Elena adalah agen rahasia yang sedang menjalankan misi untuk mengambil informasi pribadi dari kediaman Mafia ternama bernama Luca Francesco Rossi. Saat menjalankan misi Elana terjebak dan menjadi tawanan beberapa hari.
Menyamar sebagai wanita panggilan, setelah tidur bersama pria yang menjadi mafia berbahaya itu, Elena menyelinap dan berhasil mendapatkan informasi penting yang akan menghancurkan setengah kekuatan milik Luca.
Dan itulah awal dari kisah Luca yang akan memburu dan ingin membalas dendam pada Elana yang menipunya. Disisi lain Elena yang bekerja menjadi agen rahasia berusaha menyembunyikan putri kecil rahasianya dengan mafia kejam itu.
Sampai 4 tahun berlalu, Luca berhasil menemukannya dan berniat membunuh Elena. Dia tidak mengetahui tentang putri rahasianya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dadeulmian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Setelah pagi yang tenang, Fiona akhirnya memutuskan untuk pulang bersama Giovanni. Namun, tidak ada yang menyangka bahwa kepergiannya akan meninggalkan kekosongan yang sangat terasa.
“Nenek!” Sophia berlari mengejar Fiona di depan pintu mansion. “Nenek jangan pergi! Pia nggak mau nenek pergi!”
Fiona berjongkok dan memeluk Sophia erat. “Sayangku, nenek harus pulang. Tapi jangan khawatir, nenek akan sering berkunjung. Kamu anak kecil paling manis yang pernah nenek temui.”
Sophia mengusap matanya, lalu menatap Giovanni. “Kakek, jangan bawa nenek pergi.”
Giovanni mengusap kepala Sophia dengan tangan besarnya. “Kakek janji, nenek akan kembali secepat mungkin.”
Luca, yang berdiri di ambang pintu bersama Elena, hanya menghela napas. “Ibu, kamu bisa pergi kapan saja. Jangan buat ini lebih dramatis dari yang seharusnya.”
Fiona menatap putranya tajam. “Oh, Luca, aku tahu kamu akan sangat merindukanku. Jangan terlalu keras kepala.”
Luca mendesah panjang, tetapi tidak membalas. Setelah beberapa pelukan lagi untuk Sophia, Fiona masuk ke mobil bersama Giovanni dan pergi.
Sejak Fiona pergi, mansion terasa lebih sunyi. Tanpa suaranya yang ceria dan penuh energi, suasana menjadi canggung, terutama antara Elena dan Luca.
Pagi-pagi di ruang makan, Elena duduk di meja sambil menyuapi Sophia, sementara Luca membaca koran di ujung meja yang sama.
“Mommy, Pia mau lagi!” seru Sophia dengan riang.
Elena tersenyum dan memotong pancake untuk putrinya. “Baik, Sayang.”
Luca mengangkat alis dari balik korannya. “Kamu terlalu memanjakannya.”
Elena meliriknya tajam. “Dia anak kecil. Memanjakannya sesekali tidak masalah.”
“Kalau begitu jangan salahkan aku kalau dia tumbuh menjadi keras kepala,” balas Luca.
Sophia menatap ayahnya dengan pipi penuh pancake. “Daddy juga keras kepala.”
Elena tertawa kecil, sementara Luca menurunkan korannya dan menatap Sophia dengan mata sempit. “Siapa yang mengajarimu bicara seperti itu?”
Sophia menunjuk Elena tanpa ragu. “Mommy.”
Elena terbatuk, mencoba menyembunyikan senyumnya. “Aku tidak mengajarinya. Dia belajar sendiri, dia adalah anak cerdas.”
Luca mendesah panjang dan melipat korannya. “Dia tidak cerdas tapi licik.”
Sophia mengangkat tangannya dengan antusias. “Pia mau jadi bosnya!”
“Sudah ada bos di sini,” kata Luca dengan nada dingin, membuat Sophia cemberut.
ΩΩΩ
Setelah makan siang, Elena membawa Sophia ke taman belakang mansion untuk bermain. Luca, yang biasanya sibuk dengan pekerjaannya, memutuskan untuk ikut.
“Kenapa kamu juga di sini?” tanya Elena, bingung melihat Luca duduk di bangku taman.
“Ini rumahku. Aku bisa berada di mana saja yang aku mau,” jawab Luca santai.
Sophia berlari mendekat dengan bola kecil di tangannya. “Daddy, main lempar bola sama Pia!”
Luca terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Baiklah.”
Ia berdiri dan mulai bermain lempar bola dengan Sophia, sementara Elena duduk di bangku, memperhatikan mereka.
Untuk pertama kalinya, ia melihat sisi Luca yang lebih santai. Ia tidak lagi terlihat seperti pria dingin yang selalu serius, tetapi lebih seperti seorang ayah yang mencoba memahami putrinya.
“Bagaimana? Aku cukup baik dalam bermain bola, kan?” tanya Luca dengan nada puas setelah menangkap lemparan Sophia.
Sophia menggeleng dengan ekspresi serius. “Daddy nggak sebaik Mommy.”
Elena tertawa pelan, dan Luca menatapnya dengan tatapan datar. “Kamu mengajarinya dia untuk terus memujimu, kan?”
“Aku tidak perlu mengajarinya. Dia tahu siapa yang lebih hebat,” balas Elena sambil tersenyum kecil.
