Demi menjaga kehormatan keluarga, Chandra terpaksa mengambil keputusan yang tidak pernah terbayangkan: menikahi Shabiya, wanita yang seharusnya dijodohkan dengan kakaknya, Awan.
Perjodohan ini terpaksa batal setelah Awan ketahuan berselingkuh dengan Erika, kekasih Chandra sendiri, dan menghamili wanita itu.
Kehancuran hati Chandra membuatnya menerima pernikahan dengan Shabiya, meski awalnya ia tidak memiliki perasaan apapun padanya.
Namun, perlahan-lahan, di balik keheningan dan ketenangan Shabiya, Chandra menemukan pesona yang berbeda. Shabiya bukan hanya wanita cantik, tetapi juga mandiri dan tenang, kualitas yang membuat Chandra semakin jatuh cinta.
Saat perasaan itu tumbuh, Chandra berubah—ia menjadi pria yang protektif dan posesif, bertekad untuk tidak kehilangan wanita yang kini menguasai hatinya.
Namun, di antara cinta yang mulai bersemi, bayang-bayang masa lalu masih menghantui. Bisakah Chandra benar-benar melindungi cintanya kali ini, atau akankah luka-luka lama kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyurincho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
From Agreement to Understanding
Chandra menatapnya serius. “Kesepakatan, kalau begitu. Kita buat perjanjian. Ini akan menjadi pernikahan yang saling menguntungkan.”
Shabiya menyilangkan tangan, menatapnya penuh minat. “Baiklah. Tapi jangan terlalu percaya diri, aku tidak akan setuju dengan semua syaratmu.”
“Pertama, kita harus terlihat sebagai pasangan yang sempurna di depan semua orang,” kata Chandra, suaranya tegas tapi tidak memaksa. “Tidak ada pertengkaran di depan publik. Tidak ada tanda-tanda ketegangan. Kita harus menunjukkan bahwa pernikahan ini nyata.”
Shabiya mengangkat bahu. “Oke, itu mudah. Tapi aku punya syarat juga.”
Chandra menyeringai. “Tentu saja. Apa itu?”
"Aku tidak akan hanya menjadi istri yang hanya tinggal di rumah saja dan menunggu suamiku pulang. Aku punya pekerjaan dan aku tidak akan meninggalkannya.”
“Tidak ada yang meminta kau meninggalkan pekerjaanmu.” Chandra mendekatkan dirinya, menempatkan tangannya di lututnya, matanya memandang tajam padanya. “Tapi aku juga tidak akan diam saja jika pekerjaan itu mulai merusak hubungan kita.”
“Oh, dan sekarang kau yang menetapkan aturan?” balas Shabiya, suaranya dingin tapi dengan senyum kecil yang menantang.
“Aku bukan hanya menetapkan aturan,” Chandra menjawab dengan lembut, suaranya menurunkan suhu udara di ruangan. “Aku menawarkan kompromi. Kita pasangan, bukan musuh. Dan sejauh ini, aku satu-satunya di ruangan ini yang mencoba bernegosiasi tanpa ancaman."
Shabiya memutar matanya, tapi ia tidak bisa menahan senyum yang mulai terbentuk di sudut bibirnya.
“Dan aku punya syarat kedua."
“Baik. Apa syaratmu?”
"Aku ingin kita saling mengenal lebih baik. Bukan hanya untuk pertunjukan, tapi untuk membuat semuanya lebih... alami.” kata Chandra, memecah keheningan dengan suara lembut. Tatapannya tajam tapi hangat, seolah ia benar-benar ingin mendengarkan, ingin memahami wanita di sampingnya ini lebih dalam dari sekadar formalitas pernikahan mereka. "Mungkin kita bisa mulai dengan hal-hal kecil. Apa yang kau suka, apa yang tidak."
Shabiya menatapnya, sedikit terkejut dengan permintaan sederhana itu. "Hal-hal kecil?"
Chandra mengangguk. "Ya. Seperti... makanan kesukaanmu? Aku tahu ini terdengar sepele, tapi aku benar-benar ingin tahu."
Shabiya tersenyum tipis, sedikit santai karena topik yang tiba-tiba menjadi ringan. “Hmm... baiklah.” Ia menarik napas, berpikir sejenak sebelum menjawab. "Aku suka makanan pedas. Apa pun yang berbau cabai, lada, bawang putih_aku akan menyukainya."
Chandra tertawa kecil, suaranya hangat. "Makanan pedas, ya? Aku harus berhati-hati kalau begitu. Aku tidak terlalu kuat dengan yang pedas."
Shabiya tersenyum lebih lebar kali ini. "Kau bisa mulai belajar. Aku akan mengajarimu.”
Ia merasa lebih nyaman seiring percakapan mengalir. Mungkin ini langkah pertama yang baik_mengenal satu sama lain lewat hal-hal sederhana. Percakapan tentang makanan, sepele memang, tapi itu memberi mereka jembatan untuk memahami siapa mereka di balik semua formalitas.
