Namaku Delisa, tapi orang-orang menyebutku dengan sebutan pelakor hanya karena aku berpacaran dengan seseorang yang aku sama sekali tidak tahu bahwa orang itu telah mempunyai pacar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vina Melani Sekar Asih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Saat bel pulang sekolah berbunyi, Azka dan Delisa bergegas keluar kelas sambil bercanda. Hari itu terasa ringan bagi Delisa, apalagi karena Azka selalu berada di sisinya, membuat hari-harinya penuh dengan tawa dan kenyamanan.
Namun, saat mereka berjalan menuju gerbang sekolah, tiba-tiba langkah Azka terhenti. Delisa menatapnya dengan heran, mengikuti arah pandangannya. Di sana, berdiri seorang gadis berwajah manis dengan rambut panjang berombak yang terurai indah. Gadis itu tersenyum saat melihat Azka, lalu melambaikan tangan.
Azka balas tersenyum dan melangkah mendekatinya. "Nala! Kamu lagi apa di sini?" tanyanya hangat.
Delisa terkejut mendengar nama itu. Ia tahu dari cerita Azka bahwa Nala adalah mantan pacarnya saat di SMP, yang sampai sekarang masih berhubungan baik dengan Azka. Meski sudah sering mendengar cerita tentang Nala, Delisa belum pernah bertemu langsung dengannya. Kini, gadis itu berdiri tepat di depannya.
Nala tersenyum lebar, menatap Azka seolah waktu kembali ke masa lalu. "Lagi lewat aja, . Eh, nggak nyangka ketemu kamu!" jawab Nala dengan nada riang. Kemudian ia melirik Delisa dengan penuh rasa ingin tahu. "Oh, ini yang namanya Delisa, kan?"
Azka mengangguk sambil menoleh ke Delisa. "Iya, ini Delisa. Del, kenalin, ini Nala."
Delisa tersenyum, meski ada sedikit rasa tak nyaman di dadanya. "Hai, Nala," sapanya, berusaha ramah namun sebenarnya ia sedikit cemburu.
"Senang bisa akhirnya ketemu kamu, Delisa," balas Nala. "Azka sering banget cerita tentang kamu."
Delisa mencoba tersenyum lebih lebar, meski di dalam hati ia bertanya-tanya seberapa sering Azka sebenarnya masih berhubungan dengan Nala. Meski begitu, ia tak ingin memperlihatkan rasa cemburunya. Sebagai pacar Azka, ia ingin tetap terlihat tenang dan dewasa.
Sementara itu, Azka dan Nala mulai mengobrol, mengenang beberapa kenangan masa SMP mereka. Mereka tertawa bersama, membicarakan guru yang galak, teman-teman lama, hingga kejadian konyol yang mereka alami bersama. Delisa ikut tersenyum kecil, tapi sebenarnya merasa sedikit diabaikan.
"Nggak nyangka kita udah lama nggak ketemu, ya," kata Nala, sambil melirik Azka dengan tatapan nostalgia. "Kamu masih inget waktu kita dihukum gara-gara ketahuan curi jajan di kantin?"
Azka tertawa keras. "Oh, itu! Iya, kita disuruh bersihin lapangan seminggu. Konyol banget!"
Mendengar itu, Delisa merasa semakin tak nyaman. Kenangan-kenangan itu seolah membuat Nala dan Azka berada di dunia yang berbeda, dunia yang tak bisa ia masuki. Meski Azka masih menggenggam tangannya, Delisa merasa seperti orang asing.
Melihat Delisa yang diam saja, Nala menyadari kehadirannya kembali. "Eh, maaf ya, Delisa. Kami jadi asyik cerita masa lalu. Aku nggak bermaksud mengabaikan kamu, kok."
Delisa tersenyum sopan. "Nggak apa-apa, kok. Senang bisa denger cerita kalian."
Nala lalu menoleh ke Azka dengan wajah serius. "Jadi, Azka... kamu sudah beneran bahagia sekarang sama Delisa?"
Azka menatap Delisa sejenak sebelum menjawab. "Iya, Nal. Aku sangat bahagia sama Delisa."
Mendengar jawaban Azka, hati Delisa sedikit tenang. Ia menggenggam tangan Azka lebih erat, seolah ingin menegaskan kehadirannya di sisinya. Nala tersenyum tipis dan mengangguk. "Aku ikut senang denger itu, Azka. Yang penting kamu bahagia."
