NovelToon NovelToon
Gara-gara Kepergok Pak Ustadz

Gara-gara Kepergok Pak Ustadz

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Cinta setelah menikah / Pernikahan Kilat / Slice of Life
Popularitas:6.1k
Nilai: 5
Nama Author: Imelda Savitri

"Nikah Dadakan"

Itulah yang tengah di alami oleh seorang gadis yang kerap di sapa Murni itu. Hanya karena terjebak dalam sebuah kesalahpahaman yang tak bisa dibantah, membuat Murni terpaksa menikah dengan seorang pria asing, tanpa tahu identitas bahkan nama pria yang berakhir menjadi suaminya itu.

Apakah ini takdir yang terselip berkah? Atau justru awal dari serangkaian luka?

Bagaimana kehidupan pernikahan yang tanpa diminta itu? Mampukan pasangan tersebut mempertahankan pernikahan mereka atau justru malah mengakhiri ikatan hubungan tersebut?

Cerita ini lahir dari rasa penasaran sang penulis tentang pernikahan yang hadir bukan dari cinta, tapi karena keadaan. Happy reading dan semoga para readers suka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Imelda Savitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tempat baru

Di sudut ruangan, ayah Murni tampak mengusap wajahnya. Sekilas, seperti sedang menggaruk hidungnya, namun sebenarnya ia tengah menyeka air mata yang hampir jatuh dari sudut matanya. Ia menunduk cepat, mencoba menyembunyikan emosi haru yang menyeruak tiba-tiba.

Akhirnya, putri semata wayangnya kini telah resmi menjadi istri orang. Tapi entah mengapa, bukan senyum yang terpancar dari wajahnya, melainkan garis tegas dan dingin, seperti tak rela namun juga tak berdaya. Saat tatapannya tanpa sengaja bertemu dengan sang putri, sang ayah buru-buru memalingkan mukanya, Aryo merasa malu bila ekpresi haru nya diketahui oleh putrinya.

Sementara itu, sang ibu tak bisa lagi menyembunyikan emosinya. Ia menangis sembari tersenyum, dengan tangan yang terus menekan dadanya, menahan gelombang haru, hatinya sempat digundah rasa kacau. Ia bahagia, tentu saja, melihat putrinya akhirnya sah menjadi seorang istri. Tapi juga ada kekhawatiran dan luka yang belum sembuh sepenuhnya, karena pernikahan ini bukan dimulai dengan kisah cinta biasa, melainkan dari sebuah momen yang memalukan dan disalahpahami.

Setelah suara "sah!" menggema dari para saksi, penghulu mengangguk pelan, lalu merapatkan duduknya. Ia menatap kedua mempelai secara bergantian, sebelum suaranya yang tenang namun dalam mulai memenuhi ruangan.

"Alhamdulillah, akad sudah dilaksanakan. Kini kalian berdua sudah sah sebagai suami dan istri di hadapan agama dan para saksi."

Ia menghela nafas singkat, lalu melanjutkan, "Pernikahan ini bukan sekadar janji di depan manusia, tapi juga amanah dari Allah. Nak Kaan, mulai hari ini engkau memikul tanggung jawab sebagai pemimpin rumah tangga. Jadilah suami yang melindungi, membimbing, dan mencintai istrimu bukan hanya di waktu senang, tapi juga saat sulit."

Lalu ia beralih menatap ke arah Murni." Murniara, engkau sekarang adalah seorang istri. Tugasmu bukan hanya mendampingi, tapi juga menjadi pelipur lara, dan kekuatan ketika suamimu rapuh.”

Penghulu berhenti sejenak, lalu tersenyum tipis. "Semoga Allah limpahkan keberkahan dalam rumah tangga kalian. Saling percaya, saling jaga, dan saling mendoakan. Karena hidup setelah akad bukan lagi tentang ‘aku dan kamu’, melainkan ‘kita’.”

Setelah semua ucapan dan doa dilantunkan, penghulu kembali berbicara, suaranya lembut namun terdengar jelas di seluruh penjuru masjid.

"Sekarang, silakan mempelai pria memasangkan cincin di jari mempelai wanita sebagai simbol pengikat cinta dan tanggung jawab."

