"Angin dari Gunung Kendan" adalah kisah epik tentang Rangga Wisesa, seorang pemuda yang hidup sederhana di Desa Ciwaruga tetapi menyimpan dendam atas kehancuran keluarganya. Sebuah prasasti kuno di Gunung Kendan mengubah hidupnya, mempertemukannya dengan rahasia ilmu silat legendaris bernama Tapak Angin Kendan. Dalam perjalanannya, Rangga menghadapi dilema moral: menggunakan kekuatan itu untuk balas dendam atau menjadi penjaga harmoni dunia persilatan. Dengan latar penuh keindahan budaya Sunda dan dunia persilatan yang keras, cerita ini mengisahkan pertarungan fisik, spiritual, dan batin di tengah konflik yang memperebutkan kekuasaan ilmu sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Topannov, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Benteng Terakhir
Rangga, Larasati, dan Ki Jayeng Larang menemukan jalur lain menuju puncak Gunung Kendan. Mereka tiba di sebuah lembah sempit yang dijaga oleh jebakan kuno. Dalam perjalanan ini, mereka menyadari bahwa musuh telah mempersiapkan perangkap yang lebih berbahaya, dan mereka harus mengandalkan keberanian serta kerja sama untuk melaluinya.
---
Matahari mulai turun di langit barat, meninggalkan semburat jingga yang menyelimuti puncak Gunung Kendan. Udara semakin dingin, dan langkah Rangga terasa berat saat ia menyeberangi jalan berbatu yang curam. Di belakangnya, Larasati berusaha menjaga keseimbangan, sementara Ki Jayeng Larang berjalan perlahan dengan tongkat kayunya.
“Aku nggak ngerti, Ki,” kata Rangga sambil berhenti sejenak untuk menarik napas. “Kalau mereka tahu jalan yang lebih cepat, kenapa mereka nggak langsung menyerang tempat itu?”
“Karena mereka takut,” jawab Ki Jayeng tanpa ragu. “Gunung Kendan tidak hanya menyimpan rahasia, tetapi juga pelindung. Bahkan musuh sekuat mereka akan berpikir dua kali sebelum melangkah terlalu jauh.”
“Pelindung?” Larasati mengulang dengan nada bingung. “Maksud Ki Jayeng, ada sesuatu di sini yang melindungi gunung ini?”
Ki Jayeng menoleh, tatapannya serius. “Tapak Angin Kendan bukan hanya ilmu. Ini adalah bagian dari kekuatan alam. Dan seperti semua kekuatan besar, ia memiliki penjagaannya sendiri. Tapi kita tidak punya waktu untuk membahas itu sekarang. Musuh kita sudah terlalu dekat dengan kunci terakhir.”
Rangga hanya mengangguk. Meski pikirannya penuh dengan pertanyaan, ia tahu bahwa ini bukan saatnya untuk mencari jawaban. Mereka harus terus bergerak, atau segalanya akan terlambat.
---
Jalur yang mereka lewati semakin sulit. Batu-batu besar berserakan di sepanjang jalan, dan beberapa kali mereka harus memanjat dinding batu yang licin karena air yang mengalir dari puncak. Larasati, yang masih lemah setelah luka-lukanya, nyaris terpeleset beberapa kali, tetapi Rangga selalu sigap membantunya.
“Terima kasih,” katanya pelan sambil mengatur napas.
“Sudah tugasku,” jawab Rangga singkat, meski ia sendiri sudah kelelahan.
Setelah beberapa jam, mereka tiba di sebuah lembah sempit yang dikelilingi oleh tebing tinggi. Jalan setapak yang mereka ikuti berakhir di sebuah gerbang batu besar yang dipenuhi ukiran kuno. Di atas gerbang itu, terlihat simbol lingkaran yang sama seperti yang ada di prasasti.
“Ini dia,” kata Ki Jayeng sambil menunjuk gerbang itu. “Ini adalah Benteng Kendan. Tempat ini adalah pintu terakhir sebelum kita mencapai puncak.”
“Tapi bagaimana cara kita masuk?” tanya Rangga, memeriksa gerbang itu. Tidak ada pegangan atau celah untuk membukanya.
Ki Jayeng tersenyum tipis. “Kunci untuk gerbang ini bukanlah tangan, tetapi angin.”
“Angin lagi?” Larasati mengerutkan dahi. “Kenapa semua di tempat ini selalu berkaitan dengan angin?”
“Karena itu adalah inti dari Gunung Kendan,” jawab Ki Jayeng. “Sekarang, Rangga, kau harus mendengarkan baik-baik. Kau sudah belajar merasakan angin. Sekarang, kau harus mengendalikannya.”
Rangga menatap gerbang itu dengan ragu. “Bagaimana caranya?”