Setelah beberapa saat, Nala memutuskan untuk pamit. "Aku nggak mau ganggu kalian lebih lama. Aku cuma mampir sebentar. Senang bisa ketemu kalian."
"Senang ketemu kamu juga, Nala," jawab Delisa sopan.
Azka dan Delisa melambaikan tangan saat Nala berjalan menjauh. Namun, begitu Nala hilang dari pandangan, Delisa merasa seperti ingin menanyakan sesuatu yang sejak tadi mengganjal di hatinya.
"Apa kamu masih sering ketemu sama Nala?" tanya Delisa pelan.
Azka menoleh, terlihat bingung dengan pertanyaan itu. "Nggak, kok. Aku cuma sesekali chat sama dia kalau ada hal penting aja. Nggak ada apa-apa lagi di antara kami."
Delisa mengangguk, meski di dalam hatinya masih ada rasa cemburu yang sulit ia redam. "Aku cuma heran, kalian tadi terlihat sangat akrab padahal kalian itu mantan pacar."
Azka tertawa kecil dan merangkul Delisa. "Del, aku cuma akrab aja. Nggak ada perasaan apa-apa lagi ke dia. Kamu tahu kan, aku sayangnya sama kamu."
Meski ucapan Azka cukup menenangkannya, Delisa tetap merasa sedikit tidak nyaman. Sepanjang perjalanan pulang, Delisa terus memikirkan Nala dan kedekatannya dengan Azka. Namun, ia berusaha menepis pikiran negatif itu. Ia tidak ingin merusak hubungan mereka hanya karena rasa cemburu yang berlebihan.
Hari-hari berikutnya, Delisa dan Azka tetap bersama seperti biasa. Namun, Delisa tak bisa menghindari bayang-bayang Nala yang sesekali muncul dalam pikirannya. Setiap kali Azka menerima pesan atau terlihat sibuk dengan ponselnya, Delisa tak bisa menahan rasa curiga. Bahkan, saat Azka tersenyum saat membaca sesuatu di layar ponselnya, Delisa bertanya-tanya apakah itu pesan dari Nala.
Akhirnya, suatu hari saat mereka sedang makan siang bersama, Delisa tak bisa menahan diri lagi. Dengan hati-hati, ia bertanya, "Azka, kamu masih sering ngobrol sama Nala, ya?"
Azka terdiam sejenak, tampak terkejut dengan pertanyaan itu. "Enggak, kok. Aku cuma sesekali aja balas chat-nya. Del, kamu nggak perlu khawatir soal itu."
Delisa tersenyum tipis, meski hatinya masih merasa cemas. "Aku nggak bermaksud menuduh, cuma... aku kadang merasa takut aja."
Azka menggenggam tangan Delisa dan menatap matanya dengan lembut. "Del, kamu satu-satunya yang ada di hatiku sekarang. Aku nggak mau kamu mikir yang nggak-nggak. Aku cuma punya perasaan buat kamu."
Mendengar itu, Delisa merasa lebih lega. Ia tahu Azka tulus, namun perasaan cemburunya tetap tak sepenuhnya hilang. Hingga akhirnya, suatu sore saat mereka pulang bersama, mereka kembali bertemu dengan Nala yang kebetulan berada di dekat sekolah. Nala menyapa mereka dengan ceria, dan kali ini Azka langsung menggenggam tangan Delisa erat, seolah ingin menunjukkan bahwa dialah yang ada di hatinya.
Delisa merasa lebih percaya diri, dan kali ini ia ikut mengobrol dengan Nala tanpa merasa cemburu. Setelah beberapa waktu, Nala pun pamit, dan Delisa merasa lega bahwa ia bisa melalui pertemuan itu tanpa terbawa perasaan negatif.
Azka menyadari perubahan sikap Delisa dan tersenyum. "Lihat, kamu nggak perlu cemburu lagi, kan?"
Delisa tersenyum malu. "Iya, maaf kalau aku sempat ragu sama kamu."
Azka tertawa kecil dan mengusap kepalanya. "Kamu memang cemburuan, ya. Tapi, justru itu yang bikin aku makin sayang sama kamu."
Delisa tertawa kecil, merasa hangat mendengar perkataan Azka. Ia sadar, cemburu memang wajar, tapi kepercayaan lebih penting. Dan sekarang, ia bertekad untuk lebih percaya pada Azka, karena ia tahu bahwa cinta Azka hanya untuknya.