Alisha Alfatunnisa, putri dari pemilik pondok pesantren yang populer di kotanya. Belum menikah meski menginjak umur 29 tahun. Hati yang belum bisa move on karena Azam sang pujaan hati, salah melamar kembaran nya yaitu Aisha.
Peperangan batin dilalui Alisha. Satu tahun dia mengasingkan diri di tempat kakeknya. Satu tahun belum juga bisa menyembuhkan luka hati Alisha. Hingga datang sosok Adam, senior di kampusnya sekaligus menjadi rekan duet dalam menulis.
Apakah kehadiran Adam bisa menyembuhkan luka hati Alisha? Atau masih ada luka yang akan diterima Alisha? Cerita yang menguras air mata untuk kebahagiaan sang kembaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erni Handayani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
"Mengapa kamu diam saat itu, Neng? Mengapa kita harus terjebak dalam ikatan yang membuat kita sama-sama terluka?" suara Azam penuh penekanan di akhir kalimat yang diucapkannya.
Aku tak bisa menjawab apapun, napasku mulai tersenggal seiring derai air mata yang berjatuhan.
"Tolong jawab, Neng? Biar aku tenang, biar aku tahu dimana letak salahku? Biar aku lapang menerima takdir ini,"ucap Azam dengan suara lirih yang lebih terdengar pada sebuah rintihan kesakitan.
Kisah aku dan Azam terajut indah selama tiga tahun. Tidak pernah ada pertengkaran di antara kami, hanya kebahagiaan yang selalu kami rasa. Dan ketika hal ini terjadi wajar membuat aku maupun Azam sangat terluka. Terlebih aku yang memilih diam.
"Karena aku sayang Aisha, dia mencintai kamu juga. Dia selalu menceritakan kamu padaku, aku bisa apa saat dia dengan bahagia mengatakan kamu melamar dia. Bisa apa aku?"
Tangisku semakin menjadi meski hanya pelan, tak ingin mengundang perhatian orang-orang terutama Aisha.
Azam tampak tak percaya dengan apa yang aku katakan, mata itu menatap lekat aku yang kepayahan karena air mata. Allah bantu aku untuk kuat dan kini hanya Engkau tempat aku meminta.
"Prang..."
Suara benda jatuh dari arah pintu membuat perhatian aku juga Azam teralih. Tampak Aisha berdiri di pintu dengan tangan menutup mulut.
Allah jangan bilang Aisha mendengar semua yang aku juga Azam bicarakan.
"Aisha tunggu.."
Azam mengejar Aisha yang berlari masuk ke rumah.
Aku masih terpaku tak tahu harus berbuat apa. Aisha pasti hancur hatinya saat ini.
Robb apa ini yang dinamakan karma, dan pada akhirnya sedalam apapun bangkai ditutupi, pasti akan tercium juga. Dan sepandai apapun tupai melompat pasti akan terjatuh juga
Luka itu kini bukan hanya menusuk aku dan Azam tapi juga Aisha.
Aku pun masuk ke rumah, untuk memastikan Aisha mendengar atau tidak percakapan aku juga Azam.
Ketika masuk pemandangan yang aku dapati Aisha tengah menangis di hadapan Azam. Kembaranku itu mengeluarkan air mata yang membanjiri pipinya.
"Aisha, dengarkan penjelasan, kakak!" ucapku kala sudah dekat dengannya juga Azam. Mata Aisha menatap tajam diriku, belum pernah aku dapati Aisha memandangku dengan begitu.
Pandangan yang tak bisa aku artikan marah, kecewa, sedih atau benci.
"Penjelasan apa, Kak? Aku kecewa sama kakak. Kakak tega membohongi aku!" ucap Aisha parau karena derai air matanya. Lidahku kelu untuk menjelaskan yang sebenarnya, nada bicara Aisha menunjukan betapa dia kecewa mendapati kebenaran ini.
"Kakak ngga ada maksud membohongi kamu, Sha!" balasku lirih. Tak ingin ikut emosi dan membuat Ayah juga Umi terbangun.
"Lalu apa namanya kalau tidak berbohong menutupi yang sebenarnya dari aku? Satu tahun kak! Satu tahun bukan waktu yang sebentar!"ucap Aisha histeris.
Aku tahu satu tahun bukan waktu yang sebentar, satu tahun yang bagai satu abad aku jalani karena putus cinta karena takdir yang berkuasa. Satu tahun yang tak bisa menyembuhkan lukaku, dan kini di di satu tahun kembaranku harus merasakan perih yang juga aku rasa.
