Tara Azhara Putri Mahendra—biasa dipanggil Tara—adalah seorang wanita muda yang menjalani hidupnya di jantung kota metropolitan. Sebagai seorang event planner, Tara adalah sosok yang tidak pernah lepas dari kesibukan dan tantangan, tetapi dia selalu berhasil melewati hari-harinya dengan tawa dan keceriaan. Dikenal sebagai "Cewek Tangguh," Tara memiliki semangat pantang menyerah, kepribadian yang kuat, dan selera humor yang mampu menghidupkan suasana di mana pun dia berada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon xy orynthius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 10
Setelah Cassandra Delacorte meninggalkan ruangan, suasana menjadi semakin tegang. Tara dan Adrian masih terpaku di tempat mereka duduk, mencoba mencerna situasi yang baru saja terjadi. Mereka tahu, kalau mereka tidak segera bertindak, nasib mereka akan semakin tak terduga.
"Lo percaya nggak sama semua yang dibilang tadi?" tanya Adrian sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding dingin.
Tara menggeleng pelan. "Nggak mungkin kita bisa percaya. Mereka udah jelas main kotor, dan kalau kita ikut permainan mereka, gue yakin kita bakal lebih susah keluar."
Adrian menatap Tara, matanya penuh dengan rasa ingin tahu. "Gue juga mikir begitu. Jadi, apa rencana lo? Kita nggak bisa diam aja di sini dan nunggu sampai ada yang ngasih kita jalan keluar."
Tara menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Gue nggak tau, Ad. Tapi, yang jelas, kita harus keluar dari sini. Kalau perlu, kita bisa pura-pura ikut mainan mereka sampai kita dapet kesempatan buat kabur."
Adrian mengangguk, melihat logika di balik rencana Tara. "Oke, jadi sementara kita pura-pura kerjasama, kita cari celah buat kabur. Tapi kita harus hati-hati. Mereka pasti udah ngitung segala kemungkinan."
Suasana semakin mencekam saat pintu ruangan terbuka lagi. Seorang pria bertubuh kekar dengan wajah dingin masuk, kali ini dengan membawa seikat tali dan beberapa alat yang tampak seperti alat penyiksaan. Dia tidak berbicara sepatah kata pun, hanya meletakkan barang-barang itu di meja dan menatap mereka dengan tatapan tajam.
"Kalian disuruh siap-siap," katanya dengan suara berat yang serak. "Kami akan memindahkan kalian ke tempat lain."
Tara menelan ludah, perasaannya semakin tidak enak. Tapi dia tetap berusaha mempertahankan ketenangan di hadapan pria itu. "Kita bakal dibawa ke mana?"
Pria itu hanya tertawa kecil dan menggelengkan kepala, seolah-olah pertanyaan itu adalah lelucon. "Kalian akan tahu nanti."
Setelah pria itu pergi, Adrian langsung mendekati meja, mencoba melihat lebih dekat alat-alat yang ditinggalkan. "Gue nggak suka tampang pria itu. Dia kelihatan kayak tipe orang yang menikmati pekerjaannya terlalu serius."
Tara mengangguk setuju. "Tapi ini kesempatan kita buat cari tahu lebih banyak tentang tempat ini. Siapa tahu, pas kita dipindahin nanti, kita bisa nemuin sesuatu yang bisa membantu."
Tak lama setelah itu, dua pria lainnya datang, membawa mereka keluar dari ruangan. Dengan tangan terikat, Tara dan Adrian digiring melalui koridor gelap dan panjang, dengan dinding beton yang tak menunjukkan tanda-tanda keluar. Langkah kaki mereka bergema di sepanjang lorong, menciptakan irama yang tak menyenangkan di telinga mereka.
Mereka dibawa ke ruangan yang jauh lebih besar dan terang. Di tengah ruangan itu ada kursi-kursi yang diatur berjajar rapi seperti ruang interogasi. Di ujung ruangan, ada sebuah layar besar yang menampilkan berbagai data dan gambar. Mereka didorong untuk duduk, dan pintu di belakang mereka ditutup dengan keras.
Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, Cassandra Delacorte kembali masuk ke dalam ruangan, kali ini ditemani oleh seorang pria yang tampak lebih tua namun sangat berwibawa. Pria itu mengenakan jas hitam yang lebih elegan, dan wajahnya dipenuhi dengan garis-garis ketegasan.
