"Kamu harus menikah dengan Seno!"
Alea tetap diam dengan wajah datarnya, ia tidak merespon ucapan pria paruh baya di depannya.
"Kenapa kamu hanya diam Alea Adeeva?"
hardiknya keras.
Alea mendongak. "Lalu aku harus apa selain diam, apa aku punya hak untuk menolak?"
***
Terlahir akibat kesalahan, membuat Alea Adeeva tersisihkan di tengah-tengah keluarga ayah kandungnya, keberadaannya seperti makhluk tak kasat mata dan hanya tampak ketika ia dibutuhkan!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Favreaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 33
BYUR!!
"Akkhh!!"
Pelayan muda itu terjatuh sembari berteriak, jus yang ada di atas nampan tumpah menyiram wajah dan tubuhnya hingga pakaian yang ia kenakan sebagian menjadi basah.
Pelayan itu segera berlutut dengan tangan terkatup di dada seraya menatap Alea dengan raut ketakutan. "Maaf, Nona. Saya tidak mempunyai maksud apa-apa ataupun memiliki niat buruk, saya hanya memberikan Jus sehat sebagai sambutan atas inisiatif kami para pelayan. Saya minta maaf jika saya lancang, kalaupun Anda tidak suka bisa katakan pada saya, jangan seperti ini!"
Alea menaikkan sebelah alisnya. Jelas pelayan muda yang tidak ia ketahui namanya itu menuduhnya, padahal Alea sadar benar tidak melakukan apa-apa bahkan tangannya belum sempat menyentuh nampan tersebut.
'Penyambutan macam apa ini?' batinnya seraya mendesah panjang. 'Sepertinya hari-hari yang akan aku lalui ke depan sama beratnya dengan hidup bersama keluarga Wicaksana.'
Kegaduhan tersebut memancing rasa penasaran beberapa pelayan yang sedang melakukan tugasnya di sekitar ruang makan. Mereka melirik dan ada yang mengintip dari balik pintu untuk melihat apa yang terjadi.
"Sayang!" Eyang Elaine berdiri menghampiri Alea. "Apa yang terjadi?"
Paman Emir dan Seno pun turut melihat ke arahnya. Namun, anehnya Alea tidak merasakan tatapan penghakiman dari ketiga orang itu.
"Eyang, saya hanya berniat baik memberikan jus buatan kami pada Non Alea, tapi Nona Alea malah mendorong saya!" adunya dengan kepala tertunduk.
Eyang Elaine menatap Alea. "Benar begitu, Sayang?"
Alea tidak mengatakan apa-apa, sebaliknya ia meraih gelas berisi air putih di atas meja lalu menyiramkannya pada pelayan wanita yang sedang bersimpuh.
"Akkhh!" Pelayan tersebut kembali memekik untuk yang kedua kali.
Tidak ada yang tidak terkejut dengan tindakan Alea, para pelayan yang mengintip mulutnya menganga sangking terkejutnya mereka.
Tak terkecuali Paman Emir dan Eyang Elaine, keduanya terbelalak kaget dan hanya Seno yang tampak biasa saja.
"Astaga Nina!" Bi Harum berlari tergopoh-gopoh dari arah belakang lalu menghampiri Nina dan membantu wanita itu berdiri. "Ada apa Nina?"
Bi Harum menatap Eyang Elaine dan Alea bergantian, tapi Alea tidak menghiraukan keberadaan Bi Harum, sebaliknya ia menatap Eyang dengan raut yang tenang.
"Seperti yang Eyang lihat aku baru saja menyiramnya, tapi kejadian yang dia tuduhkan sebelumnya adalah bohong. Aku tidak melakukannya!"
"Apa maksud Anda, Nona. Jelas-jelas Anda mendorong nampan yang saya pegang, jika tidak.. Tidak mungkin saya terjatuh!"
Alea mendesah lelah, ia berniat menjadi gadis baik dan ramah selama di sini agar tidak di repotkan dengan sesuatu yang tidak perlu.
Fokusnya sekarang adalah lulus kuliah dengan cepat lalu mencari keluarga sang ibu, bukan terlibat drama yang dibuat oleh pelayan seperti ini.
Alea lalu berbalik menatap datar Nina yang berada di pelukan Bi Harum, gadis itu tampak ketakutan.
'Sepertinya memang aku tidak boleh diam saja, kalau tidak mereka akan semakin meremehkanku!' batinnya.
"Ada CCTV diujung sana, kita akan melihatnya untuk menentukan siapa yang salah!" Seno menyela, Alea yang hendak berbicara untuk menyangkal kembali terdiam.
Alea mendongak melihat ke sudut ruangan dan Nina pun turut melakukan hal yang sama, di atas sana mereka bisa melihat CCTV terpasang sempurna memantau seluruh ruangan.
