Terkadang kenyataan tidak sejalan dengan keinginan, Letnan Dallas menginginkan kekasih yang usianya tidak jauh berbeda dengannya tapi harus bertemu dengan perempuan yang usianya terpaut jauh di bawahnya. Semua terjadi karena dirinya trauma memiliki kekasih yang kekanakan di masa lalu.
Tak jauh berbeda dengan Letnan Dallas, Letnan Herca pun akhirnya terpaksa berkenalan dengan seorang wanita pilihan orang tuanya terutama Opa sebab cemas jika Letnan Herca akan salah arah. Penyebabnya tak jauh karena beliau tidak pernah melihat Letnan Herca bersama seorang gadis.
Lantas jika jodoh di tangan Opa, lantas siapa berjodoh dengan siapa dan prahara apa yang akan terjadi terkait masa lalu Bang Herca dengan seorang gadis berinisial Y.
Harap skip jika tidak sanggup dengan KONFLIK.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bojone_Batman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Melunakan hati Dindra.
Bang Dallas menarik diri, satu kecupan hangat mendarat di kening Rigi.
"Benarkah begini tidak masalah?" Tanya Rigi.
"Tidak masalah. Kamu istri Letnan Dallas sekarang, tidak perlu cemas..!!"
"Apa Bang Herca dan Dindra melakukannya juga?" Pertanyaan polos dari Rigi yang membuat Bang Dallas seakan menemukan dunia barunya.
"Itu urusan mereka. Yang jelas, Abang ataupun Herca pasti sudah paham resiko dari setiap tindakan." Jawab Bang Dallas kemudian kembali membenamkan diri.
***
Bang Herca melihat Abangnya baru masuk kamar messnya subuh ini, ia pun tidak ambil pusing kemudian segera mandi untuk melaksanakan sholat subuh di masjid Batalyon.
Semalaman ini Bang Herca belum bisa tidur karena perdebatannya dengan Dindra semalam. Istrinya itu selalu ingin kabur dan tidak ingin melanjutkan proses pengajuan nikah.
Sebenarnya Bang Herca lumayan paham akar permasalahan yang terjadi, tapi dirinya menunggu Dindra sedikit lebih tenang untuk membahasnya.
Bang Herca tidak mengambil pusing tentang apapun yang akan di lakukan Abangnya. 'Sudah dewasa dan matang', itulah mengapa dirinya tidak ingin tau perkara tersebut.
:
"Hari ini kita mengantar Dindra dan Rigi bertemu dengan ibu pengurus cabang. Menurutmu apa kita perlu mendampinginya di dalam?" Tanya Bang Dallas meminta saran.
"Tidak perlu, itu urusan ibu-ibu. Kita menunggu saja di luar sambil mengawasi." Jawab Bang Herca.
Bang Dallas mengangguk, ia pun berpikir demikian berharap mental Rigi dan Dindra terbentuk dengan baik.
-_-_-_-_-
Setelah menunggu lama, akhirnya Dindra dan Rigi masuk ke dalam ruang ibu pengurus cabang.
Aura dingin terlihat menakutkan. Tidak ada senyum dari para ibu pengurus cabang.
"Istri dari Letnan Herca, yang mana?" Tanya ibu seksi sosial.
"Ijin ibu. Kami calon istri dari Letnan Herca." Jawab Dindra.
"Oohh.. kamu masih ingin jadi calon to?" Celetuk ibu tersebut.
"Saya tidak ingin tapi Letnan Herca yang memaksa bertahan. Kalau saya tau beliau adalah seorang tentara tentu saya akan menolak dari awal." Ujar kesal Dindra.
"Jawaban macam apa itu, Dindra..!!" Tegur ibu seksi ekonomi.
"Kamu meremehkan seorang tentara? Tidak semua orang bisa merasakan sampai tahap ini." Imbuh ibu seksi sosial itu lagi.
"Benar-benar tidak sesuai dengan predikatnya. Apakah lulusan dari luar negeri memang begini, memiliki akhlak minim???" Ibu seksi budaya ikut angkat bicara.
Rigi mulai angkat bicara. "Mohon ijin ibu........!!"
"Dilarang memotong pembicaraan. Kamu punya waktu sendiri nanti." Sambar ibu seksi sosial.
Dindra yang memang belum hilang akan rasa lelahnya akhirnya mengambil langkah seribu. Ketegangan pun terjadi di ruang ibu pengurus cabang.