Kaan sedikit tersentak, lalu buru-buru mengangguk. Ia segera mengambil sebuah kotak beludru kecil yang ada di permukaan meja. Di dalamnya, sebuah cincin emas tampak berkilauan ketika cahaya lampu memantul dari batu permata indah yang menghiasi cincin tersebut.

Itu adalah cincin yang Kaan beli terburu-buru dengan bantuan Rian dan istrinya, Ayu. Walau pernikahan ini mendadak dan tak direncanakan, Kaan tahu betul, jika ia hendak menikahi seseorang, maka ia akan melakukannya dengan hormat. Sebab ia bukanlah tipe pria yang setengah-setengah.

Tangan Kaan sedikit gemetar saat menggenggam tangan Murni yang mungil. Ia menarik nafas dalam-dalam, berusaha mengendalikan degup jantungnya yang begitu kencang, lalu perlahan menyematkan cincin itu di jari manis Murni. Cincin itu pas. Terlihat sangat cantik di sana, seolah memang diciptakan untuknya.

Penghulu tersenyum hangat melihat momen itu, lalu bersuara pelan, "Alhamdulillah... Nak Kaan kalau mau mencium istri, sekarang sudah sah, dan sudah halal. Jadi silakan, kalau ingin."

Mendengar itu, suasana sempat hening, hingga suara Bu Lastri tiba-tiba memecah keheningan dengan gaya khasnya.

"Nah tuh! Sekarang udah boleh dicium, udah sah! Kalau yang kemarin-kemarin itu dosa, paham?" ujarnya sambil terkekeh dan mengibaskan kipas ke arahnya sendiri, seperti baru saja menang undian.

Beberapa orang di ruangan menahan senyum, ada juga yang melirik ke arah Kaan dengan penuh rasa ingin tahu. Murni menunduk dalam-dalam, pipinya memerah. Sementara Kaan, tampak gugup, ia perlahan mendekat dan menatap Murni sejenak, seolah meminta izin secara diam-diam. Murni tidak berkata apa-apa, tapi tak juga menolak.

Dengan satu gerakan perlahan, Kaan mengecup kening Murni. Singkat. Penuh rasa segan, tapi juga hormat. Dan saat itu pula, suasana yang sempat runyam berubah menjadi haru dan tenang kembali.

.

.

.

Waktu melaju cepat. Langit malam kini menggantung tenang di atas atap rumah sederhana milik keluarga Murni. Kaan berdiri di depan pintu rumah itu, memandangi bangunan kecil yang tampak ringkih, nyaris seperti gubuk di matanya.

Dindingnya terbuat dari papan kayu yang warnanya sudah memudar dengan kondisi kayunya yang sudah lapuk, serta atap rumahnya yang bergelombang tak rata. Tapi Murni tampak biasa saja, bahkan dengan ringan berkata, "Ayo masuk."

Dengan langkah ragu, Kaan mengikuti istrinya melewati ruang tamu sempit yang menyatu dengan ruang makan kecil. Aroma tanah dan kayu begitu kentara. Ketika mereka sampai di depan pintu kamar, dua sosok anak laki-laki tiba-tiba keluar dengan wajah malu-malu. Anak-anak itu menunduk sebentar pada Kaan, lalu bergegas menjauh.

"Sudah ya kalian tidur di luar, kamar ini sekarang punya kakakmu dan suaminya," Ucap Mita sambil menepuk kepala kedua putranya.

Si bungsu yang baru menginjak kelas tiga SD mendongak dan menatap Kaan sejenak. Namun detik berikutnya ia langsung membuang muka. Sementara anak kedua, yang baru masuk kelas enam, juga mengangguk paham.

"Iya, Mak. Kita tidur di depan juga bisa kok," ujarnya santai.

Lalu mereka menghampiri Murni dan berkata, "Kak, kami ambil bantal sama selimut dulu, ya."

Murni mengangguk, memberi ruang di pintu. Tak lama kemudian mereka keluar lagi sambil memanggul gulungan selimut dan bantal, lalu berjalan ke ruang depan.

