Miko seorang Psikiater menangani seorang pasien wanita dengan gangguan mental depresi. Tetapi dibalik itu ternyata ada seorang Psikopat yang membuatnya menjadi depresi.
Ketika pasien tersebut ternyata bunuh diri, sang Psikopat justru mengejar Miko.
Hari-hari Miko menjadi berubah mencekam, karena ternyata psikopat tersebut menyukainya.
Setelah menghadapi si psikopat ternyata ada sisi lain dari pria ini.
Bagaimana Miko menghadapi hari selanjutnya dengan sang Psikopat?
Yuk simak kisahnya di cerita Othor. Ada beberapa plot twist-nya juga loh..yang bikin penasaran...
Jangan lupa dukungannya ya man teman...
Oiya, di cerita ini ada adegan mengerikan, ****** ****** dan kata2 'agak gimana yah'
Jadi buat dek adek yg rada bocil mending skip dulu yah....maap ya dek...
Mohon bijak dalam membaca...
*Salam hangat dari othor*
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yurika23, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19 - Miko terusir
“Sepertinya kau ada masalah dengannya. Maaf merusak suasana” ucap Dexton dengan cerutu di sela jemarinya. Duduknya menyilang.
“Justru kau menolongku. Aku malas berdebat dengannya”
“Dia, bekas tunanganmu yang pernah kau ceritakan waktu itu?”
“Tidak. Sebenarnya dia menganggapnya begitu. Tapi aku tidak tertarik dengannya. Dia masih ku hormati karena ayahnya sudah seperti anak angkat kakekku. Kakekku dan ayahnya yang dulu mengatur perjodohanku dengannya. Itu semua tanpa persetujuanku. Tapi sekarang aku sudah memiliki Miko, Helena bukan lagi siapa-siapaku”
“Kau tidak tertarik dengannya? Bukankah dia cantik?” tanya Dexton heran.
“Cantik menurut kebanyakan orang. Tapi tidak untuk versiku” Morino mulai menyalakan rokoknya.
Morino tiba-tiba menoleh kearah Dexton. “Kalau kau suka, ambillah dia untukmu” Morino menyeringai.
“Tidak, terimakasih” Dexton sedikit tertawa.
Ketika malam telah pekat meninggi,
Morino kembali ke kamarnya. Tetapi kamar itu di kunci dari dalam oleh Miko.
“Miko! Hey, bukalah pintunya!” panggil Morino dari luar kamar.
“Aaah. Aku sudah tidur” jawab Miko malas.
“Bukalah pintunya!”
“Bukankah kau sendiri yang bilang, kalau aku belum siap untuk melakukan itu, kau akan menungguku siap. Malam ini aku belum siap dan sangat lelah” jawab Miko dari dalam kamar dan tidak beranjak dari ranjang Morino.
“Aku hanya ingin tidur. Aku tidak akan menganggumu malam ini, tapi biarkan aku tidur diranjangku”
Morino tidak mendapat jawaban dari Miko.
“Miko? Hey! Miko, apa kau sudah tidur?” Morino menaik turunkan handle pintu.
Morino tidak lagi mendengar suara dari dalam kamar. ‘Ck, sial. Dia pasti sudah tidur’
Morino menuruni tangga mencari kamar lain untuk tidur.
Dua hari setelahnya,
Morino harus menghadiri sidang dua hari berturut-turut. Ia belum sempat bertemu Miko.
Di persidangan, Morino sempat-sempatnya melihat foto di galeri handphonenya, semua berisi foto Miko. Ia akan tersenyum sendiri memandangnya. ‘Aku rindu padanya’ gumamnya membatin.
Akhirnya Morino sampai ke rumahnya. Ia buru-buru turun dari mobil. Rasa rindunya sudah menggebu ingin bertemu istrinya.
Tapi Morino harus terkejut untuk yang kedua kalinya ketika di ruang tengah ia mendapati Helena dengan tatapan sinis duduk dengan segelas minuman di tangannya.
“Lena! Apa lagi yang kau lakukan disini?!” tanya Morino terlihat tidak suka.
“Menunggumu” jawabnya singkat.
“Jemmy! Eric! Aku akan memecat kalian!. Kenapa kalian membiarkan wanita ini masuk ke rumahku lagi!” pekik Morino.
Morino tak ambil pusing dengan wanita itu. Ia segera naik ke lantai atas untuk menemui Miko.
Tapi baru juga sampai di anak tangga yang kedua Helena berdiri dan berkata,
“Apa kau mencari Doktermu?” tanya Helena dengan tatapan sinis di matanya.
Morino hanya diam sambil menoleh kearah Helena. Langkahnya berhenti sesaat.
“Percuma, dia sudah tidak ada di kamarmu” ujar Helena membuat Morino membulatkan matanya.
“Bicara apa kau?!”
Morino tetap naik ke lantai atas sambil memanggil-manggil Miko. Tetapi benar apa yang di katakan Helena, Miko sudah tidak lagi berada di kamarnya, bahkan dimanapun di rumah itu.
Morino turun dengan kemarahan yang sangat.
“Dokter jiwamu itu mengatakan hal yang aneh padaku. Dia bilang dia adalah istrimu! Hah, lelucon apa itu. Sepertinya dia yang memiliki penyakit jiwa”
Morino langsung mendekati Helena dengan sorot mata yang menyeramkan.
