Di masa depan, dunia telah hancur akibat ledakan bom nuklir yang menyebabkan musim dingin global. Gelombang radiasi elektromagnetik yang dahsyat melumpuhkan seluruh teknologi modern, membuat manusia kembali ke zaman kegelapan.
Akibat kekacauan ini, Pulau Bali yang dulunya damai menjadi terjerumus dalam perang saudara. Dalam kehidupan tanpa hukum ini, Indra memimpin kelompok Monasphatika untuk bertahan hidup bersama di tanah kelahiran mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indrakoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 10
Setelah diskusi dengan kepala desa usai, Indra segera mengumpulkan para warga laki-laki. Tujuannya adalah untuk melatih mereka sebagai prajurit pertahanan desa yang siap menghadapi serangan Pasukan Keamanan Tabanan.
Udara pagi yang semula tenang kini dipenuhi oleh desir langkah dan gemerisik senjata tajam yang dibawa masing-masing warga. Mereka berbaris rapi di depan balai desa dengan wajah-wajah yang tegang dan gugup. Indra berdiri di depan untuk mengawasi setiap gerakan mereka dengan cermat.
“Perhatikan baik-baik!” Seru Indra menggelegar memecah kesunyian. Ia mulai mengajarkan teknik-teknik dasar seperti cara bersembunyi dengan efektif, menyerang dengan presisi, dan mengenali titik-titik vital yang bisa melumpuhkan—atau bahkan membunuh—dalam satu kali serangan.
Tak hanya memberikan teori, Indra turun langsung menjadi lawan tanding para warga untuk memberikan praktik. Tubuhnya bergerak lincah saat menghindar sekaligus menyerang balik dengan kecepatan yang membuat para warga terpana.
“Ingat!” Teriak Indra sambil menangkis serangan seorang pemuda yang mencoba menghunus celurit ke arahnya. “Rasa takut itu wajar, tapi jangan biarkan ia menguasaimu. Jadikan ketakutan itu sebagai senjata untuk bertahan hidup!” Ujarnya memberi nasehat para warga yang dilatihnya.
Suasana latihan semakin panas. Keringat bercucuran, nafas tersengal-sengal, namun semangat mereka semakin berkobar. Tiba-tiba, kepala desa muncul dari balik kerumunan dengan wajah yang tampak serius. Ia melambai untuk memanggil Indra.
“Indra.” Panggil kepala desa.
Indra memutar badannya dan menatap si kepala desa. “Oh, kepala desa. Mau melihat kami latihan?” Ucapnya menyapa kepala desa dengan senyuman ramah tersungging di bibirnya.
Kepala desa menggeleng. “Bukan itu. Ada sesuatu yang perlu kita bicarakan.”
Ekspresi Indra berubah menjadi datar. Ia kemudian mengangguk, lalu berbalik ke arah para warga. “Istirahat dulu, ya! Kita lanjutkan sepuluh menit lagi!” Serunya sebelum menghampiri kepala desa.
“Apa yang ingin Anda bicarakan?” Tanya Indra sambil mengusap keringat di dahinya.
Kepala desa menarik nafas dalam. “Aku melihat dua orang rekanmu membawa mayat-mayat Pasukan Keamanan ke perempatan dekat perbatasan desa.”
Indra tersenyum tipis. “Oh, Luthfi dan Chakra, ya. Aku yang menyuruh mereka untuk melakukan itu. Ada masalah?” Tanyanya sambil membuka botol minumnya.
“Tidak, tidak ada masalah. Aku hanya penasaran. Apa rencanamu dengan mayat-mayat itu?”
Indra tertawa pendek. “Anda penasaran, ya? Baiklah, akan kuberi tahu. Mayat-mayat itu akan kami gunakan untuk menyembunyikan peledak agar musuh tak bisa mendeteksinya.” Ucapnya sambil tersenyum jahat dan congkak.
Mata kepala desa membesar. Ekspresi wajahnya seakan habis tersambar petir. “Kau berencana untuk meledakkan mereka begitu mereka masuk ke desa?!” Tanyanya dengan suara meninggi penuh harapan.
“Tepat sekali!” Jawab Indra dengan kedua jempolnya mencuat ke atas. “Tapi, jangan berharap terlalu tinggi. Peledak yang kubawa ini rakitan, sehingga daya ledaknya terbatas. Mungkin hanya beberapa orang saja yang tewas, sementara sisanya cuma terluka.”
