Sharon tidak mengerti mengapa takdir hidupnya begitu rumit. Kekasihnya berselingkuh dengan seseorang yang sudah merenggut segalanya dari dirinya dan ibunya. Lalu ia pun harus bertemu dengan laki-laki kejam dan melewatkan malam panas dengannya. Malam panas yang akhirnya makin meluluhlantakkan kehidupannya.
"Ambil ini! Anggap ini sebagai pengganti untuk malam tadi dan jangan muncul lagi di hadapanku."
"Aku tidak membutuhkan uangmu, berengsekkk!"
Namun bagaimana bila akhirnya Sharon mengandung anak dari laki-laki yang ternyata seorang Cassanova tersebut?
Haruskah ia memberitahukannya pada laki-laki kejam tersebut atau menyembunyikannya?
Temukan jawabannya hanya di BENIH SANG CASSANOVA 2.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Bab 35. Kemarahan Sharon
"Mau apa kau ke rumah ini, hah? Mau menunjukkan kalau kau berhasil mendekati kakakku?" sentak Nadine.
"Apa maksudmu?" tanya Sharon dengan dahi berkerut.
"Nggak usah berkelit. Setelah gagal mendapatkan Mas Dirga, kini kau mendekati kakakku, iya kan? Kau ingin menjadikan kakakku ayah dari anak harammu itu, begitu kan? Kau membutuhkan seseorang yang tampan dan kaya untuk kau manfaatkan. Kau pikir aku tidak tahu rencana busukmu itu?"
Wajah Sharon memucat, namun sorot matanya tetap tajam menatap Nadine. Rahangnya mengeras, menahan diri agar tidak terpancing lebih jauh. Tapi ketika Nadine menyebut anak-anaknya sebagai anak haram, batas kesabarannya nyaris runtuh.
“Tutup mulutmu! Jangan bicara sembarangan tentang anak-anakku! Tahu apa kau tentang mereka, hah?!” desis Sharon dengan suara bergetar, menahan amarah yang sudah menggelegak di dadanya.
Nadine tertawa sinis, menyilangkan tangan di dada. “Oh, jadi sakit hati, ya? Tersinggung karena aku menyebut anak-anakmu anak tanpa ayah alias anak haram? Lalu kenapa? Bukankah itu kenyataannya?”
“Sekali lagi kau menyebut mereka seperti itu, Nadine, aku tidak akan tinggal diam.”
“Oh ya?” Nadine melangkah lebih dekat, nyaris menempel. “Kau pikir siapa dirimu? Masih berani muncul di rumah ini, menempel pada keluargaku seolah-olah kau bagian dari kami? Padahal kau hanya … perempuan murahan yang entah tidur dengan siapa lalu muncul membawa dua anak sebagai beban!”
Plak!
Tamparan keras mendarat di pipi Nadine. Wajah Nadine terpelintir ke samping, rambutnya berantakan, pipinya langsung memerah.
Sharon gemetar, menatap tangan yang baru saja melayang. Nafasnya memburu. Xaviera dan Xaviero yang mendengar suara keras itu langsung menghampiri dari ruang tamu, mata mereka besar dan bingung.
“Mami?” bisik Xaviera, menatap Sharon dengan khawatir.
Sharon segera menarik anak-anaknya ke pelukannya, mencoba menenangkan mereka.
Nadine menatap Sharon dengan penuh kebencian, menahan sakit di pipinya. Namun sebelum ia sempat membalas, suara berat dan dingin terdengar dari arah tangga.
“Apa yang kalian lakukan?”
Dion berdiri di sana, menatap Nadine dan Sharon dengan ekspresi tidak percaya. Matanya tajam, rahangnya menegang.
Nadine buru-buru membalikkan badan. “Kak, dia yang mulai! Dia menamparku!”
“Karena kau pantas mendapatkannya,” ujar Dion dingin. “Aku dengar semuanya, Nadine.”
Nadine terdiam, matanya membelalak.
“Kau tak hanya menghina Sharon, tapi juga anak-anaknya. Dan kau tahu betul, aku tak akan pernah membiarkan siapa pun menyakiti mereka—termasuk adikku sendiri.”
“K-kak … jadi sekarang Kakak lebih membelanya?”
“Kalau itu maksudmu, iya,” ujar Dion tajam. “Karena kau sudah melewati batas.”
Sharon menggeleng perlahan, suaranya lirih. “Dion, sudahlah. Aku benar-benar ingin pulang.”
Dion mengangguk. Ia berjalan cepat ke arah mereka, lalu berlutut di depan Xaviera dan Xaviero. “Kalian nggak apa-apa?”
Dua bocah itu mengangguk pelan, meski masih bingung dan ketakutan.
“Maafkan Om ya. Ayo, Om antar pulang sekarang.”
Tanpa berkata apa-apa lagi, Sharon menggandeng anak-anaknya dan mengikuti Dion keluar rumah. Nadine masih berdiri terpaku, wajahnya menyimpan amarah sekaligus rasa kalah yang tak bisa ia sembunyikan.
