Desa Semilir dan sekitarnya yang awalnya tenang kini berubah mencekam setelah satu persatu warganya meninggal secara misterius, yakni mereka kehabisan darah, tubuh mengering dan keriput. Tidak cukup sampai di situ, sejak kematian korban pertama, desa tersebut terus-menerus mengalami teror yang menakutkan.
Sekalipun perangkat desa setempat dan para warga telah berusaha semampu mereka untuk menghentikan peristiwa mencekam itu, korban jiwa masih saja berjatuhan dan teror terus berlanjut.
Apakah yang sebenarnya terjadi? Siapakah pelaku pembunuhannya? Apakah motifnya? Dan bagaimanakah cara menghentikan semua peristiwa menakutkan itu? Ikuti kisahnya di sini...
Ingat! Ini hanyalah karangan fiksi belaka, mohon bijak dalam berkomentar 🙏
Selamat membaca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zia Ni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Patah Semangat
"Baru saja saya juga mendapat kabar dari Pak Shodiq, setelah dia mencari informasi dari beberapa warga senior Desa Glagah, kemunginan besar laki-laki tua itu bernama Satrio. Dia adalah anak yang selama puluhan tahun tidak diketahui keberadaannya setelah kedua orang tuanya dihakimi sampai dibakar hidup-hidup oleh beberapa warga Desa Glagah," tambah Pak Mashudi.
"Astaghfirullah al-adziim... Memangnya pasangan suami istri itu salah apa kok sampai dibakar hidup-hidup?" Pak Zakaria merasa tidak habis pikir.
"Berdasarkan informasi yang didapat oleh Pak Shodiq, katanya mereka dituduh mencuri dan berzinah, Pak. Kabarnya, dalang dibalik penghakiman massal itu adalah Pak Wijoyo, mantan kepala desa yang adalah orang terkaya di Desa Glagah dan juga bapak dari Pak Purnomo, kepala desa sekarang yang baru saja meninggal," terang Pak Mashudi.
"Kalau tuduhan itu benar, seharusnya dilaporkan ke polisi, bukannya malah main hakim sendiri sampai berakibat tragis seperti itu," Pak Zakaria menyampaikan pendapatnya.
"Lebih celaka lagi kalau ternyata tuduhan itu hanya fitnah karena suatu hal, sampai anak si korban ikut menanggung akibat yang berat. Dosa mereka malah tambah berlipat," imbuh pria itu.
"Ya begitulah Pak yang namanya manusia, sering bertindak semaunya sendiri. Pantas saja dendam kesumat Satrio sampai separah itu," timpal Pak Mashudi.
"Sayang sekali, saya sudah tidak bisa kembali ke sana. Setelah mendapat serangan ilmu hitam yang lumayan berat, istri dan anak saya melarang saya untuk ikut campur dengan urusan Desa Glagah lagi," ujar Pak Zakaria terus terang.
"Tidak apa-apa Pak Zakaria, tidak perlu merasa bersalah. Keselamatan panjenengan dan keluarga juga sangat penting," sahut Pak Mashudi.
"Saya dengar dari Pak Choirul, orang yang sudah membantu menyembuhkan saya, beliau akan berkonsultasi dengan guru spiritualnya terkait teror yang menimpa Desa Glagah," kata Pak Zakaria.
"Mudah-mudahan segera ada penyelesaian terbaik dari masalah ini," timpal Pak Mashudi penuh harap.
"Amiiin..."
*
"Sejak kamu menemukan kerangka kedua orang tuamu dan menerawang kejadian di masa lalu yang menimpa mereka, kamu jadi suka bengang-bengong saja, Satrio. Kamu kehilangan semangat hidup? Ingin bunuh diri?" si gendruwo mulai kesal.
"Keturunan Wijoyo dan kroco-kroconya sudah aku habisi semua Mbah, apalagi yang aku cari sekarang?" balas Satrio lesu.
"Sekalipun semua keturunan musuhmu sudah kamu habisi, kamu tetap punya kewajiban mencarikan tumbal, Satrio. Kamu masih ingat kan kalau kamu sudah mengadakan perjanjian dengan Ndoro Gusti?" ucap makhluk berbulu hitam itu.
"Aku masih ingat, Mbah. Biar Gondo dan Anjar saja yang mencarikan tumbalnya," sahut Satrio dengan entengnya.
"Enak betul kamu mau melemparkan tanggung jawab pribadimu pada mereka! Kamu sudah merasa hebat?!" sengak si gendruwo.
"Selama ini saya tidak pernah merasa hebat Mbah, yang saya rasakan justru kepahitan hati. Bukankah saya jadi seperti ini karena terpaksa. Dari dulu saya sudah ingin mati saja, tapi Ndoro Gusti selalu membuat saya bertahan hidup sekalipun saya sudah sampai di titik sekarat," timpal laki-laki tua itu terus terang.
