"Untukmu Haikal Mahendra, lelaki hebat yang tertawa tanpa harus merasa bahagia." - Rumah Tanpa Jendela.
"Gue nggak boleh nyerah sebelum denger kata sayang dari mama papa." - Haikal Mahendra.
Instagram : @wp.definasyafa
@haikal.mhdr
TikTok : @wp.definasyafa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon definasyafa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
⋆˚𝜗 Lengkara 𝜚˚⋆
... “Buat denger kata sayang dari Mama Papa se-mustahil itu ya?” - Haikal Mahendra....
Kedua tangan itu terlihat mengelus batu nisan di depannya, hembusan angin sore itu menerpa badan yang kini meringkuk dengan tas ransel besar yang masih setia menempel di punggungnya. Raut wajah kelelahan serta sorot mata sayu terpancar jelas pada diri Haikal.
“Nek, maafin Haikal ya, maaf karena Haikal nggak bisa jagain rumah Nenek. Mama sama Papa lagi butuh uang buat buka usaha, jadi rumah peninggalan Nenek itu terpaksa di jual Nek.” Haikal menceritakan semuanya pada Nenek-nya, seakan Nenek-nya itu benar-benar berada di hadapannya.
“Nek, Haikal pengen di sini dulu nemenin Nenek, boleh kan? Haikal pengen tidur sambil meluk Nenek. Nenek tau, selama Nenek nggak ada Haikal nggak pernah tidur nyenyak. Haikal cuma bisa tidur selama 2 jam, itu pun dengan perasaan cemas, sedih semua jadi satu Nek.”
Dari dulu, memang hanya Nenek-nya lah tempat Haikal pulang, Nenek adalah satu-satunya rumah yang Haikal punya. Tapi sekarang justru rumah itu harus direnggut dari hidup Haikal untuk selamanya. Tak apa, mungkin Tuhan mengambil Nenek-nya dari hidup Haikal sebab Tuhan lebih menyayangi Nenek-nya, dan Nenek-nya itu pasti sudah sangat bahagia sekarang di atas sana.
Haikal tersenyum tipis menata batu nisan bertulisan nama almarhum sang Nenek , kemudian lelaki itu memeluk gudukan tanah di depannya seakan dia benar-benar memeluk sosok wanita paruh baya itu.
“Semustahil itu ya Nek denger kata sayang dari Mama Papa?” Kedua mata sayu itu menatap kosong batu nisan milik Nenek-nya, kepalanya penuh memikirkan nasib hidupnya sekarang, hidup berantakan seorang diri di kota besar seperti ini.
Haikal bingung harus bagaimana sekarang, jujur dia lelah, pundaknya sangat amat berat, kepalanya berisik, dan kakinya yang seakan sudah tidak mampu lagi hanya sekedar untuk berdiri. Haikal ingin menyerah, tapi tujuan hidupnya belum bisa dia dapatkan. Bahkan ini bukan akhir dari hidupnya, ini baru awal dari kehidupan baru yang sesungguhnya.
Kedua tangan itu semakin mengeratkan pelukannya, “Nek, suatu saat kalau Haikal udah bener-bener capek, jemput Haikal pulang ya Nek, Haikal pengen ikut Nenek.”
...᭝ ᨳ☀ଓ ՟...
Di tengah sepinya jalanan malam ini kaki itu terus melangkah gontai dengan tas punggung besar sebagai penambah beban di kedua pundaknya. Mata sayu itu menatap sekeliling jalanan menuju apartemen miliknya berada, mobil serta motor sudah jarang ada yang berlalu lalang sebab sekarang sudah hampir tengah malam. Setelah sore tadi di mana Haikal yang tanpa sengaja tertidur sebari memeluk makam Nenek-nya dan malam ini dia memutuskan untuk segera berjalan ke apartemen nya agar cepat bisa mengistirahatkan badannya.
Berjalan, ya Haikal lebih memilih berjalan agar dapat menghemat uangnya. Dia ingin menabung untuk membeli handphone agar dapat menghubungi kedua orang tuanya nanti. Haikal hanya ingin sekedar bertukar pesan pada Mama dan Papa-nya tanpa ada niatan untuk merusak kebahagiaan mereka.
Kriyuk...
“Ck, mana pake segala laper lagi.” Jari-jemari Haikal meremat perutnya berharap rasa lapar itu dapat segera menghilang.
Lelaki itu baru makan tadi pagi itu pun hanya dengan nasi goreng buatannya semalam, jadi tidak salah jika dia sangat merasa lapar sekarang. Kaki itu berhenti melangkah, kepala Haikal menunduk untuk menatap perutnya dengan dua tangan yang masih meremat perut itu dari luar kaos hitam miliknya.
“Sabar, bentar lagi sampek apartemen dan gue bakal langsung bikin mie instan buat lo semua cacing-cacing yang ada di dalam perut gue, oke cacing.”
Tin...
Tin...
Motor besar berwarna navy berhenti tepat di samping Haikal, lelaki pemilik motor itu melepas helm full face yang menutupi kepalanya. Kemudian menatap lekat Haikal dari ujung sandal selop lelaki itu hingga rambut hitam legam yang sudah sedikit berantakan dengan dahi menyerngit.