Dari lantai atas, Alda menatap dengan tatapan prihatin. Ia menghela napas panjang, lalu kembali ke ruang kerja suaminya, menyadari bahwa keluarga mereka baru saja retak lebih dalam dari sebelumnya.
...***...
Mobil melaju perlahan menembus dinginnya malam. Di dalamnya, hanya terdengar suara lembut AC dan desahan napas. Dion melirik ke samping, menatap Sharon yang duduk diam menatap ke luar jendela. Raut wajah wanita itu kaku, jelas menunjukkan bahwa ia sedang tidak ingin diajak bicara. Sorot matanya kosong, namun dari gelagat tubuhnya, Dion tahu: Sharon sedang menahan sesuatu yang berat.
Dion menelan ludah. Ia ingin berkata sesuatu—minta maaf, mungkin, atau sekadar menenangkan. Tapi lidahnya kelu. Terlebih karena dua bocah di kursi belakang tampak sudah mulai mengantuk, kepala mereka saling bersandar, memeluk tas kecil masing-masing.
Ia menghela napas pelan, mencoba menahan keinginan untuk bertanya, “Kau nggak apa-apa?” atau “Kau marah karena aku biarkan Nadine berbicara seperti itu?”
Namun ia tahu, ini bukan waktunya. Sharon sedang terluka, dan terkadang luka tak butuh penjelasan—hanya waktu dan ruang.
Sesekali, pandangan Dion kembali tertuju pada kaca spion, memastikan anak-anak baik-baik saja. Sesekali pula ia mencuri pandang ke wajah Sharon, berharap setidaknya wanita itu menoleh, atau memberikan satu kalimat ringan. Tapi tidak. Wanita itu justru diam seribu bahasa.
Perjalanan pulang terasa begitu panjang, meski jaraknya hanya puluhan menit.
Sementara itu, di tempat lain, Leon berdiri di balkon lantai dua rumah barunya. Matanya menatap lurus ke seberang jalan—ke rumah Sharon. Rumah yang sudah ditempati wanita itu beberapa tahun ini.
Ia menyandarkan tubuh pada pagar balkon, satu tangan memegang cangkir kopi yang isinya sudah dingin sejak tadi. Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat lampu ruang tamu rumah Sharon mati. Artinya sedang tidak ada orang di dalam sana.
"Mereka pergi ke mana? Kenapa belum kembali?" gumam Leon sambil memerhatikan jarum jam di pergelangan tangannya.
Tak lama kemudian, Leon menyipitkan mata saat melihat sebuah mobil berhenti tepat di depan rumah itu.
Leon tidak mengenali mobil itu. Hatinya mendadak penasaran.
Pandangan Leon menajam saat melihat Dion turun dari mobil lebih dulu, lalu membukakan pintu untuk Sharon dan anak-anak. Sontak perasaannya mendidih. Apa mereka habis pergi bersama? Kenapa harus dia? Bukankah laki-laki itu laki-laki yang menemani Sharon dan anak-anaknya ke festival cosplay beberapa hari yang lalu? Sebenarnya siapa dia? Apa hubungannya dengan Sharon?
Ia mengepalkan tangan. Dada Leon terasa panas. Cemburu? Jelas. Marah? Sudah pasti. Tapi lebih dari itu, ia merasa ... tak berdaya.
Ia bisa membeli rumah, bisa membeli seluruh blok perumahan itu jika perlu. Tapi satu hal yang tak bisa ia beli adalah kemungkinan posisi Dion dalam hidup Sharon dan anak-anaknya.
Dan malam ini, saat melihat Dion menunduk, membantu Xaviera yang tertidur setengah sadar keluar dari mobil, Leon merasa posisinya benar-benar tergeser.
Leon menggigit bibir bawahnya, menatap tajam pemandangan di depan sana.
“Apa sih sebenarnya hubungan kalian?” gumamnya dengan nada geram. “Kenapa ... selalu dia yang ada di sekitar mereka?”
Matanya menyala penuh kecurigaan.
“Aku harus tahu siapa laki-laki itu. Aku harus tahu siapa kau ... dalam hidup Sharon.”
Sementara itu, di tempat lain, Meylania tampak gelisah sebab waktu yang Djaya berikan tinggal satu hari lagi. Besok ia pasti akan kembali datang dan menuntut kompensasi atas pembatalan pernikahan Leon dan anaknya. Meylania gelisah dan hanya Leon yang bisa menyelesaikan segalanya.
"Leon, kau kemana sih? Ngapain juga kamu ke Yogyakarta? Apakah aku harus segera menyusulnya ke sana?" gumam Meylania sambil berdiri di tengah-tengah kamarnya.
Bersambung...
Kalo yg baca hari ini banyak, like, dan komen jg, syukur2 vote soalnya jomplang bgt votenya, insyaallah double up. ❤️
gawat kl sampai aki2 yg hobinya selingkuh sampai berhasil nyari tau masalalu leon dsn berdampak sama kembar
Tapi yg dimintain kompensasi malah lagi asik sama calon keluarga kecilnya 😁, eh ngapain si Dion dateng n mau ngacau yah. Semoga Leon ga kepancing soalnya ada duo bocil. anggap aja Dion ga ada daripada pusing n sekarang fokus aja pada Sharon, Leon.