Menikah dengan lelaki yang dicintai, ternyata tidak menjamin kebahagiaan, ada kalanya justru menjadi luka yang tak ada habisnya.
Seperti halnya yang dialami oleh Raina Almeera. Alih-alih bahagia karena menikah dengan lelaki pujaan—Nero Morvion, Raina malah menderita karena hanya dijadikan alat untuk membalas dendam.
Walau akhirnya ... takdir berkata lain pada skenario yang dibuat lebih awal oleh Nero.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kenangan Kelam Nero
Hampir jam delapan malam waktu setempat, Nero tiba di hotel. Ia langsung duduk di sofa dan meletakkan kotak kalung warna hitam dengan tulisan De l'amour—brand perhiasan terkemuka di Eropa.
Setelah itu, Nero mengambil ponselnya dan mencari kembali riwayat pesan yang dikirimkan oleh Raina. Sudah menumpuk banyak, tetapi isinya tak lebih dari bertanya kabar. Mungkin, ingin mengatakan hal lain pun ia tak ada nyali.
'Di sini sibuk. Lusa baru pulang.'
Entah dengan alasan apa, malam itu Nero membalas pesan Raina. Walau singkat dan tak ada kesan hangat, tetapi selama pulang pergi ke London, ini adalah pertama kalinya Nero melakukan itu.
'Iya, Om. Hati-hati di sana.'
Hanya dalam hitungan detik, Raina sudah membalas pesannya. Nero langsung mengernyitkan kening. Di London hampir jam delapan, artinya di Indonesia hampir jam tiga pagi. Lantas, mengapa Raina tidak tidur? Apa yang dia lakukan dini hari begitu?
Tak sabar hanya dengan bertukar pesan, Nero bergegas menghubungi nomor Raina. Lagi-lagi ini adalah hal pertama yang ia lakukan selama menikahi perempuan itu.
"Halo, Om—"
"Apa yang kamu lakukan?" pungkas Nero dengan cepat.
"Aku ... aku nggak melakukan apa-apa, Om. Aku di kamar, diam nggak ngapa-ngapain."
"Lalu kenapa jam segini belum tidur? Ini sudah dini hari! Kamu mau sakit lagi, hah?" hardik Nero.
"Bukan begitu, Om. Aku tadi udah tidur, cuma ... kebangun gara-gara kebelet. Jadi, barusan ke kamar mandi. Dan pas balik ke ranjang, tiba-tiba ada pesan dari Om Nero, terus aku lihat dulu. Ini ... ini udah mau tidur lagi kok." Suara Raina mendadak gugup. Bisa dibayangkan oleh Nero bahwa perempuan itu sedang menunduk sambil mencengkram ujung bajunya sendiri.
"Ya sudah cepat sana! Aku tidak punya waktu melihatmu sakit lagi."
Usai mengucapkan kalimat yang sinis itu, Nero mengakhiri sambungan telepon secara sepihak. Tak mau tahu meski di seberang sana Raina masih membuka mulut dan menyahut ucapannya.
Desa-han napas panjang keluar dari bibir Nero, sedetik setelah dia meletakkan ponselnya. Lantas ia memejam sembari menyandarkan punggung di sofa. Bukan tidur, melainkan mengingat sekelumit kenangan yang telah lama berlalu.
Sesosok pria berambut putih dengan wajah yang mulai berkeriput, mulai tergambar dalam ingatan Nero. Pria penuh wibawa yang telah mengajarinya banyak hal, tentang hitam dan putihnya hidup. Seseorang yang telah menanamkan ambisi tinggi dalam diri Nero, menciptakan karakter angkuh, dingin, dan kejam. Semua bermula dari pria itu, pria bernama Zaiko Morvion, pria yang setiap saat ia panggil 'papa'.
'Mati saja kau, Nero!'
'Membesarkanmu adalah penyesalan yang tidak akan pernah aku lupakan!'
'Seburuk-buruknya duniaku adalah kau, Nero!'
Terngiang kembali teriakan keras yang diiringi pelototan tajam, dari seorang wanita yang selalu bersikap lembut pada semua orang—kecuali pada dirinya dan Zaiko.
Dwi Magenta, begitulah Nero mengenalnya. Sosok wanita yang ia bayangkan seperti malaikat—senantiasa menyayangi layaknya seorang ibu, nyatanya ... sedari Nero kecil selalu menorehkan luka yang teramat dalam. Nero sering berpikir, Magenta tak layak disebut ibu dan nyatanya ... memang tak layak.