Sementara itu, Kaan berdiri diam. Pandangannya menyapu seisi rumah Murni, dilihatnya plafon kayu dengan bekas rembesan air hujan, dinding yang mengelupas, perabot yang tak seberapa dan sudah terlihat tua. Semuanya terasa asing... dan sempit. Sangat jauh dari kenyamanan yang ia kenal. Bahkan kamar yang sekarang akan ia tempati bersama Murni pun hanya cukup untuk satu tempat tidur kecil dan sebuah lemari reyot di pojok ruangan.

Tapi di antara semua kesederhanaan itu, ada tawa kecil Murni yang menyapa adik-adiknya dengan tulus. Cahaya lampu yang remang-remang justru membuat wajah gadis itu tampak hangat. Kaan mematung sejenak, merasa seperti melihat sisi lain dari dunia yang belum pernah ia sentuh.

"Maaf ya, nak Kaan," suara lembut ibu Murni memecah lamunannya, "Rumah kami kecil. Mungkin kamu sesak tinggal di sini."

Kaan terdiam beberapa detik, lalu tersenyum kecil.

"No, tidak perlu minta maaf, bu. Rumah yang bisa mempertemukan keluarga, yang penuh dengan kehangatan dan tawa... itulah rumah yang baik. Besar atau kecil itu cuma soal pandangan," ujarnya pelan namun penuh makna.

Ibu Murni tampak sedikit tersentuh. Ia hanya mengangguk pelan sambil tersenyum haru, sebelum berkata, "Kalau begitu, kalian istirahat ya. Besok pasti capek."

Kaan kembali menatap Murni yang sedang merapikan tempat tidur, perlahan ia masuk dan sedikit terkejut ketika lantai kayu di kamar murni yang mengeluarkan suara berderit, membuat Kaan terkejut.

"Pelan-pelan mas!" Spontan Murni bergerak mendekati Kaan, "kayu bagian itu sudah tua, m-mas Kaan bisa lewat di sampingnya."

Mendengar itu Kaan beralih melewati sisi lainnya dengan perlahan, degupan jantungnya masih berdebar, efek terkejut dengan lantai kayu itu.

.

.

.

Malam kian larut. Suasana hening hanya diiringi suara jangkrik dari luar rumah yang sunyi.

Murni duduk di kursi plastik sembari menggenggam cermin kecilnya untuk melihat pantulan wajahnya. Jemarinya perlahan mengusap kapas lembut yang telah dibasahi cairan pembersih wajah ke pipinya. Make-up yang sejak tadi menempel, satu per satu memudar, memperlihatkan wajah aslinya yang polos, bersih, dan sederhana.

Di balik pantulan kaca kecil itu, Murni bisa melihat Kaan yang duduk di sisi ranjang. Pria itu tampak sedang mengamati tiap sudut kamar, mulai dari dinding kusam yang mulai retak, lemari kayu tua yang bunyinya berdecit tiap dibuka, dan langit-langit kamar yang menurun sedikit di salah satu sisi.

Murni merasa perih di hatinya. Ia menunduk, menyembunyikan rasa malu yang merayap di wajahnya. Ia takut. Takut Kaan merasa kecewa. Takut pria itu ilfeel karena rumah mereka terlalu kecil, terlalu biasa, dan reyot.

Namun sebelum ia tenggelam lebih dalam dalam kekhawatiran, suara ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunannya.

Tok tok tok.

Murni segera bangkit, menghampiri pintu dan membukanya. Di sana ibunya tengah memeluk sebuah kasur kapuk usang yang warnanya sudah memudar.

"Kasih ke suami mu, biar dia bisa tidur lebih nyaman malam ini." Mita menyodorkan kasur itu dengan senyum hangat, meski terlihat lelah.

"Lho, emak tidur pakai apa nanti?" tanya Murni cepat sambil menahan kasur itu.

Ibunya terkekeh pelan, menepuk pelan lengan putrinya.

"Ya tidur bareng Bapakmu, kayak zaman dulu. Namanya juga pengantin baru, masa kalian sempit-sempitan. Biar nyaman dikit ya," balasnya terdengar jenaka.

Murni diam, hatinya kian menghangat. Ia mengangguk pelan, memeluk kasur pemberian ibunya.