Kepala desa menghela nafas dengan wajah yang sedikit kecewa. “Begitu, ya...”
Indra menepuk pundak kepala desa dengan tatapan penuh keyakinan. “Tapi tenang aja, kepala desa. Dengan semangat dan kerja sama warga-wargamu, aku yakin kita bisa mengalahkan mereka. Percayalah padaku.”
Ucapan Indra seakan mematik semangat baru. Kepala desa meraih pundak Indra dengan mata berbinar. “Indra, waktu kita tidak banyak. Latihlah mereka dengan serius. Aku mohon!”
Indra tersenyum, lalu mengangguk dengan mantap. “Serahkan semuanya padaku!” Ucapnya penuh semangat dan keyakinan.
...***...
Setelah merasa cukup memberikan latihan kepada para warga desa, Indra memutuskan untuk mengumpulkan mereka kembali. Matahari sudah mulai condong ke barat, menebarkan cahaya keemasan yang menyapu permukaan sawah terasering. Indra berdiri di tengah-tengah para warga dengan senyuman puas.
“Oke, kita sudah berlatih selama dua jam lebih. Menurutku, itu sudah cukup untuk menghadapi Pasukan Keamanan Tabanan. Terima kasih atas kerja sama kalian.” Ujar Indra dengan suara lantang, namun penuh kehangatan.
Para warga yang duduk di hadapannya langsung bertepuk tangan dengan senyum lebar menghiasi wajah mereka. Semangat mereka yang sebelumnya redup kini telah menyala terang.
Indra tidak hanya mengajarkan teknik bertarung, tetapi juga menanamkan kepercayaan diri melalui kata-kata motivasinya yang membakar jiwa. Tak diragukan lagi, Indra adalah seorang yang mahir memengaruhi orang lain.
“Sekarang, biarkan aku menjelaskan rencananya.” Lanjut Indra sambil mengambil posisi duduk bersila di atas tanah. Suasana seketika hening dan semua mata tertuju padanya.
“Seperti yang kalian tahu, di sisi kiri dan kanan jalan menuju perbatasan desa terdapat terasering yang ditanami kentang. Aku ingin kalian semua bersembunyi di sana dan pastikan jumlahnya terbagi rata.” Instruksinya tegas.
“Selain itu, aku sudah menaruh peledak di sekitar area tersebut yang tersembunyi di bawah tumpukan mayat Pasukan Keamanan Tabanan. Tapi, jangan berharap peledak itu bisa membunuh mereka semua.” Indra berhenti sejenak untuk memastikan semua orang mendengarkan instruksinya.
“Begitu ledakan terjadi, kalian harus segera keluar dari persembunyian dan menyerang musuh. Pastikan kalian menyerang titik-titik vital yang sudah aku beri tahu tadi untuk melumpuhkan mereka dalam sekali serang!” Lanjutnya dengan tegas.
Para warga mengangguk dengan wajah serius dan penuh tekad. Namun, di balik tatapan mata mereka, ada sedikit keraguan yang tersembunyi.
“Ada pertanyaan?” Tanya Indra, matanya menyapu kerumunan.
Seorang pemuda lalu mengangkat tangan untuk menyampaikan pertanyaannya. Indra yang melihatnya memberi isyarat untuk segera berbicara.
“Ngomong-ngomong, apa kau tahu kira-kira kapan Pasukan Keamanan akan datang ke sini?” Tanya pemuda itu.
Indra menghela napas. “Mereka pasti datang hari ini, paling cepat menjelang sore. Sejauh yang aku tahu, tidak ada penguasa yang akan membiarkan wilayahnya diserang terlalu lama.”
Mendengar prediksi itu, wajah-wajah warga yang semula penuh keberanian mulai berubah sedikit demi sedikit. Keraguan dan kegelisahan menyelinap di antara mereka. Indra tentunya tak bisa mengabaikan hal itu.
“Aku tahu banyak hal yang terjadi hari ini.” Ujar Indra dengan suara yang lebih lembut dan menenangkan. “Tapi ingat, nyawa istri, ibu, bahkan anak-anak kalian bergantung pada pertarungan ini. Kalian bukan hanya bertarung untuk diri sendiri, tapi juga untuk kelangsungan hidup mereka.”
Meski kata-kata Indra berhasil memercik semangat, beberapa warga masih terlihat murung. Suara orang berbisik pun mulai terdengar dari belakang.
“Padahal, aku tidak menginginkan pertarungan ini.” Gumam seorang bapak-bapak.