“Percayalah pada instingmu,” jawab Ki Jayeng. “Gunakan tongkatmu untuk mengarahkan aliran angin. Jangan terlalu keras, tetapi juga jangan terlalu lembut.”
Rangga menarik napas panjang, lalu melangkah mendekati gerbang. Ia memejamkan mata, mencoba merasakan angin di sekitarnya. Udara yang dingin bergerak pelan di antara celah-celah batu, dan ia mencoba menyelaraskan dirinya dengan aliran itu.
Dengan gerakan lambat, ia mengayunkan tongkatnya, mengikuti arah angin. Pada awalnya, tidak ada yang terjadi, tetapi perlahan-lahan, suara gemuruh mulai terdengar dari dalam gerbang.
“Itu dia, Rangga!” seru Ki Jayeng. “Teruskan!”
Rangga mengayunkan tongkatnya lagi, kali ini lebih percaya diri. Angin mulai berputar di sekitar gerbang, menciptakan pusaran kecil yang semakin lama semakin besar. Ukiran di gerbang itu mulai bersinar, dan akhirnya, dengan suara gemuruh yang keras, gerbang itu terbuka.
Brakkk!
Larasati menutup telinganya, sementara Rangga dan Ki Jayeng tetap berdiri tegak, menatap ke dalam lorong gelap di balik gerbang itu.
“Bagus sekali, Nak,” kata Ki Jayeng sambil menepuk bahu Rangga. “Sekarang kita masuk.”
---
Lorong di balik gerbang itu gelap dan sempit. Dinding-dindingnya dipenuhi ukiran yang menceritakan kisah-kisah lama tentang Gunung Kendan dan ilmu Tapak Angin Kendan. Rangga berjalan di depan, tongkatnya terangkat untuk berjaga-jaga, sementara Ki Jayeng dan Larasati mengikuti di belakang.
“Ki, apa ini benar-benar jalur ke puncak?” tanya Larasati, suaranya bergema di dalam lorong.
“Ya,” jawab Ki Jayeng. “Tapi ini juga jalur yang paling berbahaya. Banyak jebakan yang dirancang untuk melindungi tempat ini dari mereka yang berniat buruk.”
Belum sempat ia menjelaskan lebih jauh, lantai di bawah mereka tiba-tiba bergetar. Rangga menghentikan langkahnya, memandang ke bawah dengan waspada.
“Ada apa ini?” Larasati bertanya panik.
“Tetap tenang!” kata Ki Jayeng. “Jangan bergerak sembarangan.”
Namun, sebelum mereka sempat bereaksi, lantai di depan mereka runtuh, membuka lubang besar yang gelap dan dalam. Rangga mundur dengan cepat, nyaris kehilangan keseimbangan.
“Kita harus lebih hati-hati,” kata Ki Jayeng, matanya menyusuri lorong itu dengan cermat. “Ini baru jebakan pertama.”
Mereka melanjutkan perjalanan dengan langkah yang lebih hati-hati. Beberapa kali, mereka harus melompati lubang atau menghindari tombak yang tiba-tiba muncul dari dinding. Rangga mulai merasa tubuhnya semakin lelah, tetapi ia tahu bahwa mereka tidak bisa berhenti sekarang.
Akhirnya, setelah melewati banyak rintangan, mereka tiba di ujung lorong. Di sana, mereka menemukan sebuah ruangan besar dengan langit-langit tinggi. Di tengah ruangan itu, sebuah prasasti besar berdiri, dikelilingi oleh cahaya redup.
“Ini dia,” kata Ki Jayeng, suaranya penuh kekaguman. “Prasasti terakhir dari Tapak Angin Kendan.”
Rangga melangkah maju, matanya terpaku pada prasasti itu. Namun, sebelum ia sempat mendekat, suara tawa dingin terdengar dari belakang mereka.
“Bagus sekali. Kalian telah membukakan jalan untuk kami.”
Mereka semua berbalik, dan di sana, berdiri seorang pria tinggi dengan jubah hitam, wajahnya tertutup topeng. Di belakangnya, tiga pria berpakaian hitam lainnya berdiri dengan senjata terhunus.
“Kalian!” Rangga menggertakkan giginya, memegang tongkatnya dengan erat.
Pria bertopeng itu hanya tertawa kecil. “Terima kasih telah membawa kami ke sini. Sekarang, kami akan mengambil apa yang seharusnya menjadi milik kami.”
Pertarungan pun dimulai.
---
Rangga dan kelompoknya akhirnya mencapai prasasti terakhir, tetapi musuh telah menyusul mereka. Pertarungan besar di Benteng Kendan akan menentukan siapa yang akan menguasai rahasia Tapak Angin Kendan.
tdk semua ngerti bahasa daerah lainnya