"Saya lihat kalian sudah mulai menerima situasi ini," kata pria itu dengan suara yang tenang namun penuh tekanan. "Nama saya Sebastian Vendetta. Saya yang bertanggung jawab atas operasi ini."
Tara dan Adrian saling bertukar pandang, tidak tahu harus berkata apa. Situasi ini semakin serius, dan mereka mulai merasa kalau mereka benar-benar telah tersesat di tempat yang jauh lebih berbahaya dari yang mereka kira.
Sebastian menatap mereka dengan tatapan tajam. "Kalian mungkin bertanya-tanya mengapa kalian dibawa ke sini. Jawabannya sederhana: kalian tahu terlalu banyak. Data yang kalian akses adalah sesuatu yang tidak boleh diketahui oleh siapa pun di luar lingkaran ini."
Adrian mencoba bersikap tenang meskipun perasaannya kacau. "Kita nggak tau apa-apa soal data itu. Kita cuma tersesat di tempat yang salah."
Sebastian tersenyum tipis, seolah-olah dia sudah mendengar alasan itu berkali-kali. "Kalian berdua adalah orang cerdas. Saya tahu kalian lebih tahu dari yang kalian katakan. Tapi kita tidak di sini untuk berdebat. Kita di sini untuk menemukan solusi."
"Saya tidak ingin hal ini berakhir dengan cara yang buruk," lanjutnya. "Tapi kalau kalian terus menolak bekerja sama, saya khawatir kalian tidak akan keluar dari sini dengan selamat."
Tara merasakan jantungnya berdebar lebih cepat. Dia tahu bahwa dia dan Adrian tidak punya banyak pilihan. Mereka harus bermain dengan hati-hati, mencoba mencari tahu sebanyak mungkin tanpa memberikan terlalu banyak informasi.
"Apa yang lo mau dari kita?" tanya Tara akhirnya, suaranya sedikit bergetar.
"Apa yang saya inginkan?" Sebastian mengulangi dengan senyum licik. "Yang saya inginkan adalah kerja sama kalian. Informasi yang kalian miliki bisa sangat berharga bagi kami. Jika kalian mau bekerja sama, saya bisa menjamin keselamatan kalian. Dan siapa tahu, mungkin kalian bisa mendapatkan sesuatu yang lebih."
Tara dan Adrian saling berpandangan. Mereka tahu bahwa ini adalah momen kritis. Jika mereka salah langkah, segalanya bisa berakhir dengan sangat buruk.
"Apa yang lo tawarkan?" tanya Adrian dengan nada penuh pertimbangan, berusaha memainkan permainan Sebastian.
"Keamanan, kebebasan, dan yang paling penting, kesempatan untuk hidup," jawab Sebastian dengan tegas. "Kalian tidak punya banyak pilihan lain."
Tara berpikir sejenak sebelum menjawab. "Kita butuh waktu buat mikir. Lo nggak bisa paksa kita buat ambil keputusan sekarang."
Sebastian menatap mereka sejenak, lalu mengangguk pelan. "Saya akan beri kalian waktu, tapi tidak banyak. Kalian harus ingat, setiap detik yang berlalu, peluang kalian semakin kecil."
Setelah kata-kata itu, Sebastian berdiri dan meninggalkan ruangan bersama Cassandra, meninggalkan Tara dan Adrian dengan pikiran yang berkecamuk.
"Gue nggak suka ini, Tar," bisik Adrian setelah mereka sendirian. "Tapi kita nggak punya pilihan lain. Kita harus pura-pura kerja sama sampai kita bisa nemuin celah buat kabur."
Tara mengangguk setuju. "Ya, kita harus mainin permainan mereka dulu. Tapi kita harus tetap waspada. Mereka mungkin lebih licik dari yang kita bayangkan."
Mereka akhirnya setuju untuk berpura-pura bekerja sama, sambil mencari cara untuk melarikan diri. Waktu terus berjalan, dan mereka tahu bahwa mereka harus bertindak cepat sebelum semuanya terlambat. Dengan rencana yang mulai terbentuk dalam pikiran mereka, Tara dan Adrian bersiap menghadapi apa pun yang akan terjadi selanjutnya. Mereka mungkin terjebak di sarang musuh, tapi mereka tidak akan menyerah tanpa perlawanan.