Ketika adik-adiknya sudah memiliki jodoh masing-masing, Ara masih diam tanpa progres. Beberapa calon sudah di depan mata, namun Ara masih trauma dengan masa lalu. Kehadiran beberapa orang dalam hidupnya membuat Ara harus memilih. Teman lama atau teman baru? Adik-adik dan keluarganya atau jalan yang dia pilih sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon veraya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10 : Terimalah dia
Ara beralih menatap langit demi menghindari tatapan Mahesa.
“Dia anaknya kenalannya Papa. Rencananya mau dijodohin sama aku. Tapi aku belum tahu…bisa atau nggak.”
Mahesa terdiam, dia sudah menduga hal ini. Dia bertanya pada Ara untuk memastikan.
“Kamu suka sama dia?”
“Nggak tahu. Kemarin baru pertemuan kedua. Belum ada kesimpulan apa-apa.”
“Kamu mau lebih mengenalnya?”
“Nggak tahu juga, ngalir gitu aja. Aku cuma menghormati Papa dan Mamaku aja.”
“Bukannya dalam sebuah hubungan harus saling ya? Saling suka, saling percaya, saling menerima. Jangan sampai kamu terpaksa.”
“Kalau mau nurutin diri sendiri, aku nggak mau ketemu siapa-siapa lagi.”
“Virus Harindra masih ngefek di kamu, kah?”
Mata Ara langsung mendelik ke arah Mahesa.
“Don’t spell…that name…again.” Ara terbata.
“Kalau kamu udah lupa, sorry, bukan lupa, tapi ikhlas…harusnya kamu bisa maju. Tapi kamu kayaknya stuck di tempat, bahkan jalan mundur terus, kalau nggak kena virus itu trus apa namanya?”
Mata Ara mulai mengembun.
“Kamu takut, ya? Kamu takut bakalan kejadian kayak dulu lagi, kan? Nggak semua orang sebrengsek Indra, Ra.”
Mahesa berdiri dari ayunan, mendekati Ara yang masih menatapnya hampir menangis. Mahesa menepuk kepala Ara.
“Maaf aku sebut nama itu lagi. Kalau nggak gitu, kamu nggak akan sadar-sadar sekarang sedang berada di mana. Era dia, atau era kamu yang baru.”
Ara mematung. Menyebut nama itu sama saja seperti melepas kait granat yang suatu saat bisa meledak. Entah itu meledak di tempat atau meledak mengenai orang-orang di sekitar Ara.
“Coba liat siapa yang ada di depan kamu sekarang.”
Mahesa mengulurkan tangannya. Ara bukannya menyambut tangan itu tapi malah menubruknya sampai Mahesa hampir terjengkang. Ara memukul dada laki-laki itu sampai Mahesa terbatuk-batuk.
Mahesa tahu Ara menangis. Dia merasa bersalah sudah memantik trauma Ara, maka dia membiarkan badannya menerima pukulan itu.
Bukan badan Mahesa yang terasa sakit, tapi hatinya. Sesak itu bukan karena pukulan Ara, tapi ketidakberdayaan Mahesa yang dulu tidak bisa melindungi sahabat masa kecilnya itu.
Perlahan Mahesa mengelus rambut Ara sambil menepuk-nepuk punggungnya. Dalam hati Mahesa bertekad tidak akan melepaskan Ara lagi. Dia ingin menjadi apa saja bagi Ara asalkan Ara sembuh dari sakit hatinya selama ini.
“Cie, cie…peluk-pelukan, pacaran yaaa…?”
Suara anak-anak kecil yang lewat membuat Ara tersadar tindakan memalukannya. Dia terbawa emosi sampai nggak tahu posisinya sudah membuat Mahesa jatuh terduduk sambil memeluknya. Ara spontan menjauh.
“Udah nangisnya?”
Ara mengusap air matanya yang berlelehan di pipi.
“Jangan pernah sebut…”
“Iyaa, ampun, Tuan Putri. Nggak lagi. Janji!”
Mahesa mengangkat tangannya pose ucap janji pejabat. Ara tertawa singkat.
“Ciloook…cilooook….”
“Bang! Cilok dua!” Mahesa dengan semangat menghentikan tukang cilok yang lewat.
Ara memandang punggung sahabatnya itu. Mahesa sudah berubah lebih dewasa sekarang. Walaupun masih tersisa sisi kekanak-kanakannya, tapi Ara merasa di sanalah tempat dia bisa berlindung. Apakah Mahesa bisa menjadi tempat Ara mengubur kenangan buruk lalu mencoba maju dalam wahana hidupnya yang baru?
...* * * * *...
Saka memandang ponselnya seperti orang kesambet. Sebentar-sebentar dia pegang, sebentar-sebentar dia letakkan. Begitu terus berulang-ulang.
“Pak Saka, Anda baik-baik saja?”
Saka kaget sampai terlonjak ketika suara salah satu karyawannya muncul dari pintu.
“Ya? Apa? Ehm, saya…baik. Ada apa, Rani?”
“Kita ada test food sebentar lagi. Kami tunggu Bapak lima menit lagi ya.”
“Oh, oke. Lima menit lagi saya ke sana.”
Rani menutup pintu sambil menganggukkan kepala.
Saka memijit pangkal hidungnya. Bagaimana bisa hanya dengan memikirkan Ara bisa membuat pikirannya tidak fokus seperti ini. Saka menggigit bibirnya. Dia mengetikkan pesan ke nomor Ara. Saka sudah tidak tahan lagi.