Alea akhirnya bisa bernafas lega, tidak perlu repot-repot atau menjelaskan untuk membela diri. Kamera CCTV menjadi bukti nyata yang tidak bisa dibantah. Ia mengabaikan raut wajah Nina yang memucat, lebih memilih duduk di kursi kosong samping Seno.
"Nona! Seharusnya Anda minta maaf!" Bi Harum berbicara dengan nada sesopan mungkin.
Alea bergeming tidak menjawab, tapi Bi Harum yakin bahwa gadis itu mendengarkan, untuk itu ia kembali berbicara.
"Saya tidak akan ikut campur asal mula ini terjadi, tapi tindakan Anda terakhir kali juga tidak patut di benarkan!"
"Mau lihat CCTVnya sekarang atau nanti?" Seno bertanya yang entah pertanyaan itu ditujukan untuk siapa.
Namun, Nina tiba-tiba berlutut dengan tangan terkatup.
"Maaf, Tuan. Sepertinya saya yang ceroboh dan kurang hati-hati, saya minta maaf karena telah membuat kegaduhan!"
"Nina?" Bi Harum terkejut dengan tindakan Nina hingga tak bisa berkata-kata. Ia sudah membelanya bahkan memberanikan diri meminta Alea meminta maaf, tapi kenapa Nina malah berlutut meminta pengampunan yang bahkan dirinya belum tentu bersalah.
Eyang menghela nafas panjang, tubuh tuanya sangat lelah dan akan tumbang jika terlambat berisitirahat. Tapi pelayannya malah membuat masalah yang membuat kepalanya pening.
"Sudah! Sudah! Bi Harum bawa Nina ke belakang dan suruh pelayan lain membersihkan lantainya, sapu pecahan kaca itu sampai bersih!"
"Baik, Eyang!" Bi Harum mengangguk sopan lalu membantu Nina berdiri dan menuntun gadis itu ke belakang.
Eyang kembali duduk di kursinya. "Ayo makan, makanannya nanti keburu dingin!"
Mereka makan dalam diam, tapi diam-diam Paman Emir mengacungkan jempolnya pada Alea dan hanya disambut senyuman oleh gadis itu.
Selesai makan siang, Eyang Elaine meminta bantuan Bi Harum agar diantarkan ke kamar, mengurus serangkaian pernikahan Seno dan terakhir berdebat dengan Kakek Ian benar-benar menguras tenaga.
"Ina belum kembali?"
"Belum, Eyang. Saya tidak yakin dia akan kembali bekerja!"
Eyang menoleh dengan raut heran.
"Kenapa?"
"Dia sudah memiliki suami dan kemungkinan besar suaminya tidak mengizinkan!"
Eyang tampak berpikir dan menghela nafas lelah. Ina adalah pelayan pribadinya dan ia sudah cocok dengan pekerjaan gadis itu, tapi sebulan yang lalu gadis itu izin pulang kampung untuk melangsungkan pernikahan dan sampai sekarang ia belum kembali.
"Jika sampai lusa Ina tidak kembali, apa Eyang mau saya rekomendasikan salah satu pelayan yang mempunyai kinerja paling baik untuk menjadi pelayan pribadi Eyang?"
Eyang Elaine terdiam sesaat lalu menjawab. "Nanti aku pikirkan dulu!"
Bi Harum mengangguk lalu pamit undur diri, membiarkan Eyang Elaine beristirahat di kamarnya.
Sebelumnya Alea menawarkan diri untuk membantu Eyang ke kamar, tapi Eyang melarang dan memintanya menemani Seno istirahat saja. Sekarang di sinilah dia berada, di sebuah kamar yang dominan berwarna putih, sangat luas yang bahkan ada satu pintu yang membawanya ke walk in closet.
"Ini?"
"Hmm, itu untukmu. Aku tidak tahu seleramu jadi aku membelikan beberapa jenis pakaian, tas, sepatu, jam tangan dan aksesoris lainnya. Kamu bisa memakainya, kalau ada yang tidak sesuai kamu bisa memberitahuku!"
Alea mengangguk mengerti seraya mengamati seluruh isi dalam walk in closet. Bergabung menjadi anggota keluarga Ravindra, Alea sangat tahu mereka tidak ingin dirinya mempermalukan mereka dengan berpenampilan buruk. Jadi, ia tidak akan menjadi gadis yang rumit, ia akan menerima dan menggunakan fasilitas pemberian Seno sebaik mungkin.
Paham Alea yang masih ingin melihat-lihat, Seno meninggalkannya sendiri di walk in closet.
Alea masih asyk mengamati barang-barang di sana hingga lewat 30 menit baru menyadari Seno telah pergi. Alea lalu menyusul Seno untuk membicarakan perjanjian dalam pernikahan mereka.
"Kenapa?" Seno bertanya seraya mengangkat wajahnya, mengalihkan perhatiannya dari tab ditangannya.
"Perjanjian pernikahan ...."