Kayanara tidak tahu kalau kesediaannya menemui Janu ternyata akan menghasilkan misi baru: menaklukkan Narendra si bocah kematian yang doyan tantrum dan banyak tingkahnya.
Berbekal dukungan dari Michelle, sahabat baiknya, Kayanara maju tak gentar mengatur siasat untuk membuat Narendra bertekuk lutut.
Tetapi masalahnya, level ketantruman Narendra ternyata jauh sekali dari bayangan Kayanara. Selain itu, semakin jauh dia mengenal anak itu, Kayanara semakin merasa jalannya untuk bisa masuk ke dalam hidupnya justru semakin jauh.
Lantas, apakah Kayanara akan menyerah di tengah jalan, atau maju terus pantang mundur sampai Narendra berhasil takluk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 2
"Ayah...."
Sejenak, Kayanara terpaku pada sosok pemuda yang berdiri di sisi meja. Netranya yang kecokelatan menatap dirinya intens. Sorotnya teduh, hampir-hampir membuatnya terbawa arus dan perlahan-lahan tenggelam dalam pesonanya yang lembut.
"Meeting or..."
"Kencan."
Celetukan asal itu praktis membuat kepalanya beralih pada Janu. Entengnya cara om-om itu berbicara membuatnya sedikit tidak siap.
Namun, reaksi yang diberikan oleh si pemuda tadi justru membuat Kayanara kebingungan. Alih-alih mencecar kembali ayahnya dengan rentetan pertanyaan tak berkesudahan, Kayanara malah menemukannya mengangguk mengerti. Bahkan ada terselip senyum tipis menghias wajahnya yang kecil.
"Kamu mau lunch?" Janu bersuara lagi.
Kayanara tidak menggubrisnya dan malah semakin terpaku pada sosok pemuda di sampingnya. Diam-diam, dia mulai mengamati setiap fitur yang ada di wajah pemuda itu dengan saksama. Matanya, hidungnya, bibirnya. Nyaris tidak ada satu pun bagian yang tidak mirip Janu. Sekali lihat pun sudah bisa membuat orang-orang tahu bahwa mereka adalah sepasang ayah dan anak. Fix, tidak perlu tes DNA.
"Iya." Pemuda itu menjawab dengan kepala naik-turun. Kayanara tidak mengerti kenapa, tetapi gerakannya justru terlihat lucu.
"Mau gabung?" tawar Janu.
"Nope." Jawaban itu muncul hanya sedetik setelah Janu tutup mulut. Lugas, tanpa keraguan. Detik berikutnya, kontak mata dengan Kayanara terputus. Anak itu fokus mencurahkan perhatiannya pada Janu. "Aku udah janjian sama Ben, bentar lagi dia datang."
"Okay, then. Have fun."
"Aight, I'll see you at home, Ayah. And see you..." Anak itu menelengkan kepala, seakan menanti Kayanara untuk segera memperkenalkan dirinya.
"Kayanara." Alih-alih sang empunya nama, Janu mewakili bersuara.
Anak itu manggut-manggut lagi. Gerakannya mirip seperti tangan boneka kucing di toko emas yang menarik datangnya pembeli. Lucu sekali! Rasanya Kayanara ingin mengacak rambut hitamnya, lalu memasukkan tubuhnya ke dalam karung untuk dia bawa pulang sekarang juga.
"See you, Kayanara."
Kayanara hanya bisa menganggukkan kepala dan membalas lambaian tangannya. Setelah punggungnya menghilang di belokan, Kayanara kembali menaruh fokus penuh pada Janu.
"Mahen, my son." Janu menjelaskan sebelum Kayanara sempat membuka mulut.
"Bungsu?"
"Sulung. He's 24 already." Janu menjawab santai, lalu terkekeh pelan. Entah apa yang lucu.
"Oh, I thought he was 17."
"Karena baby face, kan?" tebak Janu.
Kayanara mengangguk setuju. Mahen terlihat muda untuk usianya yang sudah kepala dua. Kalau saja Mahen datang menggunakan seragam SMA dan mengaku baru kelas satu pun, Kayanara mungkin akan percaya.
"Kamu emang biasanya sesantai itu sama anak-anak kamu? I mean ... mereka nggak ngereog pas tahu kamu jalan sama cewek?"
Janu tidak lantas menjawab. Lengkungan di bibirnya perlahan sirna, sementara sorot matanya menyiratkan kegusaran. Ragu-ragu menyampaikan isi kepalanya sebab ini adalah pertemuan pertama. Keraguan terlihat jelas dari caranya memutar-mutar gelas di tangannya, seakan tengah mencari keyakinan dari potongan es yang perlahan tenggelam.
Kendati begitu, setelah mengambil napas cukup dalam, dia memutuskan untuk mengatakan semuanya apa adanya. "Sama Mahen selalu oke. Hubungan kami lebih seperti teman daripada anak dan ayah kebanyakan. Tapi kalau si bungsu..." Kalimatnya menggantung.