Bang Herca dan Bang Dallas seketika refleks beranjak dari duduknya melihat kedua gadis keluar dari ruangan. Dindra membawa wajah kesal, sedih, kecewa dan terluka sedangkan Rigi hanya menampakan wajah takutnya.
"Ada apa, dek?" Tanya Bang Herca melihat wajah muram Dindra.
Dindra tidak menjawabnya dan terus berlalu meninggalkan Bang Herca. Bang Herca pun segera menyusulnya namun tak di sangka Bang Herca kehilangan jejaknya.
Bang Dallas segera merangkul Rigi dan mengajaknya bicara. Ia meminta waktu pada ibu pengurus cabang untuk membujuk Rigi.
...
Hampir dua jam lamanya Bang Herca mencari keberadaan Dindra. Dirinya sempat mencari di kamar mess namun pakaian Dindra sudah tidak ada disana.
Stress jelas memenuhi perasaan Bang Herca. Beberapa waktu ini dirinya selalu mengalah menghindari pertengkaran dengan Dindra meskipun akhirnya harus ribut juga. Kini Dindra benar-benar pergi karena tidak sanggup menjalani setiap prosesnya.
"Kamu dimana, dek???" Bang Herca mengacak rambut cepaknya, perasaannya gelisah tak menentu.
"Danton, di desa sebelah ada seorang wanita yang melompat dari jembatan. Apakah Danton berkenan melihatnya??" Laporan Prada Ghandi.
"Dindraaaaaaa..!!!!" Secepatnya Bang Herca berlari menaiki mobil pribadi miliknya dan Prada Ghandi sigap mengemudikannya.
:
Denyut nadi Bang Herca rasanya berhenti berdesir melihat banyaknya kerumunan warga apalagi mereka mengatakan bahwa wanita tersebut tewas membuat langkah Bang Herca terasa terkunci seketika.
"Dantoon.. Ijin Danton..!!! Purwo melihat ibu makan bakso di kampung belakang dekat Batalyon." Kata Prada Ghandi setelah mendapat panggilan telepon dari lettingnya.
"Informasi mana yang benar??? Saya mau mati jantungan mikir istri saya..!!!!" Bentak Bang Herca.
"Yang ini benar, Danton. Ibu sedang makan bakso."
:
Benar saja, Dindra sedang mengunyah bakso terakhirnya dengan wajah pias sesekali mengusap air matanya.
"Ayo pulang..!!" Ajak Bang Herca kemudian menarik koper milik Dindra.
Dindra terkejut melihat Bang Herca berada disana padahal perkiraannya sudah kabur jauh dari pria tersebut. Tapi dirinya tidak ingin menunjukkan rasa terkejutnya di hadapan Bang Herca.
"Disini bukan rumah Dindra." Jawab Dindra.
"Kamu istri saya, jelas rumahmu ada disini bersama saya..!!" Ujar Bang Herca dengan nada keras. "Kita bicara baik-baik di mess..!!"
"Dindra nggak mau jadi istri Om Her, Dindra nggak mau jadi istri tentara...!!!!!" Dindra kembali kalut.
"Jangan kekanakan kamu, Dindra..!!"
"Om Her tau Dindra masih anak-anak, Dindra juga tau Dindra tidak ingin menikah. Belum sampai menikah pun Om Her sudah menyesal bertemu dengan Dindra. Pergi.. pergilah sejauh-jauhnya. Tidak ada laki-laki yang benar-benar baik di dunia ini."
Bang Herca menyerahkan koper tersebut pada Prada Ghandi. Tak banyak buang waktu, Bang Herca memanggul Dindra dan membawanya kembali ke mess.
~
Bang Dallas melihat adiknya memanggul Dindra dan masuk kamar A. Ia pun mengurungkan niatnya masuk ke kamar B milik Rigi.
"Kita ke kantin saja, dek..!!" Ajak Bang Dallas.
"Kenapa, Bang?" Tanya Rigi yang kini perlahan mulai tenang.
"Nggak apa-apa. Santai saja disana." Jawab Bang Dallas. Sebenarnya hatinya cemas memikirkan Bang Herca sebab adiknya itu kalau sudah marah begitu luar biasa mengerikan.
Langit mulai gelap. Agaknya Rigi mulai lelah. Ia pun menolaknya. "Di kamar saja..!!"
Bang Dallas berpikir sejenak, ia pun was-was dengan keadaan. "Tapi janji, diam apapun yang terjadi ataupun apa yang kamu dengar nanti..!!"
