teljang nanti dedek yang nyangkut.. Gimana dong ?”.
“Nona sedang apa ?” tanya pelayan yang membuat Maureen terkejut. “Anak bebek anak cingaaa, ihhh bibi nandetin dedek ajaaaa..” latah Maureen sambil mengusap dadanya.
“Hehe maaf non. Non dedek sedang apa ?” tanya pelayan itu lembut.
“Hmmm itu bibi, dedek mau macuk tapi tangan dedek nda nyampe. Bibi bica tolong bukain pintuna ? Dedek mau macuk,” pinta Maureen.
Pelayan itu mengangguk dia langsung membuka pintu dan Maureen segera masuk. “ Telima kacih bibi,”.
“Sama-sama nona dedek..”.
Kembali lagi, Maureen sudah berdiri tepat di sebelah kanan ayahnya. Dia menyembulkan kepalanya di sela tangan Mario. Kelima pria yang sedang berdiskusi itu sontak terdiam saat layar persegi itu menampilkan wajah Maureen.
“Eh, Mario ! Lu nambahin anak lu apa gimana sih ? Kok ada wajahnya Iren ??” tanya Alaska kaget.
“Ya, nggak dong. Di sini cuma kita bertiga,” sahut Mario heran.
“Itu apa yang muncul kalau bukan Iren !” timpal Arasyi.
“Aku lagi nggak video call kok. Kita kan pakai google meet. Masa iya ada wajah Iren,” ucap Mario dengan nada aneh.
“Iren sama ibu juga lagi keluarkan, kan yah,Kai ?” Narel dan Kai mengangguk polos. Ketiganya sama sekali tidak menyadari keberadaan Maureen. Tampak gadis kecil itu masih keheranan melihat ada dua manusia di layar kecil.
“Kok manucia bisa masuk di citu ? Macuk na dali lub4ng mana ? Dedek penacalan..” celetuk Maureen menggerakan kepalanya ke kanan dan ke kiri mencari lubang yang dikiranya bisa memasukan manusia.
“Nah ! Nah ! Nah ! Itu gerak-gerak !” seru Alaska membuat ketiga pria itu mengalihkan pandangan mereka.
“DEDEK !!!” Pekik ketiga pria itu, mereka kaget saat sadar bahwa yang muncul dilayar ada Maureen.
“Apa ? Dedek cuma nyali lubang, kok citu yang teliak !!” ketus Maureen kesal.
*
*
*
*
“Ayo, makan. Jangan malu-malu !” tegur Vion saat melihat Melati dan Kai yang diam-diam saling menatap satu sama lain.
“Sudah natap-natapnya, sekarang makan !” kata Narel yang turut menegur keduanya.
Melati duluan memutuskan tatapannya pada Kai sementara Kai, hatinya bergemuruh. Rindunya pada wanita dihadapannya membuat Kai kembali merasakan hangatnya pertemuan keduanya beberapa tahun lalu sebelum dimana Melati benar-benar meninggalkan dirinya.
“Tatapan matamu menalik hati, cihuyyy !” sindir Maureen yang langsung mendapat teguran dari Vion.
“Makan nggak boleh nyanyi !”.
“ Iya nenek, coalna ada olang yang diam-diam menatap, tapi nda belani nomong. Jadina dedek yang angkat cuala,” sindir Maureen.
Mendengar sindiran Maureen, Melati tersedak. Marsha segera memberikan minum kepada temannya itu Namun tak disangka, Kai lebih dulu dari Marsha, lihat lah tindakan Kai membuat Vion dan Narel saling pandang. Namun tidak dengan Mario yang malah melirik Marsha dengan tatapan tak dapat diartikan.
“Kalian seperti sepasang kekasih !” celetuk Vion frontal membuat Melati dan Kai jadi salah tingkah.
"Cieeee caltingggg, dedek bang !"