Dira Namari, gadis manja pembuat masalah, terpaksa harus meninggalkan kehidupannya di Bandung dan pindah ke Jakarta. Ibunya menitipkan Dira di rumah sahabat lamanya, Tante Maya, agar Dira bisa melanjutkan sekolah di sebuah sekolah internasional bergengsi. Di sana, Dira bertemu Levin Kivandra, anak pertama Tante Maya yang jenius namun sangat menyebalkan. Perbedaan karakter mereka yang mencolok kerap menimbulkan konflik.
Kini, Dira harus beradaptasi di sekolah yang jauh berbeda dari yang sebelumnya, menghadapi lingkungan baru, teman-teman yang asing, bahkan musuh-musuh yang tidak pernah ia duga. Mampukah Dira bertahan dan melewati semua tantangan yang menghadang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sangat Sulit
Selama perjalanan, suasana di antara Levin dan Dira terasa kaku. Tidak ada percakapan yang terjalin. Levin hanya fokus pada kemudi, sementara Dira berusaha mencari cara untuk memulai obrolan, namun keraguan membuatnya ragu-ragu. Dia ingin berbicara, tapi tidak tahu harus memulai dari mana.
Akhirnya, dengan suara pelan, Dira memberanikan diri, "Levin, gue boleh minta nomor HP lo gak?"Levin hanya melirik sekilas, wajahnya tetap datar. "Enggak."Dira menatapnya, terkejut dan kesal. "Pelit amat lo! Kan kalau gue butuh sesuatu, gue bisa nanya sama lo, atau minta tolong. Masa sih begitu aja gak boleh?" Dira meninggikan suaranya, frustrasi karena jawaban dingin Levin.
Levin tetap tenang, tanpa sedikit pun perubahan ekspresi. "Kayaknya kita gak akan punya urusan apa-apa deh, selain gue nganterin lo sekolah sama pergi les. Lagian kita gak sekelas. Jadi... gak ada alasan buat kita saling kontak."Jawaban Levin terasa begitu dingin dan membuat Dira terdiam, tenggelam dalam keheningan yang lebih pekat daripada sebelumnya "Sombong amat lo jadi orang!" seru Dira, amarahnya memuncak. "Awas aja kalau
suatu saat lo butuh bantuan gue, gue nggak bakal nolongin!" Levin hanya mengangkat bahu, seolah kata-kata Dira tak berarti apa-apa. "Terserah. Lagian, seumur hidup gue gak pernah butuh bantuan orang lain," jawabnya dengan nada yang penuh kesombongan. Dira menggertakkan giginya, menahan kemarahan yang mendidih dalam dirinya. Anjing, ini orang paling nyebelin dan sombong yang pernah gue temuin, umpatnya dalam hati. "Ya udah, kalau nggak mau ngasih," jawab Dira akhirnya, mencoba menekan emosinya. Dia kemudian mengalihkan perhatiannya ke ponsel, jarinya sibuk mengetik pesan kepada seseorang, berusaha melupakan percakapan barusan.
Tak lama, senyuman muncul di wajah Dira ketika pesan balasan masuk. "Yes, dapet!" serunya, merasa sedikit lebih baik dengan kabar yang diterimanya, meski hati masih tergelitik oleh sikap Levin yang menjengkelkan, Karina dan Dion tiba di tempat les mereka. Karina berjalan di belakang Dion, matanya masih terpaku pada layar ponselnya, jarinya lincah mengetik pesan. Di depan, Dion berjalan dengan tenang, hingga suara dering ponselnya tiba-tiba memecah kesunyian.
"Kring..." suara panggilan masuk terdengar dari ponsel Dion. Ia berhenti sejenak dan menatap layar. "Siapa sih?" gumamnya saat melihat nomor tak dikenal tertera. Dengan ragu, Dion mengangkat panggilan itu. "Halo?" Di seberang, suara yang familiar terdengar, membuat Dion menoleh ke belakang. "Levin," katanya, reflek mencari asal suara. Di belakangnya, Levin menatap tajam ke arah Dira yang sedang berjalan sambil menempelkan ponsel di telinganya.
"Sialan! Lo dapet nomor gue dari mana?" tanya Levin, suaranya terdengar kesal. Dira hanya tersenyum sinis, tak berhenti melangkah. "Aduh, Levin, gue tuh gak sebodoh itu buat nyari nomor lo. gue juga punya otak, tahu!" balasnya ketus, melewati Levin tanpa memedulikan ekspresi marah di wajahnya, Levin hanya bisa menatap Dira yang sudah berjalan jauh, sambil menggenggam ponselnya erat-erat. Amarahnya tertahan, namun ia tak bisa menahan rasa kesal yang semakin menguat.
