Ini kisah Riana , gadis muda yang memiliki kekasih bernama Nathan . Dan mereka sudah menjalin hubungan cukup lama , dan ingin melangkah ke jenjang yang lebih serius yaitu pernikahan .
Namun kejadian tak terduga pun terjadi , Riana memelihat Nathan sedang bermesraan dengan teman masa kecilnya sendiri. Riana yang marah pun memutuskan untuk pergi ke salah satu klub yang ada di kotanya .Naasnya ada salah satu pengunjung yang tertarik hanya dengan melihat Riana dan memberikannya obat perangsang dalam minumannya .
Dan Riana yang tidak tahu apa-apa pun meminum minuman itu dan membuatnya hilang kendali atas tubuhnya. Dan saat laki - laki tadi yang memasukan obat akan beraksi , tiba-tiba ada seorang pria dewasa yang menolongnya. Namun sayangnya obat yang di kasi memiliki dosis yang tinggi sehingga harus membuat Riana dan laki - laki yang menolongnya itu terkena imbasnya .
Dan saat sudah sadar , betapa terkejutnya Riana saat tahu kalau laki-laki yang menidurinya adalah calon ayah mertuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rodiah Karpiah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Draft
Disaat waktu istirahat tiba , Rania menggunakan kesempatan ini untuk mengisi tenaganya yang terkuras kembali di kantin pabrik , dan tidak lupa Siska yang selalu setia menemaninya. Rania menatap makanannya tidak berselera , sesekali ia akan menatap sahabatnya itu yang tengah asik memakan makanannya .
" Ohh , iya. Tadi ,kenapa Lo di panggil pak Nathan ? " Tanya Siska dengan mulut yang penuh makanan , Rania yang mendengar itu pun tersenyum .
" Biasalah , dia menggunakan statusnya untuk membuat gue nggak mutusin dia ! " Ucap Rania menjawab pertanyaan dari sahabatnya itu.
Siska meletakkan sendoknya dengan kasar di atas piring, matanya menyipit penuh amarah. "Lo bercanda, kan, Ran? Dia masih berani maksa lo buat tetap sama dia setelah semua yang dia lakuin?" ucap Siska yang tidak habis pikir dengan Nathan.
Rania menghela napas panjang, menatap piring nasinya yang nyaris tak tersentuh. "Gue berharap itu bercanda, Sis. Tapi sayangnya, Nathan bukan tipe orang yang bisa terima kata ‘tidak’. Dia berpikir kalau status dan kekuasaannya bisa bikin gue tunduk terus sama dia." Ucap Rania dengan lemas.
Siska yang mendengar perkataan Rania pun mendecak kesal. "Lo harus hati-hati, Ran. Dari awal Lo berhubungan dengan dia gue merasa kalau , dia itu terlalu dominan dan manipulatif." Ucap Siska dengan sedikit berbisik , mau bagaimana pun Nathan adalah bos mereka di sini .
Rania yang mendengar itu tersenyum miris, lagi-lagi semua orang yang berada di sekitarnya sudah tahu sifat Nathan sedari awal. Hanya dia yang tidak tahu apa-apa tentang Nathan , mungkin karena dibutakan cinta Rania menolak semua kenyataan tentang Nathan.
"Lo tenang aja , Sis. Sekarang gue udah sadar kalau dia nggak sebaik yang selama ini gue kenal ! Ternyata gue terlalu dibutakan cinta , sampai-sampai gue nggak bisa lihat kebusukan dia! " ucap Rania sambil tersenyum kecil , kini ia yakin kalau ia tidak akan diperdaya lagi oleh Nathan.
Siska yang mendengar perkataan Rania pun menatap sahabatnya itu dengan prihatin. "Lo tahu kan, lo nggak sendirian? Gue akan selalu ada di sini, Ran. Lo tinggal bilang kalau lo butuh bantuan. Jangan hadapi ini sendirian, ada gue yang selalu ada untuk Lo !" ucapnya sambil mengelus pundak belakang Rania .
Dan Rania yang mendengar perkataan Siska pun mengangguk pelan. Ia tahu Siska tulus ingin membantunya, tapi ia sudah memutuskan untuk menangani sendiri masalah ini. Ia hanya butuh dukungan dari sahabatnya itu , Nathan bukan tipe pria yang akan membiarkannya pergi dengan mudah. Dan yang lebih rumit lagi—ada Bagaskara di tengah-tengah situasi seperti ini
Saat memikirkan Bagaskara, jantung Rania kembali berdebar. Bagaimana tidak? Pria itu bukan sekadar bosnya, bukan sekadar ayah angkat Nathan. Ia adalah seseorang yang pernah menyentuhnya dengan cara yang seharusnya tak pernah terjadi, meskipun ia tidak ingat jelas . Namun , ia yakin kalau malam itu Bagaskara tampak gagah.