“Bisa-bisanya bilang dia is-”
Tanpa di duga sama sekali oleh wanita itu, Morino mencengkram kuat leher Helena.
“Aaakh!” pekik Helena dalam nafasnya tercekat dan berusaha membuka cengkraman Morino.
“Dimana dia?!” mata Morino seolah pedang yang menghunus ke mata wanita itu.
“A-aku ti-dak ta-hu” suara Helena samar parau terdengar.
“Kau apakan Miko!” kali ini suara Morino yang menyeramkan.
Helena tidak menjawabnya. Matanya menyiratkan ketakutan
Morino mendorong tubuh Helena ke sofa hingga Helena membentur sandaran sofa. Morino mengurung Helena di sofa.
“Apa yang kau lakukan padanya!” tanya Morino hampir berteriak. Matanya tajam mendelik menatap wanita itu.
“A-aku mengusirnya!. Morino, kenapa kau harus semarah ini?!” wajah Helena kini menampakan kengerian pada pria itu.
“Kau apa?”
“Aku, aku me-”
PAAK!
Sebuah tamparan pedas mendarat di pipi Helena. Wanita itu memegang pipinya sambil menahan perih. Matanya mulai berkaca-kaca.
“Morino! Apa spesialnya dia dibanding aku! Aku akan mengadukan hal ini ke Ayahku! Aku bersumpah tidak akan membiarkan wanita itu menjadi milikmu! Aku juga akan membuatmu menderita!” ancam Helena di tengah kepedihannya.
Morino meraup kerah atas pakaian Helena dengan kedua tangannya. Wajah Morino mendekat ke wanita itu. Helena membulatkan mata ketakutan.
“Aku sudah sangat menderita. Kau tidak perlu repot-repot lagi! Dan aku memang sudah menikahinya. Dia memang istriku! Kau me-nger-ti!”
Morino menghempaskan kasar Helena kelantai.
“JEMMY! BAWA DIA KELUAR!” teriaknya pada pria berjas hitam di depan pintu.
Mata Helena membelalak tak percaya.“Kau-Kau sudah menikahinya?! apa-apaan itu Morino!. Tapi-tapi kapan kau menikah! Kenapa aku tidak tahu!”
“Kau hanya akan merusak rencanaku bila tahu!”
Pria berbadan kekar yang sudah berada disana akan menyentuh lengan Helena untuk membawanya pergi. Tapi Helena buru-buru menghempaskan tangan pria itu.
“Aku bisa keluar sendiri!. pekiknya. “Morino! Kau akan membayar perlakuanmu padaku hari ini! Ayahku tidak akan tinggal diam!”
“Aku tidak takut pada Ayahmu! Atau kakekmu atau kakek kakek buyut sialanmu!” Morino menaiki tangga sambil mengoceh kesal.
Di kamar, Morino duduk di pinggir ranjang. Memandangi selimut yang pernah dipakai Miko. Ia mencium selimut itu. Harum tubuh Miko masih tercium di selimut itu. Beberapa menit kemudian Morino melempar kasar selimut, bantal dan guling ke lantai diiringi teriakan marah.
Pria itu terlihat sangat geram karena kehilangan Miko.
Beberapa kali Morino mencoba menghubungi Miko tapi ponsel wanita itu tidak aktif. Morino juga kerumah Miko, tapi wanita itu juga tidak ada disana. Di rumah sakit, semua tidak ada yang tahu keberadaan Miko, karena masa cutinya memang belum habis.
Di sebuah pinggir danau yang sepi, Morino berdiri menatap danau yang tenang, ia meraup rambutnya kasar.
“Aaarrgh!” teriaknya keras. ‘Dimana kau Miko!’ ucapnya lagi lirih.
Tiba-tiba sebuah perasaan yang ia benci muncul. Perasaan yang membuatnya sakit dan seolah tidak mampu di kontrolnya.
Perasaan ingin membunuh …. yang datang acap kali ia geram dengan sesuatu.
Matanya berubah kosong dan tajam. Ia akan mencari korban selanjutnya untuk dijadikan pemuas rasa membunuhnya.
“Siapa penjahat yang akan kudatangi kali ini” gumamnya menyeramkan.
Di sebuah ruangan dengan penerangan agak redup. Ruangan tersebut tidak terlalu besar. Di tengahnya ada sebuah Brankar (tempat tidur untuk memindahkan pasien di Rumah sakit). Di pinggir dekat dinding, alat-alat tajam terbuat dari stenlis berjejer rapih.
Pisau berbagai ukuran sudah tersedia di atas meja. Ada pula beberapa kursi kayu, dan satu kursi dengan kabel-kabel di dekat dinding. Pemandangan yang membuat siapapun yang memasuki ruangan itu bergidik.
Seorang pria agak gemuk, berjas coklat di geret masuk kedalam ruangan oleh seorang pria agak botak. Di belakangnya Morino mengikuti masuk kedalam ruangan.
Wajah pria berjas coklat tersebut sudah berdarah darah dan banyak lebam di sekitaran matanya. Ia masih hidup, namun sudah sangat lemah akibat di hantam terlalu keras.
“Ikat dia di kursi!” perintah Morino pada pria yang kerap kali memegang kemudi setir mobilnya. Ia memerintahkan Bors agar meletakkan pria berjas coklat di kursi dan mengikatnya dengan lakban.