"Aisha, semua tidak seperti yang kamu pikirkan,"ucap Azam yang berusaha menenangkan istrinya.
"Lalu apa yang harus ada dipikiranku, kalian berdua membohongi aku!" pekik Aisha.
Allah, mengapa ini rumit. Aku hanya ingin semua baik-baik saja terutama hati Aisha. Tetapi kini semua kacau gara-gara Azam mengintrogasi aku.
Satu tahun berjalan mudah meski aku tertatih. Namun, terungkapnya kebenaran malam ini membuat semua pengorbanan hati dan cintaku sia-sia.
"Semua karena kakak sayang kamu, Aisha! Kakak nggak ingin kamu terpuruk,"ucapku lirih.
Andai Aisha tidak terbawa emosi dan berpikir jernih, aku tulus melepas Azam untuk Aisha. Tidak terpikir akan seperti apa jika aku dulu nekad mengatakan yang sebenarnya. Mungkin saat ini Aisha sudah tidak ada di hadapanku.
"Aku tidak butuh dikasihani, apa karena aku sakit-sakitan jadi kakak berpikir aku lemah? Kakak pikir aku nggak bisa bertahan hidup?"ucap Aisha yang menusuk tepat di ulu hatiku.
Allah harus dengan apa aku menjelaskan pada Aisha? Dengan kata-kata apa agar dia tahu aku sangat menyanyangi dia?
"Kakak bukan kakak egois yang bahagia di atas luka adiknya. Apa kamu lupa, bagaimana kamu menceritakan sosok Azam pada kakak? Beritahu kakak jika kamu di posisi kakak akan bagaimana?" tanyaku balik.
Aisha terdiam bibirnya terkatup rapat, air mata masih mengalir di pipinya. Aku tahu betapa kecewa hati Aisha saat ini. Kebenaran ini menggores luka terdalam di hatinya.
"Apa ini yang membuat Umma dua hari setelah lamaran itu datang kembali ke sini? Aku bodoh karena terlalu percaya diri, aku kira Umma hanya salah sebut satu huruf namaku. Ternyata yang di lamar beneran kak Alisha bukan aku!"ungkap Aisha.
Aku ternganga mendapati fakta ini, Allah apalagi ini?
"Maksud kamu apa, Aisha?"tanyaku untuk meyakinkan apa yang aku dengar.
Dada Aisha tampak kembang kempis, emosi pasti membuncah di dadanya.
"Umma menyebut nama Alisha bukan Aisha, tapi karena aku yang di rumah jadi Ayah mengira Umma salah sebut satu huruf!" tutur Aisha.
Bisa aku rasakan di setiap kata yang di lafalkan Aisha, bagaimana ribuan panah menghujam hatinya.
Semua ini menciptakan luka, kesalahpahaman yang berbuntut pada diamnya aku. Semakin rumit dengan yang terjadi malam ini. Kepalaku berdenyut nyeri.
"Kenapa kakak tega membohongi aku? Sakit hatiku, Kak! Andai saja kakak tidak diam saat itu, mungkin aku tidak akan sesakit ini kak? kenapa?" tanya Aisha padaku.
Aku nggak sanggup melihat tangisan Aisha, Robb. Aku diam demi kebahagiaan semua orang, aku diam untuk melihat Aisha tetap tersenyum. Aku tak mungkin merenggut senyum itu.
"Semua untuk kamu, Aisha! Kakak sudah ikhlas!"lemah aku menjawab.
"Kenapa rasanya sesakit ini? Kenapa aku bahagia dalam kebohongan. Pantas saja kakak sama mas Azam seperti orang yang canggung!"
Aku terdiam, menerima semua cercaan pertanyaan yang diluapkan Aisha.
Firasat buruk itu beneran terjadi malam ini. Di hari yang seharusnya membuat Aisha bahagia, justru terjadi sebaliknya. Bom waktuku telah meledak, menumbangkan banyak hati. Melenyapkan mimpi indah Aisha, entah akan seperti apa detik waktu berjalan ke depannya.
"Aisha kakak minta maaf, sungguh kakak nggak ada maksud untuk membohongi kamu!"ucapku untuk meredam amarah Aisha yang berada di ubun-ubun.
Azam hanya terdiam tak bisa berbuat apa-apa. Aku juga tak bisa menyalahkan dia hal ini bisa terjadi. Kebohongan itu akan tetap terbongkar, meski aku berbohong untuk kebahagiaan.
Allah, aku tahu ini sudah takdirmu.
"Apa karena ini kakak belum juga menikah? Kakak masih mencintai Mas Azam?" tanya Aisha.