Siska pun mengerutkan keningnya begitu melihat ekspresi Rania yang tiba-tiba berubah. "Lo kenapa, Ran?" Tanya Siska yang heran pada sahabatnya itu.
Rania tersentak dari lamunannya. "Hah? Enggak, gue nggak kenapa-kenapa," jawabnya cepat , sesekali ia akan merutuki pikirannya yang liar itu.
Siska menatapnya curiga, tetapi sebelum ia bisa bertanya lebih lanjut, suara gaduh di kantin menarik perhatian mereka.
Beberapa karyawan berbisik-bisik, dan tak lama kemudian, sosok tinggi tegap dengan jas hitam yang rapi memasuki ruangan. Semua orang langsung menegang, beberapa buru-buru merapikan posisi duduknya atau berpura-pura sibuk dengan makanan mereka.
" Pak Bagaskara ? " ucap Rania dengan pelan saat melihat bos besarnya itu tengah berjalan semakin masuk kedalam kantin.
Jantung Rania mencelos. Apa yang dia lakukan di kantin pabrik? Bukannya tadi dia langsung pergi setelah berbicara seperti itu padanya , dan mengapa seorang pemilik perusahaan besar sepertinya yang jarang sekali muncul di tempat seperti ini , kini justru berada di tempat yang tidak memungkinkan.
Pria itu berjalan dengan langkah tenang, tatapan matanya tajam menyapu seluruh ruangan sebelum akhirnya berhenti tepat pada Rania. Dan Rania dapat melihat kalau Bagaskara tersenyum kearahnya , meskipun sekilas namun Rania deg-degan karenanya.
Siska yang sadar kalau bos besarnya itu berada di kantin pun berbisik dengan pelan "Gila, jangan bilang kalau Big Bos lagi lihatin Lo ?" Ucap Siska yang matanya terus menatap ke arah Bagaskara.
Rania yang mendengar itu pun ikut menegang. Ia tidak tahu apa yang Bagaskara inginkan, tapi dari cara pria itu menatapnya, ia yakin ini bukan kebetulan. Padahal tadi mereka baru saja bertemu , dan mengapa laki-laki itu mencari keberadaannya lagi
Kemudian, sesuatu yang lebih mengejutkan terjadi. Bagaskara mulai berjalan semakin dekat ke arahnya.
Semakin dekat.
Semakin dekat.
Sampai akhirnya, pria itu berdiri tepat di depan mejanya.
Semua orang di kantin yang melihatnya pun menahan napas.
"Rania," ucap Bagaskara dengan suara dalam dan berwibawanya yang dapat terdengar jelas, membuat jantung Rania semakin berdegup kencang.
Siska menatap sahabatnya dengan ekspresi penuh tanya, sementara Rania sendiri hanya bisa menatap pria itu dengan mata membesar.
"Ada yang perlu saya bicarakan dengan kamu," lanjut Bagaskara, suaranya tetap tenang tapi tak memberi ruang untuk penolakan.
Rania yang mendengar perkataan Bagaskara lagi pun merasa tubuhnya membeku di tempat. Dia tahu bahwa percakapan ini akan mengubah segalanya.
Ruangan kantin terasa semakin sunyi, seakan semua orang menahan napas, menunggu reaksi Rania. Bahkan Siska, yang biasanya tak pernah kehabisan kata-kata, hanya bisa menatap sahabatnya dengan mata penuh tanda tanya.
Rania menelan ludah, berusaha menguasai dirinya. "Pak Bagaskara ingin bicara soal apa?" tanyanya, suaranya nyaris bergetar.
Bagaskara tidak langsung menjawab. Mata tajamnya menelisik wajah Rania seolah menilai sesuatu, sebelum akhirnya ia berkata, "Ikut aku." Ucapnya sambil menatap Rania dalam.
Hanya dua kata, tapi itu sudah cukup membuat perut Rania bergejolak dengan perasaan campur aduk.
Siska menyentuh lengan Rania, berbisik pelan, "Lo yakin mau ikut? Kalau nggak nyaman, lo bisa nolak, Ran." Ucap Siska pada sahabatnya itu.
Tapi bagaimana mungkin Rania menolak? ia bukan siapa-siapa yang bisa menolak perkataan orang yang menggajinya itu . Dan Bagaskara bukan hanya pemilik perusahaan, tapi juga orang yang memiliki hubungan rumit dengannya—sesuatu yang tidak pernah mereka bicarakan lagi sejak malam itu.