"Makasih Mak." Ujarnya singkat, Miya tersenyum hangat lalu kembali ke kamarnya.

Dari dalam kamar, Kaan menoleh melihat Murni membawa kasur tambahan. Ada getaran aneh yang merayap di dadanya, bukan karena rasa tidak nyaman, tapi karena hatinya tiba-tiba dipeluk rasa haru yang perlahan menelusup hatinya.

Meskipun malam itu berlalu dalam keheningan, namun bukan berarti nyaman bagi Kaan. Ia belum terbiasa tidur di ruangan sempit seperti kamar ini, yang setiap celahnya seakan mengundang suara dari luar untuk masuk tanpa izin. Udara malam yang lembap merayap pelan, dan orkestra alam berupa suara jangkrik serta desahan angin malam membuat matanya sulit terpejam.

Sebelumnya, Murni sempat memintanya tidur di ranjang. Namun dengan nada tenang, Kaan menolak. Ia tak tega merebut tempat tidur yang jelas menjadi milik gadis itu, dan akhirnya memilih menggelar kasur di lantai.

Meski tubuhnya belum terbiasa dengan kondisi seperti itu, ia tetap berusaha memejamkan matanya hingga menjelang subuh, barulah rasa kantuk benar-benar menguasainya.

.

.

.

Keesokan harinya, sinar matahari pagi menelusup lewat celah dinding kayu, menyilaukan pelupuk matanya yang masih berat. Perlahan, kelopak mata Kaan terbuka. Dan seketika pandangannya langsung disambut oleh langit-langit ruangan yang terlihat asing dan berdebu serta dipenuhi dengan sarang laba-laba yang menggantung tenang di sudutnya

Ia segera mengubah posisinya menjadi duduk, pandangannya menyapu ke seluruh sudut kamar, hingga akhirnya, ia menyadari ranjang tempat gadis yang kini telah berstatus menjadi istrinya itu sudah kosong, membuat pikirannya bertanya-tanya kemana gadis itu pergi.

Dengan langkah cepat, ia segera keluar dari kamar, lalu pergi ke luar, namun tidak mendapati siapapun di dalam rumah. Hingga begitu ia keluar menuju teras, ia akhirnya menemukan kehadiran bu Mita yang sedang menyapu halaman depan rumah dengan sapu lidi.

Perempuan paruh baya itu sontak berhenti menyapu ketika melihat Kaan muncul dari dalam rumah, wajahnya masih terlihat mengantuk dan rambutnya sedikit berantakan.

"Lho, Nak Kaan..." sapanya heran, memiringkan kepala sedikit. "Kok kelihatan bingung begitu?"

Kaan berdiri kaku sejenak, matanya masih menyusuri sekitar halaman seolah mencari seseorang.

“Di mana... Murni?”

"Oh, Murni?” Bu Mita tertawa kecil, nada suaranya ringan, khas ibu-ibu desa yang hangat. “Ya kerja, nak. Jam segini dia sudah berangkat kerja."

"Kerja?” Kaan mengerutkan dahi, seolah mencerna informasi baru itu dengan lambat. “Dia bekerja?"

“Iya.” Jawab bu Mita sambil menyandarkan sapunya ke tembok, lalu menepuk-nepuk telapak tangannya yang terasa dipenuhi debu, "Katanya sayang kalau ndak masuk, takut gajinya dipotong."

Ada sesuatu yang mengendap di dada Kaan saat mengetahui informasi itu. Sebuah perasaan yang antara terkejut, kagum, dan... sedikit bersalah mulai menyentil benaknya.

Melihat raut bingung Kaan yang belum juga luntur, bu Mita menambahkan dengan lembut, “Ayo masuk dulu, nak. Ibu udah masak sarapan. Masih hangat, lho.”

Perlahan bu Mita masuk lebih dulu ke dalam, sementara Kaan masih terdiam sembari mengikuti bu Mita ke dapur.

Begitu memasuki dapur, Kaan seolah melangkah ke dunia yang belum pernah ia singgahi sebelumnya. Ruangannya tersebut terbilang cukup sempit, dan hanya diterangi cahaya matahari yang masuk dari celah jendela tanpa kaca. Udara di dalamnya terasa hangat karena sisa panas dari aktivitas memasak.