“Bagaimana denganmu?” tanya Shabiya, matanya sekarang tertuju penuh pada Chandra. "Apa yang kau suka?"
“Aku... sederhana. Aku suka kopi hitam, tanpa gula. Musik klasik, sesuatu yang menenangkan ketika aku bekerja. Dan...” Ia berhenti sejenak, matanya tertuju pada Shabiya, seolah mempertimbangkan sesuatu sebelum melanjutkan. “Aku suka keteraturan. Semuanya harus sesuai rencana, sesuai kendali.”
Shabiya mendengarkan dengan seksama, kata-kata itu membuatnya mengerti lebih dalam tentang siapa Chandra sebenarnya. 'Keteraturan.' Itu kata kunci. Chandra selalu memastikan segala sesuatu berjalan sesuai dengan kehendaknya_baik dalam bisnis, maupun dalam hidup pribadinya. Tidak heran jika ia begitu tegas dan mendominasi dalam banyak hal.
“Seperti di rumah ini,” kata Shabiya pelan, sambil mengangkat tangan dan menunjuk ke sekeliling. "Segala sesuatu diatur dengan sempurna, ya?"
Chandra mengangguk. "Aku menginginkan ruang yang tidak hanya nyaman, tapi juga terorganisir. Itu membuatku merasa... lebih fokus. Termasuk ruang untuk kita."
Shabiya merasakan jeda dalam suaranya, dan tiba-tiba, ada perasaan aneh yang menyelimutinya. Rumah ini begitu sempurna, begitu penuh perhitungan, seolah-olah Chandra telah menyiapkan setiap sudutnya dengan tujuan tertentu. Apakah rumah ini memang pernah dimaksudkan untuk orang lain?
“Apakah kau selalu seperti ini?” tanya Shabiya dengan nada pelan, mencoba untuk lebih mengenalnya. "Mengendalikan segalanya?"
Chandra memandangnya, sorot matanya sedikit berubah, lebih dalam dan penuh kerumitan. “Ya. Aku terbiasa begitu. Mungkin itu sifat burukku. Aku tidak suka ada hal yang tidak terkendali. Itu... membuatku tidak nyaman.”
Shabiya mengangguk, berpikir. “Lalu bagaimana dengan hal-hal yang tidak bisa kau kendalikan?”
Chandra tersenyum, tapi kali ini senyumnya lebih kaku, lebih tegang. “Aku belajar untuk menerimanya. Tapi itu tidak selalu mudah.”
Percakapan itu mengalir dengan pelan namun penuh makna. Mereka berbicara tentang makanan, musik, kebiasaan sehari-hari, tetapi di balik percakapan-percakapan sederhana itu, mereka saling mengamati, mencoba membaca satu sama lain. Ada sesuatu yang berlapis-lapis dalam diri mereka_dua orang yang terbiasa mengendalikan hidup mereka masing-masing, sekarang dipaksa untuk berbagi.
"Apa kau suka membaca?" tanya Chandra tiba-tiba, mencoba menggali lebih dalam.
Shabiya mengangguk. "Ya. Novel kriminal. Aku suka menebak siapa pelakunya sebelum akhir cerita."
Chandra tersenyum lagi, kali ini dengan ketulusan yang lebih dalam. "Aku bisa membayangkan itu. Kau selalu menyukai tantangan, ya?"
Shabiya menatapnya, mencoba menebak apakah itu pujian atau pengamatan. "Mungkin. Aku tidak suka hal-hal yang terlalu mudah."
Shabiya duduk di atas ranjang, melipat kakinya di bawah tubuhnya, berusaha lebih nyaman di tengah-tengah percakapan yang kini mulai terasa lebih intim. Suara derasnya lalu lintas di luar terdengar samar melalui jendela, namun dalam kamar itu, hanya ada mereka berdua. Atmosfer menjadi lebih pribadi, lebih tertutup, seolah ruangan besar itu menyempit hanya untuk mereka.
Chandra duduk di seberangnya, ekspresinya tetap tenang namun matanya tajam, mengawasi setiap reaksi Shabiya dengan seksama. Ia pria yang terbiasa membaca orang, memahami mereka melalui detail-detail kecil, sesuatu yang membantu kesuksesannya dalam dunia bisnis. Namun di sini, dalam keheningan malam, ia tidak berurusan dengan klien atau pesaing_ia berhadapan dengan istrinya, wanita yang baru saja memasuki hidupnya, dan hubungan ini jauh lebih rumit daripada kontrak bisnis.
"Aku penasaran," katanya, suaranya pelan, hampir tidak terdengar. "Mengapa kau setuju menikah denganku? Kita tidak punya pilihan, aku tahu itu. Tapi… apa yang benar-benar kau pikirkan waktu itu?"