Pesan itu sampai di ponsel Ara setelah Mahesa pulang.
[Bisa kita ketemu lagi? Kemarin ada yang ketinggalan.]
[Ketinggalan? Barangku nggak ada yang ketinggalan kok.]
“Weitss…setelah ketemu Mas Saka, jadi sering liat-liat pesan nih.” Alan main intip aja dari balik punggung Ara.
“Apa sih, biasa aja.”
“Mau ketemuan lagi, Mbak?”
“Dia yang ngajak. Katanya ada yang ketinggalan. Apa ya?”
“Halah, itu cuma alasan aja biar bisa ketemu lagi.”
Ara berdecak.
“Kalau Mas Mahesa gimana? Kalian jadi CLBK?”
“Alan! Nanyanya yang bermutu dikit lah.”
“Emang bener kan? Tuhan itu baik, sudah memberikan pilihan buat kamu, Mbak. Cepetan milih. Atau mau jalan sama dua-duanya?”
“Hush! Nggak sopan!”
Terbersit pertanyaan iseng di benak Ara.
“Kalau kamu suka yang mana, Dek?”
“Kok nanya aku. Aku nggak suka dua-duanya. Aku sukanya Dista.”
“Dasar semprul! Nggak bisa diajak diskusi.”
“Masalah perasaan kok pakai diskusi segala.”
“Ini kan menyangkut Papa dan Mama juga. Aku malesnya gini nih. Harus memperhitungkan dan mempertimbangkan perasaan banyak orang.”
“Ya udah kalau gitu perasaanmu ke mana, ikuti aja.”
“Nggak dua-duanya.”
“Berarti kamu yang semprul!”
“Mahesa itu sahabat aku dari kecil, aku memang nyaman sama dia, tapi apakah rasa nyaman itu akan membawa aku sama dia ke pelaminan? Kan nggak mesti juga. Sedangkan sama Mas Saka, aku tahu dia tipe idaman, mapan, ganteng, tinggi, tapi apakah itu aja cukup untuk membina rumah tangga samawa? Harus ada rasa cinta juga, kan? Kalau nggak ada perasaan itu namanya pemaksaan.”
“Malah ceramah. Pusing ah, Pikir sendiri saja sana!”
“Hiih…Alan! Kalau aja seorang kakak bisa ngutuk adiknya jadi batu, kamu udah aku kutuk dari kemarin-kemarin!”
“Pilih yang bisa jadi pawangmu aja, Mbak!”
Alan berseru sambil berlari menghindari sandal Ara yang melayang.
“Ribut terus tiap hari! Adik kakak nggak pernah akur!”
Sarah muncul dari ruang tengah. Ara menutup mulut sambil pura-pura mau ke toilet.
“Ara…”
Langkah Ara terhenti ketika Sarah memintanya untuk duduk di sofa. Percakapan yang ingin Ara hindari.
“Gimana Saka?”
“Biasa aja, Ma.”
“Dia laki-laki baik, Ra. Terimalah dia untuk lebih deket sama kamu.”
Ara cuma manggut-manggut.
“Yang serius dong, Ra. Mama berharap banget kamu jadi sama dia.”
“Mama baru ketemu sekali aja kok langsung bisa yakin gitu?”
“Liat bibit bebet sama bobotnya aja dia sudah jelas. Keluarganya terpandang, Saka lulusan universitas terbaik, agamanya bagus, anaknya sopan, nggak neko-neko. Dia juga punya banyak karyawan, berarti dia pemimpin yang baik. Bisa lah bimbing kamu ke jalan yang benar.”
“Emangnya Ara sesat, Ma?”
“Kamu kadang nggak terkendali.”
“Mama kok bisa tahu macem-macem gitu dari mana?”
“Banyak lah informan Mama tu.”
Ara mengerucutkan bibirnya.
“Kalian udah sampai mana?”
“Apanya?”
“Kenalannya.”
“Belum apa-apa Ma, baru start ini. Mama jangan terlalu berharap gitu lah. Kalau ntar dia nggak suka sama Ara gimana?”
“Makanya bikin dia suka sama kamu. Pakai baju yang pantes, perilaku nggak kayak preman pasar gitu. Seusia kamu itu harusnya udah jadi ibu-ibu arisan.”
“Ya jangan disamain dengan Mama dong. Dulu Mama seusia Ara udah punya anak dua. Kalau wanita modern jaman sekarang tuh nikahnya malah telat-telat, Ma. Liat tuh artis-artis Korea…mereka ngejar karir dulu, nikahnya belakangan.”
“Kamu mau ngikut-ngikut mereka? Kamu sekarang tinggal di mana, Araa? Trus karirmu apa coba?”
Sarah begitu gemas dengan pemikiran anak perempuan satu-satunya itu. Dia mengingat-ingat dulu dia ngidam apa kok sampai Ara jadi begini.
Ara memilih tidak menjawab pertanyaan Mamanya tentang karir. Memang untuk sekarang Ara merasa bukanlah apa-apa jika dibandingkan kedua adiknya. Tapi jauh dalam lubuk hatinya, Ara yakin kesabarannya saat ini akan berbuah manis tahun-tahun ke depan.
Ponsel Ara berdering.
“Nih, karir Ara dateng.” katanya pada Sarah lalu ngacir ke lantai atas.