Kayanara langsung mengangguk paham. Tidak perlu dijelaskan sampai tuntas, dia sudah mengerti. Berbeda dengan Mahen yang chill, si bungsu pasti lebih berisik dan clingy. Bisa jadi tipikal anak manja yang tidak mau dirinya kehilangan spotlight.
"Kalau nggak keberatan, boleh kapan-kapan kamu bawa aku ketemu dia?" Ice Matcha Latte yang mulai mencair kembali Kayanara sedot. Bersamaan dengan diturunkannya kembali gelas, dia menatap Janu dengan sudut bibir yang perlahan naik. "I want to see if I can handle his attitude."
Tadinya, Kayanara masih tidak yakin apakah dia akan bertemu lagi dengan Janu dan membiarkan hubungan mereka berlanjut. Tetapi setelah mendengar soal si bungsu, semangatnya mendadak berkobar. Dia mendapat julukan Si Pengendali Bocah Kematian sejak masih muda dulu, dan cerita singkat soal si bungsu malah membuatnya ingin bertemu.
...🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼...
Mulut cerewet Michelle langsung menyambut ketika Kayanara baru saja masuk ke unit apartemennya. Suaranya yang terlampau cempreng membuat telinga Kayanara panas, sehingga dia terpaksa meninggalkan ponsel di meja makan dan menyalakan loud speaker selagi dirinya berjalan menuju kulkas.
"Oke, kan? Lo sih nggak percaya sama gue!" Dari nada suaranya saja, Kayanara sudah bisa membayangkan betapa congkaknya raut wajah Michelle sekarang. Oh, gadis itu pasti sedang berlagak seperti pahlawan yang telah berhasil menyelamatkan sahabatnya dari bencana jomblo abadi.
"First impression sih, oke. Dia gentle dan mau keluarin effort. Tapi..." Kayanara sengaja menjeda. Sebelum melanjutkan, dia menenggak air mineral yang telah dia pungut dari kulkas. Setelahnya, dia berjalan menuju meja makan, menyambar ponsel dan mematikan loud speaker. "Age-gap kami jauh banget."
"Halah ... umur hanyalah angka, Kay! Yang penting kan orangnya bertanggung jawab. Lihat track record-nya juga gue yakin anak-anaknya behave, kok."
"Yakin amat? Udah pernah ketemu langsung emang?"
"Belum, sih. Tapi kata Ko Daniel anak-anaknya Janu baik, kok, sopan dan rajin ibadah juga."
"Yang sulung sih emang mantep, tapi yang bungsu..."
"Lah, lah, lo udah ketemu sama si sulung? Secepet itu Janu bawa lo ketemu anak-anaknya? Damn, gercep juga si Janu." Michelle heboh sendiri. Belum juga Kayanara dapat kesempatan menjawab, bibirnya sudah merepet lagi. "Terus soal yang bungsu, maksudnya apaan? Anaknya nggak suka sama lo? Tantrum?"
Kayanara menenggak air mineral sekali lagi, meletakkan satu tangannya di pinggang, dan memandang jauh ke depan. Pandangannya menerobos jendela dapur, mengamati perubahan warna langit dari biru menjadi semburat keemasan. "Gue belum ketemu sama si bungsu, tapi kata Janu anaknya agak sulit."
"Sulitnya?"
Bahu Kayanara mengedik—meski tahu Michelle tidak bisa melihatnya. "Dia cuma bilang kalau si bungsu nggak seramah abangnya. Gue nggak nanya lebih lanjut sih, kayaknya si Janu juga kesusahan buat deskripsiin soal anak bungsunya. Mungkin saking nggak ada akhlak-nya?"
"Masa sih? Kata Ko Daniel anaknya dua-duanya baik, kok."
"Baik kalau sama orang pada umumnya kali. Kalau sama pacar bapaknya mungkin enggak?"
"Yah ... terus gimana? Padahal gue udah optimis banget lo sama Janu bisa lanjut. Kalian serasi, tahu!"
Kayanara terdiam cukup lama. Bukan lagi memikirkan soal kecocokan dirinya dengan Janu. Tiba-tiba saja dia malah teringat pada si bocah kemarian yang bertemu dengannya tadi siang. Membayangkan bahwa kelakuan anak bungsu Janu sebelas dua belas dan kepuasan sebesar apa yang akan dia dapatkan jika bisa menaklukkannya.
"Kay?"
"Gue udah minta Janu buat ketemuin gue sama si bungsu. Ya ... siapa tahu bisa gue jinakin."
"Really?" Tidak perlu melihat secara langsung, Kayanara tahu Michelle sedang sangat bersemangat sekarang.
Sebelah bibir Kayanara terangkat sedikit. Senyum jemawa perlahan muncul. Kepercayaan dirinya secara ajaib meningkat. "Iya. Udah lama juga gue nggak handle bocah-bocah kematian."
Bersambung....