***
"Aduh, anjir! Soal apaan itu, gue gak ngerti sama sekali," keluh Dira pelan, menatap soal matematika yang rumit di papan tulis. Hatinya semakin resah. Dengan cepat ia mengangkat tangannya, mencoba untuk mencari jalan keluar. "Bu, permisi, saya izin ke toilet sebentar," ujarnya dengan nada polos. Namun, di balik permisi yang diajukan, Dira menyusun rencana kabur. Ia diam-diam memasukkan tasnya ke dalam jaket, lalu melangkah keluar dari kelas dengan hati-hati. Begitu sampai di luar, Dira langsung mengambil ponselnya, berencana memesan ojek online. Namun, tiba-tiba kebingungan menyergap pikirannya. "Tapi gue mau pergi ke mana dari sini?" gumamnya, menatap layar ponsel.
Tiba-tiba, nama Dinda, teman barunya, terlintas di benaknya. "Ah iya, Dinda!" Seraya bersemangat, Dira segera menghubungi Dinda, berharap mendapatkan jawaban. Namun setelah beberapa dering, tidak ada tanggapan. "Ih, kok gak diangkat sih?" Dira mulai kesal. "Ya udah, gak ada pilihan lain. Gue juga bingung mau ke mana. Duit gak punya," keluhnya lagi. Merasabuntu, Dira memutuskan untuk duduk di bangku depan minimarket yang tak jauh
dari tempat les, menunggu Levin selesai. Sambil meneguk minuman yang baru saja dibelinya, mata Dira tertuju pada seorang pria yang baru masuk ke minimarket bersama seorang wanita. Ada sesuatu yang familiar, tapi ia tak bisa langsung mengingatnya.
"Siapa ya cowok itu? Kayak kenal...," Dira mencoba mengingat-ingat. Namun, setelah beberapa saat, dia menyerah. "Ah, gak tahu deh, lupa."Tiba-tiba, matanya menangkap sosok yang sudah tak asing. Levin baru saja keluar dari tempat les. Tanpa ragu, Dira langsung berdiri dan memanggilnya. "LEVIN!" Dira menyebrang jalan dengan cepat dari depan minimarket, berlari kecil untuk menghampiri Levin. "Tungguin gue!" serunya, sedikit terengah-engah. Levin memicingkan matanya, melihat Dira dengan ekspresi sinis. "Lo ngapain masih di sini? Cewek pengecut yang selalu lari dari masalah" sindirnya suaranya penuh cemoohan.
"Apa lo bilang? Pengecut? Gue cuma gak mau belajar, kenapa jadi pengecut?" Dira mengomel dengan nada kesal, tak terima disindir seperti itu, Levin menghela napas, tak peduli. "Ya udah, terserah. Gak rugi juga gue. Lo yang stupid, kok gue yang repot?" jawabnya dingin sebelum berjalan menuju mobilnya, "Apa lo bilang?!" Dira menahan amarah yang hampir meledak. Tapi, tanpa berpikir panjang, ia mengekor Levin dan masuk ke dalam mobil, hatinya masih terbakar oleh ejekan yang baru saja dilontarkan.
"Wah, sumpah... pelajaran macam apa ini?" Dira menatap tumpukan tugas rumah di depannya dengan frustrasi. "Tuhan, kenapa hidup ini begitu berat? Kenapa ujian hidupku begini susah?" keluhnya dengan wajah penuh kerut, matanya masih terpaku pada soal-soal yang membingungkan. Tiba-tiba, suara ketukan di pintu terdengar. "Tok tok tok "Masuk aja," teriak Dira, tanpa mengalihkan perhatiannya dari lembaran tugas yang semakin membuatnya pusing, Vanya memasuki kamar dengan langkah ringan, lalu duduk di atas kasur Dira. Ia menatap kakaknya yang tampak melamun di depan tumpukan tugas. "Kakak kenapa?" tanya Vanya lembut, memperhatikan raut wajah Dira yang penuh keputusasaan.
Dira mendesah panjang, lalu mengangkat buku tugasnya. "Ini, tugasnya... kenapa susah banget, ya?" keluhnya sambil menyerahkan buku itu ke Vanya,Vanya menyipitkan matanya, meneliti soal di buku tersebut. "Oh, ini Trigonometri! Gampang kok, Kak. Sini, aku ajarin." Tanpa ragu, Vanya mengambil alih buku Dira dan mulai menjelaskan materi itu dengan mudah.
yu follow untuk ikut gabung ke Gc Bcm thx