'Membiarkan kamu hidup dan bahkan merawatmu, itu bukan sesuatu yang mudah. Jadi dari pada mengeluhkan ucapannya, lebih baik tunjukkan saja kalau kau memang pantas dirawat dan dibesarkan,' ucap Zaiko kala itu.
Sampai sekarang masih jelas terasa perihnya. Seorang ayah yang sangat disayangi dan diharap bisa memberikan pembelaan, nyatanya malah turut menyudutkan. Dari kalimatnya, seolah Zaiko setuju bahwa membiarkan dirinya hidup adalah sesuatu yang patut disesalkan. Padahal, sebelumnya Zaiko adalah sosok yang penuh pengertian.
Sejak saat itu, Nero tak lagi mengemis perhatian dan kasih sayang dari ibu ataupun ayahnya. Dia yang masih remaja ditempa untuk hidup mandiri, berjuang keras demi masa depannya sendiri. Sejak itu pula, sifat ambisius mulai tumbuh tanpa ia sadari.
'Aku harus lebih tinggi dari Papa.'
Sebuah semboyan yang akhirnya benar-benar menjadi nyata. N&M berdiri sebagai perusahaan besar, bahkan jauh lebih besar dari perusahaan milik Zaiko dahulu. Sayangnya ... Zaiko dan Magenta berpulang lebih awal, sebelum Nero berada pada puncak karier.
'Maaf.'
Satu kata yang Zaiko tinggalkan sebelum mengembuskan napas terakhir. Sebuah kata sederhana, tetapi menyimpan banyak makna bagi Nero. Bagaimana tidak, dari kata itu dia tak punya lagi alasan untuk menyayangi Zaiko, juga tak ada alasan untuk membenci Magenta. Semua berubah dengan sendirinya.
"Paling malas jika mengingat mereka," batin Nero dengan perasaan kecut.
Baginya, masa lalu adalah sisi buruk yang tak boleh seorang pun tahu, bahkan kalau bisa dirinya pun tak mau lagi punya ingatan tetang itu.
Namun terbukti, Anne yang notabene-nya adalah wanita yang dia cintai dan sempat menjadi kekasih, dulu juga tak tahu apa-apa soal masa lalunya. Nero sekadar bercerita bahwa orang tuanya sudah lama meninggal, itu saja.
"Ahh!" Nero kembali mende-sah kasar. Mengingat Anne juga sama saja membuat hatinya tak tenang.
Berbeda dengan Nero yang larut dalam ingatan kelamnya, di tempat yang jauh berseberangan Raina justru tersenyum girang.
Seperti padang tandus yang baru diguyur hujan, sejuk dan nyaman, itulah yang dirasakan Raina. Untuk pertama kalinya Nero membalas pesan sekaligus meneleponnya. Sungguh, itu merupakan pencapaian yang luar biasa dalam hubungan mereka.
"Kata-kata Om Nero emang sinis, tapi ... boleh nggak aku memaknai itu sebagai kekhawatiran? Apa pun alasannya, yang jelas Om Nero nggak mau aku sakit, kan?" gumam Raina pada layar ponselnya yang masih menyala dan menampilkan riwayat pesan dari Nero.
"Aku harap ... lusa Om Nero bener-bener pulang. Kalaupun nggak ada interaksi yang manis, setidaknya Om Nero ada di rumah saat aku ulang tahun. Ya ... meski belum tentu dia akan ingat," sambung Raina masih dengan senyuman lebarnya.
Di tengah rasa senangnya itu, Raina teringat kembali dengan tawaran wanita yang menghubunginya tempo dari. Mungkin terdengar menarik, tetapi ... Raina justru tidak merasa tertarik. Sebut saja dia bodoh atau buta karena cinta, makanya rela bertahan di samping Nero yang jelas-jelas selalu bersikap sinis dan terang-terangan menjadikan dirinya sebagai alat untuk balas dendam.
Ya, mungkin tafsiran Raina malam ini terlalu berlebihan. Namun, telepon barusan nyatanya memang berhasil membuat Raina terjatuh dalam genangan yang sama, genangan cinta yang belum sepenuhnya bisa ia tinggalkan.
Bersambung...