“Lo ngapain tengah malem disini, Kal? Pake segala bawa tas lagi, lo lagi pindahan?”
Haikal menghembuskan nafas beratnya sambil menatap sahabatnya itu sekilas, “iya gue mau pindah ke apartemen, lha lo sendiri ngapain malam-malam kelayapan Cak?”
“Pindah ke apartemen? Emang kenapa sama rumah lo? Terus kenapa pindahnya harus semalem ini, kenapa nggak besok aja?” Tanya Cakra tanpa menjawab pertanyaan Cakra sebelumnya.
Haikal terdiam sebentar sebelum melangkahkan kakinya menuju jok motor Cakra bersiap untuk menaiki motor itu, “panjang ceritanya, mending lo anterin gue dulu ke apartemen depan. Kaki gue rasanya udah kayak mau lepas jalan dari rumah sampek ke sini.”
Cakra berdecak namun dia tetap membiarkan Haikal menaiki motornya, “nggak ada yang suruh lo jalan bego.”
“Yakan sambil olah raga nyet.”
Lelaki keturunan Tiongkok itu kembali memakai helm-nya kemudian menjalankan motornya meninggalkan jalanan itu menuju apartemen yang berada tak jauh dari tempatnya saat ini tanpa menjawab ucapan tak bermanfaat Haikal.
Gedung luas yang menjulang saat tinggi itu kini akan menjadi tempat yang selalu Haikal kunjungi. Tempat tinggal yang dulunya sederhana dengan halaman yang dipenuhi tanaman-tanaman kecil hasil hobi dari sang Nenek, kini Haikal sudah tidak bisa lagi menikmati pemandangan itu.
Bahkan belum ada satu hari dia meninggalkan rumah tempat di mana dia dibesarkan, Haikal sudah merindukannya. Rumah sederhana dengan kenangan yang luar biasa, momen-momen di mana dirinya bersama Nenek dan kedua orang tuanya tercetak jelas di tempat itu.
Dua lelaki itu memasuki apartemen nomor 106 yang berada di lantai 6 dari gedung tinggi tersebut. Pemandangan pertama yang mereka lihat adalah satu sofa panjang dan meja kaca yang ada di depannya, tak lupa satu televisi terletak di atas nakas. Tak jauh dari situ juga terdapat dapur kecil namun sudah lengkap dengan berbagai alat masaknya, di dekat dapur terdapat kamar mandi tak jauh dari kamar mandi juga terdapat kamar yang terlihat sangat sederhana dengan satu kasur kecil serta satu lemari panjang.
Secepat kilat, Haikal kini sudah berada di dapur sekarang berkutat dengan alat masaknya agar mie instan buatannya cepat dapat dia santap. Sedangkan Cakra duduk di sofa dengan kedua kaki yang dia selonjorkan di atas meja kaca, berlagak seakan apartemen itu adalah miliknya.
“Jadi runah lo udah di jual?” Tanya Cakra saat Haikal selesai menceritakan alasan kenapa sahabatnya itu pindah ke apartemen secara tiba-tiba.
Haikal yang sibuk mengandung mie kuah buatannya pun mendongak menatap Cakra sebentar sebelum kembali fokus pada mie kuah buatannya. “iya, Mama sama Papa butuh uang buat modal usaha.”
Cakra menurunkan kedua kakinya dari atas meja dengan gerakan cepat, kemudian memutar badanya menyamping agar dapat menatap Haikal sepenuhnya. “orang tua lo gila kal, orang tua mana yang tega ngebuat hidup anaknya jadi susah kayak gini.”
Akhirnya apa yang Cakra pendam selama ini dapat dia ucapkan di depan sahabatnya itu. Sudah lama Cakra ingin mengatakan itu, tapi dia selalu menahan dirinya sebab ingin menjaga perasaan Haikal. Tapi sekarang orang tua Haikal sudah sangat keterlaluan, gila mereka benar-benar gila, pertama kali dalam hidup Cakra mengetahui ada orang tua gila seperti orang tua Haikal.
“Nih mie instan , gue yakin lo nggak pernah makan makanan kayak gini. Jadi lo harus habisin ini, gue yakin setelah ini mie instan bakal jadi salah satu menu favorit lo.” Satu tangan Haikal meletakkan mangkok berisi mie kuah di depan Cakra.
Cakra hanya diam, tapi kedua tangannya mengambil sendok dan juga garpu hendak memakan mie kuah yang masih terlihat asing di matanya. Satu suap mie kuah berhasil lolos dari tenggorokannya, kemudian tangan itu kembali menjadi menyendok mie kuah di depannya. Semua itu tak luput dari pandangan Haikal, bibir lelaki itu tersenyum tipis, baru setelahnya dia menyuap mie kuah miliknya dengan mata yang menyusuri tempat yang akan menjadi rumahnya mulai sekarang.
“Se-mustahil itu ya Haikal denger kata sayang dari Mama Papa.”