“Sama. Ini semua terjadi karena mereka yang memulainya, kan?” Sahut yang lain.
Indra bisa mendengarnya dengan jelas. Wajahnya sedikit berkerut, namun ia segera mengambil alih situasi.
“Hei, aku bisa mendengarmu, lho.” Ujarnya dengan nada bete, namun ia tidak marah sama sekali.
“Bersyukurlah karena aku mau membantu kalian meraih kebebasan dari cengkeraman Pasukan Keamanan Tabanan itu. Awalnya, aku bahkan berencana membakar seluruh Tabanan dan memicu perang besar dengan seluruh kekuatan tempur yang kumiliki. Tapi, aku sadar bahwa kalian, rakyat biasa, tidak pantas menanggung semua hal kejam itu karena yang salah adalah Pasukan Keamanan, bukan kalian.”
Ucapan Indra itu sebenarnya omong kosong. Ia tak pernah punya rencana seperti itu sama sekali. Tapi, ia tahu kata-kata itu bisa membangkitkan semangat para warga. Wajah-wajah yang semula murung kini berubah menjadi penuh tekad yang kembali menyala di mata mereka.
Indra tersenyum puas melihat reaksi para warga. “Satu hal lagi. Kalian tidak perlu bersembunyi terlalu lama. Aku sudah menempatkan salah seorang rekanku sebagai pengintai di perbatasan. Kalian akan tetap bersamaku sampai ia datang dan memberi kabar bahwa musuh sudah dekat. Mengerti?”
“Siap, mengerti!” Jawab para warga dengan kompak.
...***...
Indra, Luthfi, dan Chakra bersama para warga yang kini menjadi pasukan mereka sedang duduk menunggu dengan tegang di sebuah pos sederhana yang terbuat dari bambu dan terpal.
Lokasi pos mereka strategis, dekat dengan lumbung yang tak jauh dari medan pertarungan nanti. Suasananya hening, sehingga suara desir angin yang sesekali menggerakkan daun-daun terdengar seperti menggema.
Di kejauhan, Handayani bersembunyi di atas pohon tinggi yang rindang dengan senapan laras panjang terpegang mantap di tangannya. Ia ditugaskan oleh Indra untuk menembak peledak rakitan yang sudah dipasang oleh Luthfi dan Chakra dari kejauhan.
Langit berubah warna menjadi jingga keemasan ketika matahari mulai condong ke barat. Waktu terus berjalan dan sebentar lagi sore akan tiba. Menurut perhitungan Indra, Pasukan Keamanan Tabanan seharusnya sudah mendekat.
Tiba-tiba, derap kaki kuda yang cepat memecah keheningan. Suara derap itu berasal dari Devi yang muncul dari balik pepohonan dengan wajah yang intens. Kudanya melaju kencang menuju pos tempat Indra dan pasukannya berada.
“Mereka sudah dekat?” Tanya Indra segera setelah Devi melompat turun dari kudanya.
“Iya, kurang lebih satu setengah kilometer dari tempatku mengintai tadi.” Jawab Devi dengan napas yang masih tersengal-sengal. Ia lalu menyerahkan tali kekang kudanya kepada Indra.
Tanpa membuang waktu, Indra segera menaiki kuda itu. Tubuhnya tegak dan matanya menyapu seluruh pasukan yang sudah berkumpul. “Ok, boys! Musuh sudah mendekat. Saatnya kita bergerak ke posisi yang sudah dibicarakan tadi. Pastikan jumlah kalian terbagi rata!” Serunya tegas dan penuh wibawa.
“Regu di terasering sebelah kiri akan dipimpin oleh Luthfi, sementara sebelah kanan oleh Chakra. Semua mengerti?” Lanjut Indra menatap satu per satu wajah pasukannya.
“Mengerti!” Jawab serentak pasukannya. Suara mereka menggema penuh semangat sekaligus ketegangan.
Devi yang masih berdiri di samping Indra lalu mengangkat tangannya. “Lalu, apa yang harus kulakukan?” Tanyanya penasaran karena merasa tidak kebagian tugas.
Indra tersentak, lalu menoleh ke arahnya. “Kau naik ke pohon yang sama dengan Handayani. Ambil senapan itu dan tembak peledaknya saat aku beri aba-aba. Jangan salah bidik.”
Devi mengangguk dengan senyuman penuh semangat. “Siap!” Ia segera berlari menuju pohon tempat Handayani bersembunyi dengan langkah cepat dan cekatan.
