Demi menghindari bui, Haira memilih menikah dengan Mirza Asil Glora, pria yang sangat kejam.
Haira pikir itu jalan yang bisa memulihkan keadaan. Namun ia salah, bahkan menjadi istri dan tinggal di rumah Mirza bak neraka dan lebih menyakitkan daripada penjara yang ditakuti.
Haira harus menerima siksaan yang bertubi-tubi. Tak hanya fisik, jiwanya ikut terguncang dengan perlakuan Mirza.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadziroh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kemarahan Nada
Nada mengucap dengan lantang hingga nenek Zubaida yang ada di ruang makan bisa mendengarnya. Wanita tua itu berdiri sedikit menjauh, menyaring apa yang dibahas antara kedua cucunya yang terlihat serius.
"Kamu salah, Nad." Haira berucap dengan lembut. Meraih tangan Nada, namun dengan cepat di tepisnya.
"Iya, aku memang salah. Salah kalau mengira kakak itu baik padaku dan akan menyayangiku. Ternyata apa, kakak selalu merenggut semua orang yang aku sayangi. Gara-gara kakak ayah dan ibu meninggal. Gara-gara kakak juga Hamiz (orang yang pernah mencintai Haira, namun ia rela melepasnya demi Nada) pergi, dan sekarang kakak pun memiliki orang yang aku cintai."
"Nada…" teriak nenek Zubaida.
Air mata Haira luruh seketika. Untuk yang kesekian kali dirinya yang harus menjadi nomor satu di antara orang-orang yang Nada cintai. Bukan keinginannya menjadi saingan Nada.
Mirza yang hampir keluar mengurungkan niatnya lalu membuka pintu sedikit. Diam di tempat, menguping.
Haira memeluk nenek Zubaida yang hampir saja melintasi tubuhnya. Takut sang nenek keceplosan.
"Kamu mencintai Mirza? Tapi sebelum kamu mengenal dia aku sudah mengenalnya lebih dulu, Nad. Kami juga menikah sudah lama. Aku tidak pernah merebut kebahagian kamu. Kepergian Hamiz karena dia memang tidak mau menikah dengan kamu, bukan aku yang menyuruhnya. Ayah dan ibu meninggal karena kecelakaan itu memang sudah takdir. Aku juga tidak ingin mereka pergi secepat ini, tapi Tuhan berkata lain dan lebih menyayangi mereka."
Haira menghentikan ucapannya sejenak. Mengusap air matanya yang terus mengalir deras. Bertemu dengan Nada ingin melepas rindu. Akan tetapi, justru menimbulkan masalah baru. Mengorek masa lalu yang terkubur dalam.
"Nad, kakak sayang sama kamu. Jangan hanya karena ini kamu membenci kakak."
Nada melengos. Selama ini kebaikan Mirza membuatnya jatuh cinta, namun fakta itu menghancurkan hatinya hingga berkeping-keping, karena harus mencintai seseorang yang sudah menjadi milik orang lain. Terlebih kakaknya sendiri.
"Tapi ini gak adil untukku."
Nada memilih pergi meninggalkan Haira dan nenek yang ada di ruang tamu. Bahkan gadis itu tak menghiraukan panggilan sang kakak yang terus berteriak.
Haira berhamburan memeluk nenek Zubaida. Menumpahkan sisa air matanya yang tertinggal di pelupuk.
"Ini bukan salahku, Nek. Aku tidak pernah merebut orang yang dia cintai."
Nenek Zubaida mengelus punggung Haira yang bergetar. "Sudah, sudah, biar nanti nenek yang bicara padanya."
"Tapi nenek janji, jangan katakan apapun tentang jati dirinya."
Nenek Zubaida mengangguk.
Mirza yang sebelumnya tidak tahu apa-apa kini sudah paham dan mengerti tentang masa lalu Haira dan Nada, bahkan ia menerka pernah terjadi cinta segitiga di antara mereka.
Haira kembali ke kamar untuk menenangkan diri. Menghampiri Mirza yang duduk di tepi ranjang.
"Lama banget." Merangkul pundak Haira. Pura-pura tidak tahu apa yang terjadi di luar.
"Apa aku ini diciptakan sebagai perebut kebahagiaan orang?"
Ucapan Itu menusuk jantung Mirza hingga terasa sakit. Seolah-olah mengingatkan saat ia terus menyudutkan Haira dengan kematian Lunara. Tak pernah berpikir panjang, jika semua tuduhannya akan membekas.
"Aku sering merebut kebahagiaan Nada, dan aku pun juga pernah merebut kebahagian kamu." Suara Haira semakin pelan, ia tak sanggup menahan dadanya yang terasa meletup dan ingin meluapkan semuanya.