Luca hanya mendengus, tetapi senyum kecil muncul di wajahnya.
ΩΩΩ
Saat malam tiba, mansion terasa lebih sunyi dari biasanya. Sophia sudah tertidur, dan Elena duduk di ruang tamu, membaca buku. Luca masuk dengan secangkir kopi, lalu duduk di kursi di seberang meja.
“Kamu terlihat terlalu santai,” komentar Luca.
Elena mengangkat alis. “Aku hanya mencoba menikmati waktu tenang sebelum hari yang sibuk besok.”
“Mungkin aku harus belajar melakukan hal yang sama,” kata Luca pelan, menyesap kopinya.
Elena menatapnya dengan kening berkerut. “Kamu? Santai? Itu hal yang sulit dibayangkan.”
Luca mendesah panjang, lalu menatapnya langsung. “Aku bisa belajar.”
Untuk sesaat, suasana menjadi lebih lembut. Tanpa Fiona yang biasanya memecah ketegangan, mereka berdua perlahan mulai saling memahami, meski masih ada banyak kecanggungan.
Luca pada akhirnya menghela nafas panjang dan melipatkan kakinya sambil menatapnya serius.
“Ada apa?” tanya Elena akhirnya, merasa tatapan Luca mulai membuatnya gelisah.
“Aku ingin berbicara tentang apa yang kamu lakukan empat tahun lalu,” jawab Luca dengan nada dingin.
Elena mengerutkan kening. “Kamu sudah menyebutkan ini sebelumnya. Kita tidak perlu membahasnya lagi, kan?”
“Kita harus,” tegas Luca. “Karena aku belum mendapatkan jawaban yang memuaskan.”
Elena menaruh gelas anggurnya di meja. “Apa yang kamu mau dengar, Luca? Bahwa aku menyesal? Bahwa aku seharusnya tidak mengambil data itu?”
Luca bersandar ke belakang, matanya tetap tajam. “Ya. Aku ingin tahu apa yang ada di pikiranmu ketika kamu memutuskan untuk menghancurkan bisnis yang aku bangun selama bertahun-tahun.”
“Bisnis itu ilegal,” balas Elena cepat. “Aku hanya melakukan pekerjaanku sebagai agen.”
“Itu lebih dari sekadar pekerjaan,” desis Luca. “Kamu tidak hanya menghancurkan operasiku. Kamu juga merusak reputasiku. Banyak orang kehilangan kepercayaan padaku. Kamu tahu seberapa keras aku harus bekerja untuk membangunnya kembali?”
Elena terdiam. Ia bisa merasakan kemarahan yang terpendam dalam suara Luca.
“Aku tahu apa yang aku lakukan,” katanya akhirnya. “Tapi aku juga tahu bahwa itu adalah hal yang benar. Bisnismu merugikan banyak orang, Luca. Jika aku tidak menghentikannya, siapa yang akan melakukannya?”
Luca menatapnya tajam, lalu berdiri dan berjalan ke jendela. Ia menatap keluar, seolah mencoba menenangkan dirinya.
“Kamu tahu,” katanya dengan suara lebih pelan, “aku seharusnya membunuhmu saja malam itu.”
Elena tersentak. Kata-kata itu, meski diucapkan dengan tenang, terasa seperti tamparan keras.
“Tapi aku tidak melakukannya,” lanjut Luca. “Dan sampai sekarang, aku masih bertanya-tanya kenapa.”
Elena menelan ludah, mencoba mengabaikan perasaan gugup yang tiba-tiba muncul. “Karena aku memberikanmu obat tidur,” jawabnya dengan nada bercanda, meskipun ia tahu situasinya tidak lucu.
Luca berbalik, menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Mungkin. Atau mungkin karena aku tahu ada sesuatu yang berbeda tentangmu. Sesuatu yang membuatku tidak bisa menarik pelatuk.”
Elena menundukkan pandangannya, merasa tidak nyaman dengan arah percakapan ini.
“Dan sekarang,” lanjut Luca, “kamu di sini. Menjadi istriku. Menjadi bagian dari kehidupanku yang berantakan.”
Elena mendongak, menatapnya langsung. “Aku tidak memilih ini, Luca. Kamu yang memaksaku.”
Luca tersenyum kecil, tetapi senyum itu tidak sampai ke matanya. “Memang. Tapi sekarang kamu di sini, dan tidak akan pergi ke mana pun.”
Elena mendesah panjang, lalu berdiri. “Aku tahu kamu marah. Dan kamu punya hak untuk itu. Tapi aku tidak akan meminta maaf karena melakukan apa yang benar.”
Luca tidak menjawab, hanya menatapnya dengan pandangan penuh emosi yang terpendam.
“Elena,” katanya akhirnya, suaranya nyaris berbisik. “Kamu tidak tahu seberapa besar kerusakan yang kamu sebabkan. Dan aku tidak tahu apakah aku bisa benar-benar memaafkanmu untuk itu.”
Elena terdiam, merasa beban di hatinya semakin berat. “Kalau begitu, kenapa kamu tidak membunuhku saja sekarang? Kenapa kau membiarkanku tetap di sini?”
Luca menatapnya dalam diam, lalu berbalik dan berjalan keluar dari ruangan tanpa mengatakan sepatah kata pun.
Elena berdiri di sana, sendirian di tengah keheningan malam, bertanya-tanya apakah luka di antara mereka bisa disembuhkan.