Chandra tidak langsung menjawab. Pandangannya meredup sesaat, seolah sedang mencerna pertanyaan itu dengan hati-hati. Ia bukan tipe pria yang terburu-buru dalam menjawab hal-hal pribadi. Setelah beberapa detik keheningan, ia menarik napas dalam-dalam, menatap lurus ke arah Shabiya.
"Aku setuju karena aku melihatnya sebagai... solusi," jawabnya akhirnya, suaranya datar namun jujur. "Untuk keluargaku, untuk keluargamu. Dan untuk... memperbaiki apa yang sudah rusak."
Shabiya mengerutkan kening sedikit. "Apa yang rusak?"
"Nama keluargaku," Chandra menjelaskan lebih lanjut, tatapannya sedikit mengeras. "Keluargaku bukan tanpa cacat. Skandal yang terjadi antara Awan dan Erika merusak reputasi kami di mata banyak orang. Aku ingin membalikkan keadaan itu. Menikah denganmu adalah salah satu cara untuk melakukannya."
Shabiya menunduk sebentar, memikirkan jawabannya. Ia tahu pernikahan mereka sejak awal adalah perjanjian, lebih dari sekadar ikatan cinta, tetapi mendengar Chandra mengakuinya secara langsung membuat hatinya sedikit tergores. Namun, itu juga menegaskan sesuatu yang selama ini ia sadari_mereka adalah dua individu yang dipaksa dalam situasi yang sulit, mencoba membuat yang terbaik dari apa yang ada.
"Tapi itu bukan satu-satunya alasan," lanjut Chandra tiba-tiba, membuat Shabiya mendongak kembali. "Awalnya, mungkin memang begitu. Tapi setelah aku mulai mengenalmu, aku... merasa ada sesuatu yang berbeda. Kau bukan seperti wanita-wanita yang selama ini aku temui. Kau kuat, tangguh, dan mandiri. Dan itu... menarik."
Tatapan Chandra melembut, dan Shabiya bisa merasakan ketulusan di balik kata-katanya. Bukan hal yang sering terjadi, pria seperti Chandra menunjukkan sisi lembut atau rentan. Ia tahu Chandra berusaha melindungi dirinya dari segala macam emosi, tetapi malam ini, di kamar ini, ada sedikit celah dalam perisainya yang terbuka.
Shabiya terdiam, menimbang kata-kata suaminya. Ia tak pernah mengira Chandra akan mengungkapkan kekagumannya secara langsung, terutama di awal hubungan mereka yang canggung ini. Ada rasa hangat yang mulai tumbuh di dalam dirinya, namun ia juga tahu bahwa kehidupan bersama pria ini akan penuh dengan tantangan, terutama jika ia begitu terbiasa mengendalikan segalanya.
Chandra menatapnya sejenak, kemudian mengangguk. “Dan kau? Apa yang kau pikirkan saat menerima perjodohan ini? Kau bisa saja menolak. Aku yakin kau punya pilihan lain.”
Shabiya tersenyum pahit, menggeleng pelan. “Aku tidak benar-benar punya pilihan lain. Pernikahan ini bukan hanya soal bisnis untuk keluargaku, tapi juga soal harga diri. Aku tahu bahwa menolak mungkin akan membawa dampak yang lebih besar daripada sekadar masalah pribadi. Dan jujur saja...” Shabiya berhenti sejenak, mengambil napas sebelum melanjutkan, “Aku butuh seseorang yang kuat di sampingku. Dan kau, Chandra, kau punya kekuatan itu. Walaupun... aku tahu kita mungkin belum sepenuhnya saling memahami.”
Chandra mengerutkan kening sedikit, tidak sepenuhnya puas dengan jawaban itu. "Jadi ini hanya soal pragmatisme bagimu?"
Shabiya memandang Chandra dengan serius. “Awalnya mungkin iya. Aku tidak pernah berharap banyak dari pernikahan ini, hanya kemitraan yang bisa berjalan baik. Tapi, seperti yang kau katakan tadi, aku mulai merasa ada sesuatu yang berbeda. Kau mungkin bukan pilihan hatiku dari awal, tapi... sekarang aku merasa, mungkin kita bisa menemukan sesuatu yang lebih dalam di sini. Kita hanya perlu waktu.”
Chandra terdiam mendengar kata-kata itu. Di dalam kepalanya, berbagai pikiran bercampur aduk_antara dorongan untuk tetap mempertahankan kontrol, dan keinginan yang lebih dalam untuk benar-benar terhubung dengan Shabiya. Ia tahu, pria seperti ia tidak sering mendapatkan kesempatan kedua dalam hal perasaan. Erika sudah menghancurkan sebagian dirinya yang lebih lembut, tapi Shabiya... wanita ini memberikan harapan baru, meskipun dengan cara yang tidak pernah ia duga.
***