Indra menarik napas dalam, lalu menghadap kembali ke pasukannya. “Baiklah, semuanya, Ke posisi masing-masing! Ingat, ini demi desa dan keluarga kalian. Jangan biarkan mereka mengambil apa yang menjadi hak kalian!” Ucap Indra memengaruhi semangat para prajuritnya
Pasukan itu pun bergerak, masing-masing menuju posisi yang telah ditentukan. Wajah-wajah mereka dipenuhi dengan tekad, meski ada sedikit kegelisahan yang tersembunyi. Pertempuran yang menentukan nasib mereka sebentar lagi akan dimulai.
...***...
Gerombolan pasukan bersenjata lengkap tiba di perempatan yang telah dipasangi peledak oleh Indra. Mereka ternyata bukan Pasukan Keamanan Tabanan, melainkan 1.000 orang prajurit dari Pasukan Badung yang datang untuk membantu Tabanan mengatasi kekacauan di wilayahnya.
Indra, yang bersembunyi di balik rimbunnya pepohonan, mengamati mereka dari kejauhan. Matanya yang tajam langsung mengetahui bahwa mereka bukan lah Pasukan Keamanan Tabanan yang dinilai dari perbedaan seragamnya.
Pasukan ini tidak mengenakan rompi hitam dengan aksen merah di pundak seperti Pasukan Tabanan. Sebaliknya, mereka kompak menggunakan mantel musim dingin berwarna navy blue, dilengkapi rompi perang hitam di dalamnya yang membuat mereka terlihat lebih disiplin dan terorganisir.
Setelah puas mengintai, Indra kemudian keluar dari persembunyiannya. Dengan percaya diri, ia memacu kudanya menuju gerombolan Pasukan Badung. Kuda itu berhenti tepat di hadapan seorang pemuda yang menunggangi seekor kuda putih.
Pemuda itu adalah Aryandra, pemimpin Pasukan Badung. Di sampingnya, berdiri seorang pria berbadan tinggi-besar dengan wajah yang menunjukkan ciri keturunan asing. Dia adalah Alex, tangan kanan Aryandra.
Indra menyapa mereka dengan suara lantang dan sedikit congkak
“Selamat sore, semuanya! Mohon maaf mengganggu perjalanan kalian, tapi desa ini sekarang berada di bawah kekuasaan Monasphatika.”
Alex mengangkat salah satu alisnya dengan penuh tanda tanya. “Monasphatika?” Celetuknya.
“Jika kalian hanya sekelompok pengembara yang ingin lewat, aku dengan senang hati akan menuntun kalian keluar dari sini.” Ajar Indra sambil meletakkan tangan kanannya di dada kiri, gestur yang penuh dengan kesan formal namun tetap mengintimidasi.
“Tapi, jika kalian adalah bagian dari Pasukan Tabanan…” Indra menghunus pedangnya yang mengkilap di bawah sinar matahari sore. “Aku khawatir akan ada pertumpahan darah di sini.” Ancamnya dengan congkak.
Aryandra tak gentar. Ia mendekati Indra dengan tenang namun penuh wibawa. “Kami adalah Pasukan Badung. Kami berada di sini untuk membantu masyarakat Tabanan yang sedang berada dalam situasi terpuruk.” jelasnya dengan tegas namun tidak provokatif.
“Kami juga tidak menginginkan pertumpahan darah di sini. Maka dari itu, aku memohon padamu untuk segera pergi dari sini dan biarkan wilayah ini menjadi milik Tabanan lagi.” Tambah Aryandra, tatapannya tajam menembus Indra.
Indra terdiam sejenak dan menatap Aryandra dengan dingin. Udara di sekitar mereka terasa semakin berat, seolah pertempuran akan meletus sebentar lagi.
“Aku menolak.” Ucap Indra dingin. “Jika kalian ngotot, aku pastikan kalian akan berakhir seperti mereka.” Ia menunjuk ke arah tumpukan mayat yang tergeletak di pinggir jalan.
Alex yang mendengar itu tak bisa menahan diri. Ia melangkah maju dengan wajahnya merah padam. “Siapa kau berani mengancam kami seperti itu, hah?” Tanyanya menggelegar penuh amarah.
Indra tak gentar. Ia membuka tudung jubah yang menutupi setengah wajahnya dan menunjukkan ekspresi jahat yang jelas kepada Pasukan Badung. “Aku Indra Bhupendra, pemimpin Monasphatika.”