Hanung Rahayu, seorang gadis periang dengan paras menawan. Sejak kematian sang ayah, Hanung tinggal bersama Ibu tiri dan ketiga adiknya.
Ibu Jamilah, Ibu tiri Hanung dulunya adalah abdi dalem di sebuah pondok pesantren yang ada di kotanya. Ketika Bu Nyai datang melamar Hanung untuk putranya, Ibu Jamilah menyerahkan keputusan sepenuhnya di tangan Hanung.
Dengan rela Hanung menerima lamaran tersebut, tanpa tahu calonnya seperti apa. Akankah Hanung mundur dari pernikahan? Bagaimana Hanung menjalani kehidupannya kedepan?
Note: Jika ada kesamaan nama, dan setting, semuanya murni kebetulan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Jangan Memaksakan Diri
Hanung dan Surati menunggu jemputan sambil makan karena mereka tak sempat makan siang. Jemputan tiba sekitar pukul 15.00 WITA, yang ternyata adalah sunami Surati, Donga.
Setelah perkenalan singkat, Hanung menyalami Donga dan mereka pun menuju Batulicin. Dari Bandara Syamsudin Noor mobil mengambil jalur A. Yani arah Martapura dan belok kiri di bundaran simpang empat Banjarbaru ke arah Cempaka. Perjalanan mengikuti jalur tersebut sekitar 6 jam.
Semua perjalanan Hanung, dipantau oleh Gus Zam dari aplikasi map. Hanung mengirimkan lokasinya sehingga Gus Zam melihat titik merah yang berjalan sambil melakukan aktivitasnya.
"Jika kamu bisa mempertahankan kondisi saat ini, kamu bisa lepas dari obat. Yang penting pikiran kamu alihkan ke hal-hal yang positif." begitulah pesan psikiater saat Gus Zam menemuinya.
Kini Gus Zam mulai mengganti rutinitasnya. Jika dulu Gus Zam akan menghabiskan waktu dengan mengukir, Gus Zam mulai melakukan kegiatan layaknya orang normal. Dengan datang ke masjid, membantu Pak Kyai dan Gus Miftah.
"Jangan dipaksakan! Kamu bisa mencobanya sedikit demi sedikit. Kembalilah dan beristirahatlah!" kata Pak Kyai saat melihat Gus Zam mengeluarkan keringat dingin.
Mereka sedang menerima setoran hafalan di masjid saat ini. Keriuhan para santri membuat Gus Zam mendapat serangan cemas. Gus Zam pun menurut dengan kata Pak Kyai dan kembali ke kamar. Sampai dikamar, Gus Zam segera membuka laci mengambil obat. Tetapi kemudian mengingat pesan Hanung, Gus Zam pun mengembalikan obatnya dan meringkuk di tempat tidur.
"Hanung.." rintih Gus Zam.
Gus Zam segera berlari ke kamar mandi kala dirinya merasakan mual. Tetapi tak ada yang keluar, Gus Zam pun bersandar di pintu kamar mandi dengan lemas. Tak lama kemudian, ada suara dering dari ponsel yang ada di saku kokonya.
"Assalamu'alaikum, Mas.." sapa Hanung diujung sambungan.
"Wa' alaikumsalam Hanung.." jawab Gus Zam lemah.
Merasa ada yang tidak beres, Hanung mengalihkan panggilannya menjadi panggilan video.
"Astagfirullah, Mas! Mas kenapa?" seru Hanung setelah melihat suaminya dikamar mandi.
Hanung yang saat ini sedang ada di sebuah rumah makan pun keluar mencari tempat sepi.
"Hanung.."
"Ya, Mas.. Katakan, Mas kenapa?"
"Hanung.." Segera Hanung tahu jika suaminya sedang tidak dalam kondisi baik.
Hanung melantunkan sholawat, berharap bisa menenangkan Gus Zam sambil berkaca-kaca. Beberapa menit kemudian, Gus Zam kembali tenang dan ikut melantunkan sholawat. Hanung tersenyum tetapi air matanya sudah luruh.
"Jangan menangis!" kata Gus Zam sambil membelai wajah Hanung di ponselnya.
"Mas jangan memaksakan diri, mulailah sedikit-sedikit." Hanung justru terisak.
Sungguh sakit melihat suaminya dalam keadaan tak berdaya dan ia tak bisa menenangkannya. Ia tahu semua yang dilakukan Gus Zam, karena suaminya mengirimkan pesan setiap kali akan melakukan sesuatu.
"Tidak apa-apa. Kamu sudah sampai?"
"Belum. Katanya masih satu jam lagi. Mas sudah makan?"
"Sudah. Kamu?"
"Sudah."
"Hanung, ayo kita berangkat!" panggil Surati didekat mobil.