Ketika pandangannya mengamati dapur itu, manik matanya langsung tertumbuk pada peralatan dapur yang usianya tampak tak muda lagi. Beberapa panci terlihat menghitam, terlihat dibagian bawahnya penuh bekas gosong dan noda karat, seolah menjadi saksi bisu dari ribuan kali proses memasak di atas api.

Di sudut dapur, ada tungku besar dari bata merah, yang kini sudah tak lagi digunakan karena bu Mita sudah beralih ke kompor gas kecil yang diletakkan di atas meja kayu tua yang sedikit goyah.

Bu Mita tampak sibuk berjalan ke sana kemari, memindahkan lauk-pauk dari panci ke mangkuk. Gerakannya cekatan, seperti sudah hafal ritme pagi hari yang penuh aktivitas. Satu per satu, mangkuk itu ia letakkan di atas meja makan kecil di tengah dapur.

"Silakan dimakan, nak Kaan," ucapnya dengan suara hangat. "Cuma ini aja lauk yang ibu punya... ala kadarnya saja."

Di atas meja, hanya ada sepiring tahu dan tempe goreng, semangkuk sayur bayam bening, sambal tumis yang tampak merah menyala, dan lalapan berupa potongan timun segar. Sederhana, tapi semua tampak bersih dan menggugah selera dengan caranya sendiri.

Kaan tersenyum, lalu mengangguk. "No problem, bu. Terima kasih banyak."

Lalu ia mulai menyendok nasi ke piring, kemudian mengambil sepotong tahu dan sedikit sayur bayam. Pandangannya sempat tertumbuk pada sambal, namun ia urung untuk mengambilnya, sebab ia sudah bisa menebak kalau makanan itu akan terasa sangat pedas, dan ia memang tidak tahan makanan pedas.

Meski rasanya masih terasa asing di lidahnya, Kaan makan dengan tenang. Setiap suapan ia kunyah perlahan, tanpa mengeluarkan komentar apapun, sebab ia tahu kalau makanan sederhana ini dibuat dengan sepenuh hati, dan ia sangat menghormati hal itu.

Suasana dapur tampak tenang dan hanya ada suara gesekan sendok dan piring dari bu Mita yang tengah mencuci peralatan bekas memasak. Sesekali terdengar angin menyusup lewat celah dinding kayu, membawa aroma tanah dan dedaunan basah sisa embun pagi.

Hingga tiba-tiba, suara keras bu Mita memecah keheningan.

“Ya Allah...!” Seru bu Mita dengan nada tinggi, membuat Kaan sontak menoleh, hingga refleks berdiri dari duduknya.

“Ada apa bu?!” tanyanya cepat, melangkah mendekat.

Bu Mita tampak tengah memegangi sebuah rantang bekal berwarna hijau yang masih tertutup rapi. Ekspresi campur aduk antara panik dan kesal tercetak jelas di wajahnya.

"Ih, anak ini... Bekalnya ketinggalan!” gumamnya gusar. “Murni tadi buru-buru banget, sampe lupa bawa bekal makannya!”

Kaan terdiam sejenak, sembari menatap rantang bekal itu.

“Kalau begitu, biar saya saja yang antarkan, bu.”

Bu Mita mengangkat wajahnya, terkejut namun juga tersentuh. “Lho... kamu nggak keberatan, nak?”

Kaan tersenyum ringan. “No, saya memang belum ada kegiatan juga. Sekalian jalan-jalan sebentar.”

Senyuman bu Mita merekah, lalu ia mengangguk pelan. “Ya udah. Tempat kerjanya ndak jauh kok, di ujung kampung sana, deket warung bertuliskan nama bu 'Rasmi'. Ada bangunan semi-permanen, nah disitu tempat tempat Murni bekerja. Cuma jalan kaki aja udah nyampe.”

Kaan mengangguk, sekaligus menghafal petunjuk yang diberikan.

Setelah selesai makan dan bersiap-siap. Rantang bekal itu kini sudah berada di tangannya, dan barulah ia melangkah keluar rumah menuju lokasi tempat Murni bekerja. Meski tak sepenuhnya yakin akan arah, ia mencoba mengandalkan ingatannya, dan mengikuti petunjuk yang tadi diberikan.