Mirza meraih tubuh Haira dan memeluknya. Ia memang pernah mengatakan seperti itu, namun kini seakan ia adalah orang yang paling jahat sudah menuduh Haira karena sebuah ketidak sengajaan.
"Tidak, Sayang. Jika aku pernah mengatakan itu, karena terbawa emosi. Jangan berkata seperti itu lagi."
Haira berdiri di depan Mirza.
"Tapi bukan cuma kamu, Nada juga bilang seperti itu. Apa aku tidak pantas bahagia. Apa kehadiranku ini hanya membawa sial, jika memang seperti itu seharusnya aku tidak pulang. Lebih baik hidup bersama Kemal dan jauh dari kalian semua."
Telinga Mirza terasa panas mendengar ucapan itu, ingin marah pada diri sendiri yang pernah memperlakukan Haira tidak adil. Ia kembali membawa Haira ke dekapannya. Mengusap pucuk kepala wanita itu.
"Jangan pernah bicara seperti itu. Jangan pernah pergi dariku lagi, karena aku tidak akan bisa hidup tanpamu. Kalau kamu tidak nyaman disini, kita pulang saja."
Haira menggeleng cepat. "Aku masih ingin tidur di sini."
Mirza mengangguk setuju. Ia tak ingin lagi memaksa Haira untuk menuruti kemauannya.
Aku tidak peduli, siapapun yang mengusik Haira, dia akan berhadapan denganku, termasuk kamu, Nada.
Suara ketukan pintu memecahkan keheningan yang terjadi. Mirza mendudukkan Haira lalu membuka pintu. Ternyata nenek Zubaida yang datang.
"Bagaimana keadaan Haira, Za?" tanya nenek Zubaida menatap Haira dari kejauhan.
Mirza menggeser tubuhnya. Memperlihatkan sendiri istrinya yang masih kacau.
"Apa nenek boleh masuk?" tanya nenek pada Mirza.
"Silahkan, Nek!" Mirza mempersilahkan nenek masuk, setelah itu menutup pintu lagi.
Mengikuti nenek yang menghampiri Haira. "Jangan pernah dengarkan ucapan Nada, dia memang seperti itu. Mungkin dia menganggap kebaikan Mirza karena menyukainya. Nenek pun pernah beranggapan seperti itu, tapi semua sudah terjawab. Kamu tidak pernah merebut siapapun darinya, jangan terus merasa bersalah. Selama ini kamu sudah mengalah demi dia. Sekarang pertahankan Mirza. Kalian berhak bahagia."
Haira meraih kedua tangan nenek Zubaida dan menggenggamnya erat.
"Tapi nenek harus janji, jangan katakan apapun pada Nada."
Nenek Zubaida menjawab dengan anggukan kepala.
Dari tadi Mirza menangkap ada rahasia antara mereka berdua, namun bagi Mirza itu tak penting, yang terpenting saat ini hanya Haira dan Kemal yang harus bahagia.
"Sekarang kalian makan, pasti lapar." Menatap Kemal yang sudah terlelap di balik selimut.
Setelah nenek Zubaida keluar, Mirza menyambung pelukannya yang sempat tertunda.
"Apa aku boleh menciummu?" tanya Mirza pelan. Memberanikan diri untuk mesum pada Haira.
Haira membenamkan wajahnya di dada Mirza, lalu menepuk pelan tangan pria itu.
"Boleh, nggak?" tanya Mirza lagi.
Haira mengangguk pelan. Tanpa aba-aba Mirza langsung menyatukan bibirnya. Menggiring Haira menuju ranjang. Menyesap lembut bibir Haira yang terasa manis.
Mirza melepaskan ciumannya. Mengusap bibir Haira lalu tersenyum.
Permulaan yang cukup bagus.
"Kita makan dulu. Aku lapar," ucap Haira mengalihkan pandangannya, malu saat Mirza terus menatap nya.
Suasana meja makan terasa hening. Hanya dentuman sendok dan piring yang terdengar. Mirza dan Haira pun saling diam, dan sesekali saling lirik. Menatap kursi kosong yang ada di samping nenek.
"Nek, besok aku mau pulang. Aku gak mau ganggu Nada," ucap Haira akhirnya. Meskipun dalam hati masih ingin tinggal di rumah itu, tetap saja ia tak ingin mengusik sang adik.
"Nenek masih kangen sama kamu, Ra. Nada memang seperti itu, besok juga dia akan sadar sendiri. Jangan terlalu dipikirkan."
Ingin abai, namun hati kecilnya tetap tidak bisa dan terus gelisah memikirkan Nada.
𝚑𝚎𝚕𝚕𝚘 𝚐𝚊𝚗𝚝𝚎𝚗𝚐 𝚜𝚊𝚕𝚊𝚖 𝚔𝚗𝚕 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚊𝚞𝚗𝚝𝚢 𝚊𝚗𝚐𝚎𝚕𝚊 🤣🤣