Hanung pun berpamitan dengan Gus Zam dan masuk kedalam mobil. Selama diperjalanan, Hanung berkirim pesan dengan Gus Zam. Surati yang sedari tadi ingin menegur kenapa Hanung menangis, menahannya karena masih ada Donga di sampingnya.
Humaira ku: Foto (Gambar gantungan kunci yang dibuat dari ukiran figurine kucing)
Mas Zam: Foto (Gambar ukiran nama Hanung yang ada di atas kaca.
Humaira ku: Mas harus istirahat.
Mas Zam: Ya, nanti setelah kamu sampai.
Hanung tak lagi membalas pesan, sampai satu jam kemudian Hanung membalas dengan mengatakan dirinya sudah sampai di rumah Surati. Karena sudah malam, Hanung masuk ke kamar yang ditunjukkan kepadanya dan membersihkan diri. Tak lama kemudian, Gus Zam menghubunginya.
"Kenapa tidak mandi besok saja?" tanya Gus Zam yang melihat jam dimeja menunjukkan pukul 9 malam.
"Gerah, Mas. Seharian ini hanya didalam mobil." Kata Hanung sambil mengeringkan rambutnya.
"Hanung kira Mas sudah tidur."
"Belum, tadi menemani Abi di ruang keluarga."
Gus Zam memperhatikan Hanung yang sudah selesai mengeringkan rambut dengan handuk, mengikatnya dan mengenakan hijab instan nya. Hatinya menghangat, istrinya tahu bagaimana menjaga diri saat jauh darinya.
"Rumah Ibu besar Mas. Aku sempat ragu untuk masuk tadi."
"Kenapa?"
"Aku seperti upik abu, Mas."
"Jangan berpikiran macam-macam."
"Entahlah, sepertinya hariku akan sulit disini."
"Kamu memintaku untuk positif thinking, sekarang justru kamu yang pesimis."
"Bukan pesimis, Mas. Kehidupan disini benar-benar berbeda dengan saat di Jawa."
"Bagaimana keluarga kamu di sana?"
"Aku tidak tahu, Mas. Ibu langsung masuk kamar bersama suaminya setelah menunjukkan kamar yang aku tempati."
"Kamu masih ada aku."
"Iya. Aku akan mencoba menjalaninya." Hanung tersenyum.
Obrolan mereka berlanjut dengan Hanung menceritakan perjalanannya. Sampai akhirnya, Hanung tak lagi bersuara karena terlelap. Gus Zam tersenyum melihat wajah lelap Hanung. Ia pun membelai wajah Hanung di ponselnya dan menutup telepon mereka setelah mengucapkan salam dan semoga mimpi indah untuk Hanung.
Keesokan paginya, Hanung bangun sekitar pukul 4 pagi. Ia menepuk dahinya kala ingat dirinya tertidur saat menelepon Gus Zam. Ia pun mengirimkan pesan permintaan maaf. Ia yang masih haid pun tak melakukan apa-apa. Ia memilih keluar nanti setelah adzan subuh.
Mas Zam: Tidak apa, aku yang ingin memastikan kamu bisa tidur nyaman.
Humaira ku: Kalau begitu, setiap malam Mas harus menemaniku sampai aku lelap ya.. (emoji senyum dengan mata senyum)
Mas Zam: Iya istriku.
Humaira ku: Sejak kemarin Mas menggunakan "istriku", terasa manis. (emoji senyum dengan 3 hati)
Mas Zam: Kamu memang istriku.
Hanung tak membalas pesan Gus Zam karena ada yang mengetuk pintunya. Terlihat Surati berdiri menunggunya.
" Ada apa, Bu?"
"Ganti pakaianmu dengan pakaian bagus. Ayo ikut Ibu." Hanung mengangguk.
Hanung hanya mengganti hijabnya dengan hijab segi empat tanpa mengganti pakaian karena merasa pakaiannya baik-baik saja. Ia pun keluar menemui Surati yang duduk di ruang tamu.
"Mulai hari ini, kamu akan membantu Ibu di catering. Kamu akan jadi bagian kasir. Tugas kamu hanya mencatat siapa saja yang mengambil makanan dan membuat laporan setiap sorenya. Jam kerja kamu dari jam 6 pagi sampai jam 5 sore. Ini hanya sementara sampai Ibu mendapatkan karyawan yang bisa menggantikan kamu." jelas Surati yang mendapat anggukan Hanung.
Surati memimpin jalan, Hanung mengikuti di belakang setelah mengambil tasnya. Surati meminta Hanung untuk membonceng dan membawanya ke catering miliknya.
"Kamu sudah hafal jalannya?" Hanung mengangguk.
Jarak catering dari rumah Surati hanya sekitar 500 meter, dua kali belok dan hanya ada jalan lurus. Jadi tak ada masalah dalam menghafalkan nya.
"Ini kamu bawa. Kamu gunakan untuk pulang nanti." Surati memberikan kunci motor kepada Hanung.
"Iya, Bu."
padahal udah bagus lho