Pagi itu, jalan tanah tampak sudah mengering setelah semalaman disiram embun. Burung-burung berkicau dari atas dahan, dan anak-anak kecil terlihat berlarian di kejauhan. Kaan melangkah santai sembari menenteng rantang bekal di tangannya, dan sesekali membalas sapaan hangat dari para bapak-bapak yang lewat atau sedang duduk di depan rumah mereka.

“Eh, itu suaminya Murni, ya?” bisik seseorang.

“Lho, iya... yang bule itu, ya? Wah, beneran tinggal di sini, toh.”

Ia hanya tersenyum kecil menanggapi lirikan dan gumaman yang tak bisa ia pahami seluruhnya, tapi ia bisa menebak bahwa kehadirannya menimbulkan rasa penasaran banyak orang.

Beberapa menit kemudian, Kaan tiba di sebuah bangunan besar yang tampak seperti gudang. Dinding-dindingnya terbuat dari seng-seng yang tinggi dan kokoh, namun terlihat tua dan berkarat di beberapa bagian.

Seketika bau kelapa kering yang menyengat langsung menyambut indra penciumannya, bercampur dengan terpaan debu serabut kelapa. Di halaman depannya, terlihat tumpukan tempurung dan serabut kelapa berserakan, sebagian besar ditata rapi, sementara sebagian lagi masih dalam proses penyortiran.

Kaan mendekati area kerja dan menghampiri seorang pria tua yang sedang memikul karung besar.

“Permisi... Disini ada pekerja yang bernama Murni?” Tanyanya dengan sopan.

Pria itu menoleh, memandangnya dari atas ke bawah, lalu mengangguk.

“Oh, ada. Masuk aja ke dalam, di bagian belakang. Lagi sortir batok kayaknya.”

Kaan mengangguk lalu melangkah masuk lebih jauh ke dalam gudang. Begitu ia sudah masuk ke dalam, seketika suara alat mesin kerja dan tumpukan batok memenuhi area dalam gudang itu segera menyambutnya.

Begitupun dengan tatapan semua para pekerja yang kini tertuju padanya. Sebagian besar dari mereka adalah ibu-ibu dan janda muda. Sebagian dari mereka melontarkan tatapan penuh rasa ingin tahu dengan sosok Kaan.

“Siapa dia, ya?” bisik seseorang di pojok ruangan.

"Ganteng amat... bule, ya?” komentar yang lain.

“Pantesan aja si Murni bisa sampai khilaf... kalau suaminya kayak gini mah, siapa juga nggak kepincut?”

“Katanya dari luar negeri, ya? Gila, kayak sinetron beneran...”

Kaan berdiri tegak di ambang pintu gudang besar itu, tatapannya mengamati ruangan yang dipenuhi batok kelapa, debu, dan aroma panas matahari yang memantul dari seng. Serabut-serabut kelapa beterbangan di udara. Di tengah hiruk-pikuk itu, matanya menangkap sosok Murni. Ia mengenakan pakaian kerja lusuh, sepatu boots penuh debu, dan caping lebar yang menutupi sebagian wajahnya. Gadis itu tampak sedang menyusun batok kelapa ke atas tumpukan.

Penampilannya sangat jauh dari saat pertama kali Kaan melihatnya. Kini, ia tampak lelah, penuh debu, dan benar-benar tenggelam dalam pekerjaan berat. Tapi entah mengapa, justru ada sesuatu yang membuat Kaan tak bisa mengalihkan pandangannya dari sosok tersebut.

Perlahan, ia melangkah mendekat, berusaha menembus suara gemuruh pekerjaan.

“Murni...!”