//
Bang Herca 'membanting' tubuh Dindra di atas tempat tidur. Ubun-ubunnya terasa panas memuncak.
Dindra menangis histeris karena ketakutan. Bang Herca sampai meraup wajahnya. Sebenarnya dirinya pun tidak tega memperlakukan wanita sekasar itu tapi dirinya terbawa perasaan.
Petir menyambar, sore menjadi gelap gulita. Bang Herca merangkak naik ke atas tempat tidur dan mengecup kening Dindra.
"Saya ingin menikahimu karena Allah.. bukan ingin menyiksamu. Jadilah istri sholehah, jangan terus melawan saya..!!" Bujuk Bang Herca. Bibirnya menyusuri lekuk hidung Dindra hingga ke bibirnya.
Dindra terpaku dan terpana apalagi bibir Bang Herca sudah semakin dalam memaguttnya. Dindra terdiam hingga Bang Herca memberi jarak dan menatapnya dalam temaram. Hanya bunyi petir menyambar seakan mewakili perasaan keduanya yang bergemuruh.
Ada raut wajah kekecewaan dalam diri Bang Herca. "Kenapa tidak membalas saya?" Genggaman jemari Bang Herca begitu eratnya.
Dindra merasa ada sesuatu yang mengganjal pada pangkal pahanya. Nafas Bang Herca mulai berhembus kasar memburu, aroma rokok sangat tajam. Ia bukannya tidak membalas tapi sungguh dirinya tidak paham harus berbuat apa, yang Dindra tau dirinya sangat takut melihat wajah yang seakan marah padanya.
"Om Her, jahaaat..!!! Dindra benci Om Her..!!!" Pekik Dindra dengan suara tertahan.
Bang Herca mengusap rambut Dindra dengan lembut. "Sudah ya..!! Saya nggak kuat setiap hari ribut terus sama kamu. Cukup menguji kesabaran saya."
Tak paham sejak kapan, Dindra merasa dirinya sudah 'kosong', saat ini ia merasakan ada sesuatu yang menekan tubuhnya.
"Oom Heeerrr..!!"
Secepatnya Bang Herca membungkam bibir Dindra daripada jeritannya terdengar hingga ke mess perwira. Dindra hanya bisa menangis dalam pelukan Bang Herca yang begitu erat.
Lama semakin lama Dindra terbawa alur meskipun harus berurai tangis apalagi dirinya terbuai saat Bang Herca mengabsen setiap jalur sensitifnya. Begitu pula dengan Bang Herca, ekspresi wajah dan setiap gerak Dindra membuatnya lupa diri, apalagi rintih kecil semakin membawa perasaannya melayang terbang.
Dindra terisak dalam keadaan yang berbeda, Bang Herca segera menyudahinya. Dirinya paham belum saatnya melakukannya tapi 'menjinakan' seorang Dindra bukan perkara mudah. Ia membasahi Dindra tanpa sisa, kini resiko di belakangnya akan siap di tanggungnya.
Bang Herca mengusap peluh dan air mata sembari menormalkan nafasnya.
"Om Her jahaaat.. Bagaimana kalau Dindra hamiiil??? Kita kebablasan, kan??????"
"Sudah resiko menikah dengan pria dewasa. Apa yang kamu takutkan?? Hamil juga ada bapaknya." Jawab Bang Herca.
"Tapi kita kebablasan." Ulang Dindra masih dengan isak tangisnya.
"Saya masih punya pikiran, mana mungkin saya melecehkan perempuan tanpa ikatan. Sebenarnya saya ingin melakukannya saat semua berkas sudah clear, tapi kamu terus menguji kesabaran saya. Lebih baik saya hamili kamu saja, sekarang kamu masih berani lari atau tidak?? Saya sudah nyicil kuping kanan." Ucap jujur Bang Herca.
Dindra memalingkan wajahnya, nampaknya ada sisi hatinya yang belum melunak.
"Masih purik juga. Mau di tambah kuping kiri nih??" Ancam Bang Herca.
"Coba saja kalau berani?" Jawab Dindra malas tapi melupakan bahwa Bang Herca belum menarik diri.
"Lhooooo.. nantang. Mabuk bener bulan depan ya..!!" Bang Herca pun kembali membenamkan diri. Batinnya masih tak karuan berhadapan dengan Dindra.
.
.
.
.