"Goblok! Itu artinya Ndoro Gusti berbelas kasihan padamu! Memangnya dengan kamu mati dari dulu kamu bisa membunuh semua keturunan musuh-musuhmu, ha?!" gertak si gendruwo.
"Saya ingin pensiun saja Mbah, saya ingin menikmati ketenangan hidup. Semua ilmu saya biar dimiliki Gondo dan Anjar," Satrio menyampaikan niatnya.
"Ha ha ha ha ha ha! Goblok betul kamu Satrio! Kamu pikir mudah melepas ikatanmu dengan Ndoro Gusti?! Mau matipun jiwamu bakal dijadikan budak oleh Ndoro Gusti!" si gendruwo sudah geregetan.
"Terserah Mbah mau mengatakan saya goblok atau jiwa saya dijadikan budak oleh Ndoro Gusti. Saya sudah tidak peduli dengan hidup saya," ucap laki-laki tua tersebut yang membuat si gendruwo geram dan menendang Satrio hingga tubuhnya beberapa kali terguling ke samping.
"Dasar manusia goblok! Tidak tahu diri! Tahu gitu dari dulu kami membunuhmu saja!" setelah berkata demikian, makhluk berbulu hitam tersebut menghilang dari pandangan lalu menghadap tuannya untuk melapor.
"Ada apa lagi, Rekso? Dari raut wajahmu sepertinya kamu sedang emosi," kata si penguasa hutan.
"Makin lama saya makin jengkel saja dengan manusia tua bangka itu, Ndoro Gusti," makhluk berbulu hitam itu mengungkapkan perasaannya.
"Ingat Rekso, dia itu dari golongan manusia yang punya perasaan lebih dalam dari golongan iblis seperti kita. Wajar saja jika dia jadi sering duduk termenung setelah tahu kejadian tragis yang menimpa kedua orang tuanya," sahut si penguasa hutan.
"Biarkan saja dia menyendiri dulu, dia pasti butuh waktu untuk menetralkan suasana hatinya," imbuh makhluk bertanduk tersebut.
"Bagaimana kalau dia seperti itu terus dan lupa dengan kewajibannya mencari tumbal, Ndoro Gusti?" tanya si gendruwo.
"Biar Gondo atau Anjar yang menggantikannya untuk sementara waktu, toh aku butuh tumbalnya paling tidak 2 bulan sekali. Bukannya beberapa waktu yang lalu dia sudah menumbalkan 5 pemuda yang nekat datang ke hutan ini karena penasaran."
Sementara itu, sepeninggal si gendruwo, Satrio berjalan menuju ke pondok untuk menemui Gondo yang saat itu sedang membakar ikan hasil tangkapan Anjar di depan pondok.
"Aku akan pergi dari hutan ini untuk sementara waktu, tolong jika nanti waktunya menyediakan tumbal, kamu gantikan aku dulu untuk mencarikannya," ucap laki-laki tua itu.
"Guru mau pergi kemana?" sahut si Gondo.
"Aku mau jalan-jalan untuk menyegarkan pikiranku," jawab Satrio terus terang.
"Guru tidak makan dulu? Sudah beberapa hari ini Guru belum makan sama sekali," kata pria paruh baya berambut panjang tersebut.
"Aku tidak nafsu makan," balas Satrio singkat.
"Baiklah Guru, masalah mencari tumbal serahkan saja padaku, Guru tidak perlu khawatir," ujar bapaknya Anjar.
"Kalau mencari tumbal jangan anak-anak lagi Gondo, kamu cari saja orang-orang yang kelakuannya gak genah, biar sampah masyarakatnya berkurang," sekalipun Satrio sudah bersekutu dengan iblis selama puluhan tahun tapi hati nuraninya masih sedikit hidup.
"Baik Guru, aku mengerti."
Sesudah berkata demikian, laki-laki tua itu masuk ke dalam pondok untuk mengambil pakaian yang dibelikan oleh Drajat dan beberapa barang lainnya lalu dimasukkan ke dalam buntelan.
Tak berapa lama, mulut Satrio pun tampak komat kamit membaca mantra lantas wujudnya berubah menjadi kelelawar kemudian terbang meninggalkan hutan terlarang.
Di tengah remangnya senja, kelelawar jelmaan Satrio mencari sungai yang merupakan terusan sungai yang ada di hutan terlarang untuk mandi dan menggundul kepalanya.
Setelah selesai mengurusi badannya, dia pun kembali merubah wujudnya menjadi kelelawar lalu terbang menjelajahi hutan untuk mengurangi rasa suntuknya.
Selama 2 jam lebih kelelawar itu terus terbang tanpa henti hingga dia tiba di pinggiran hutan Desa Seblak dan menyaksikan pemandangan yang miris dimana ada seorang gadis yang hendak dirudapaksa oleh 2 pemuda.