1
Nar Sih
semoga murni baik,,sja ngk ada yg jht atau menganggu nya di saat sang suami gk ada
Nar Sih
pasti nih musuh mu dtg lgi kaan ,kmu hrus hti,,dan waspada ada istri lugu mu yg perlu kau jga
Nar Sih: siip kakk lanjutt
Lucy: Kayaknya Murni ini harus dimodifikasi lah🗿
total 2 replies
Nar Sih
murni cerminan istri yg soleha untuk mu kaan ,dia nurut apa kta suami dan patuh bersyukur lah kmu punya istri seperti murni ,walau pernikahan kalian mendadak ,dn blm ada rasa cinta ,tpi yakin lah rasa itu akan tumbuh dgn berjln nya waktu
Nar Sih
murni ,stlh ini kmu harus siap ,,jdi wanita tangguh msuk dlm keluarga suami mu yg bnyk memusuhi nya
Lucy: nah ini aku dalam masa persiapan kak buat mengotak-atik Murni/Determined/
total 1 replies
Nar Sih
murni pasti kaget begitu masuk rmh suami nya seperti masuk istana dogeng ,
Lucy: banget
total 1 replies
Ray Aza
yuuuuuhhhh.... peran murni makin tenggelam euy!
ga cocok msk ke circle kaan. 😅😅😅
aq plg ga suka sm tokoh pajangan yg bermodal baik hati & cantik aja tp ga pny kontribusi apa2 di alur cerita. 🤣🤣🤣
Lucy: nice, thanks sarannya😭🫰
Ray Aza: lha ampe eps 20 peran murni sbg tokoh utama blm keliatan sm sekali e. awal nongol mlh jd tokoh tertindas dibully sana sini, strata sosial rendah, pendidikan minim, pekerjaan pilu, fisiknya cantik ga sih? lupa diskripsinya. wkwkwkkk... artinya sejak awal ga kenotice jd hilang dr memori. terlalu berat manjat ke circle kaan. ayo sis km gembleng dl biar kek tokoh cewe di novel seblmnya. sdh ga jamannya cewek cm sebagai obyek
total 3 replies
Nar Sih
penasaran nih kak sbnr nya siapa kaan sbnr nya kak bnyk musuh dan siapa wanita itu
Nar Sih: siiap kak ,mohon up tiap hari ya kak👍🙏
Lucy: bakal terjawab di chapter selanjutnya
total 2 replies
Nar Sih
kira,,siapa pelaku pemembakan itu ya ,mungkin kah musuh kaan..hnya othor yg tau
Lucy: /Proud/
total 1 replies
Nar Sih
semagat y murni jgn sedihh ..suami mu pasti menjaga mu ,trus kira,,siapa yg telpon kaan ,semoga bukan org jht ya
Nar Sih
mungkin memang awal blm ada rasa antara kalian tpi ...yakin lah cinta pasti dtg pada kalian dgn berjln nya waktu ,murni kmu harus siap ikut i suami mu ya
Lucy: oke kak
Nar Sih: ditunggu bab selanjut nya kakk👍
total 3 replies
Nar Sih
dasar orang kok aneh lastri,iri dengki dgn saudara sendiri ,
Lucy: ya biasa kan kalau emak" rempong itu emang gitu kak
total 1 replies
Nar Sih
waah...bu lastri mulai panas nih dan pasti nya disertai iri dengki pada kehidupan murni sekeluarga yg notaben nya msih keluarga nya
Ray Aza
kalo di novel halu lainnya lgsg dibuatin mansion tuh... ada garasi jet pri (dikira odong2 x ya ga perlu perijinan otoritas bandara setempat) 😅😅😅
Lucy: 😭di luar nalar, bahkan kadang bingung
total 1 replies
Nar Sih
semoga murni dan kaan sgra menjdi psngn suami istri yg sesungguh nya ,
Lucy: Aaminn
total 1 replies
Nar Sih
sabarr murni ,percayalah di balik duka pasti ada suka ,
Nar Sih
lanjutt kakk ,
Nar Sih: ,👍👍💪💪🥰
Lucy: wah makasih banget, aku suka dan makin termotivasi deh🫰
total 4 replies
Nar Sih
alhamdulilah murni kmu dpt ibu mertua yg baik
Nar Sih
seperti nya calon pelakor udh mulai hadir nih
Lucy: /Doge/
total 1 replies
Nar Sih
nikah dadakan moga bisa membuat pegantin bru ini bahagia
Nar Sih
cerita nya bagus kakk,👍
Lucy: makasih kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!