Dengan napas berat, Rania mengangguk pelan sebelum akhirnya berdiri. Bagaskara pun tidak menunggu lebih lama. Ia berbalik dan berjalan keluar dari kantin terlebih dengan langkah mantap, sementara Rania yang melihat itu pun segera mengikutinya dengan hati tak menentu.
Beberapa karyawan yang melihat itu pun mulai berbisik-bisik, mata mereka menatap kepergian Rania dan Bagaskara dengan penuh penasaran. Namun, Rania yang sadar diperhatikan pun mencoba mengabaikan semuanya dan fokus pada pria yang kini berjalan lebih dulu beberapa langkah di depannya.
Mereka berjalan melewati beberapa koridor sebelum akhirnya berhenti di depan ruang kerja pribadi Bagaskara. Pria itu membuka pintu dan memberi isyarat agar Rania masuk terlebih dahulu kedalam ruangannya.
Begitu Rania melangkah masuk ke dalam, ia dapat langsung merasakan atmosfer ruangan ini berbeda. Meskipun ia sudah pernah ke sini sebelumnya, kali ini ada sesuatu yang membuatnya lebih tegang.
Bagaskara menutup pintu dengan tenang, lalu berjalan ke belakang meja kerjanya, menyandarkan tubuh pada kursi besar yang kokoh namun jarang digunakannya karena ia hanya berkunjung beberapa kali ke sini . Dan Bagaskara tidak langsung berbicara, ia hanya menatap Rania lekat dengan ekspresi sulit ditebak.
"Apa yang mau di bicarakan,Pak?" tanya Rania akhirnya, berusaha mempertahankan nada suaranya agar tetap tegar.
Bagaskara yang mendengar itu pun mendesah pelan, lalu bersandar dengan tangan yang saling bertaut. "Saya ingin tahu… apa kamu masih memiliki hubungan dengan Nathan?" Ucapnya langsung pada intinya , ia tidak bisa berbasa-basi lagi.
Pertanyaan dari Bagaskara pun langsung membuat Rania terdiam , ternyata Bagaskara memanggilnya hanya untuk memastikan hubungannya dengan anaknya itu.
"Kenapa Bapak menanyakan itu?" Rania balik bertanya, meskipun ia sudah tahu jawabannya.
Bagaskara mengetukkan jarinya ke meja, matanya masih terkunci pada Rania. "Karena aku ingin memastikan sesuatu. Jika kau memang masih bersama Nathan… aku ingin kau putus dengannya." Ucap Bagaskara lagi sambil terus menatap Rania.
Jantung Rania mencelos saat mendengar perkataan Bagaskara. Ia memang berniat memutuskan Nathan , tapi rasanya aneh saja mendengar orang lain berkata seperti itu. " Apa alasannya bapak bicara seperti itu ? " tanya Rania yang mencoba terlihat biasa saja.
"Saya tidak ingin kamu bersamanya lagi," ulang Bagaskara, kali ini dengan suara lebih rendah, lebih dalam.
Rania menggeleng pelan, mencoba mencerna kata-kata itu. "Bapak sadar nggak, betapa anehnya permintaan ini? Nathan itu putra angkat Bapak sendiri! Kenapa tiba-tiba ingin aku meninggalkannya?" ucapnya yang sengaja ingin mendengar alasan lain yang akan keluar dari mulut Bagaskara.
Bagaskara yang mendengar perkataan Rania pun terdiam sejenak, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk bangkit dari kursinya. Ia berjalan perlahan, mendekati Rania hingga jarak di antara mereka semakin menipis.
"Lupakan Nathan, Rania," ucapnya dengan nada penuh kepastian. "Saya akan mengurus semuanya. Yang perlu kau lakukan hanyalah menjauh darinya." ucapnya dengan pelan namun terdapat ketegasan didalamnya.
Rania yang mendengar itu pun merasakan tubuhnya mulai gemetar. Ini bukan pertama kalinya Bagaskara berbicara padanya dengan nada otoritatif seperti ini, tetapi kali ini rasanya berbeda.
"Bapak tidak bisa mengontrol hidup saya seperti ini," gumamnya, suaranya bergetar namun ia berusaha untuk terlihat baik-baik saja.
Bagaskara menatapnya lekat, lalu mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat. "Dan kau pikir, saya akan diam saja setelah malam itu? Kamu nggak takut kalau ada nyawa yang tumbuh di rahim kamu itu ?" suaranya nyaris berbisik, tapi cukup jelas untuk membuat Rania tersentak.
Darah Rania seperti membeku saat mendengar perkataan Bagaskara , ia berusaha melupakannya. Namun , laki-laki di depannya ini selalu mengingatkannya atas apa yang terjadi.
.
.
Bersambung...
Dimohon untuk tidak menjadi silent reader ya , aku menunggu keritik dan saran dari kalian 🤭🤗😍